Bila ber­jalan sesuai ren­cana, penge­sa­han Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan dilakukan dalam wak­tu dekat. Penge­sa­han RKUHP yang sem­pat ditun­da pada tahun 2019 — kare­na beber­a­pa pasal dini­lai berba­haya dan bisa men­ja­di pasal karet — hing­ga saat ini masih terus dilakukan peng­godokan dan penyem­pur­naan. Namun, sam­pai saat ini pemer­in­tah bersama Dewan Per­wak­i­lan Raky­at (DPR) masih eng­gan mem­be­berkan draf ter­baru dari RKUHP tersebut.

Pub­lik mende­sak draf ter­baru segera dipub­lish ser­ta pem­ba­hasan RKUHP dilakukan secara transparan. Mengin­gat pada draf RKUHP ver­si 2019 lalu dite­mukan pasal-pasal yang ‘men­curi­gakan’, seper­ti pasal peny­eran­gan marta­bat pres­i­den dan wak­il pres­i­den dan pasal penghi­naan ter­hadap pemerintah.

Pasal terse­but dini­lai akan menim­bulkan banyak penaf­sir­an yang berbe­da-beda. Penaf­sir­an secara sepi­hak bisa saja dilakukan oleh pemer­in­tah. Mis­al­nya keti­ka raky­at melakukan kri­tik dan korek­si ter­hadap kebi­jakan pemer­in­tah, tapi jus­tru dini­lai melakukan suatu penghi­naan. Bukan sem­barang tuduh, pasal­nya sep­ak ter­jang pemer­in­ta­han yang berkuasa saat ini telah menorehkan ‘catatan buruk’ bagi demokrasi yang katanya men­gusung kebe­basan dalam menyam­paikan pendapat.

Ser­ingkali yang ter­jer­at kasus penghi­naan adalah mere­ka yang vokal mengkri­tisi kebi­jakan ‘nye­leneh’ pemer­in­tah. Melalui UU ITE mis­al­nya, sudah memakan banyak kor­ban. Kebanyakan kor­ban adalah mere­ka yang menyam­paikan kri­tik, bukan hinaan. Bahkan, Shouth­east Asia Free­dom of Expres­sion Net­work (SAFEnet) men­gungkap­kan ada sek­i­tar 35,92% peja­bat negara seper­ti menteri, kepala daer­ah, kepala instan­si dan aparat kea­manan mela­porkan war­ga negara den­gan meman­faatkan UU ITE.

Jika, RKUHP yang ditut­up-tutupi ini masih ter­da­p­at pasal-pasal seru­pa dalam draf nya, lalu dis­ahkan sepi­hak oleh pemer­in­tah dan DPR, maka pemer­in­ta­han saat ini men­ja­di otorit­er dan semakin sulit dikri­tik. Hal ini juga meru­pakan upaya mem­bungkam suara kri­tis masyarakat atas kebi­jakan-kebi­jakan pemer­in­tah yang ser­ing tidak memi­hak masyarakat.

Ini­lah ilusi dalam demokrasi yang mengk­laim bah­wa kedaula­tan tert­ing­gi ada di tan­gan raky­at, namun raky­at saja tak boleh bersuara. Akhirnya, keny­ataan seper­ti ini hanya men­ja­di bumerang bagi pemer­in­ta­han yang berkuasa. Pada­hal, mengkri­tik kebi­jakan pemer­in­tah meru­pakan sesu­atu yang pent­ing bahkan wajib.

Dalam Islam, aktiv­i­tas ini dise­but den­gan dak­wah muhasabah atau menga­mar makruf pen­guasa dalam upaya men­gorek­si kebi­jakan­nya. Kebi­jakan pemer­in­tah seper­ti menaikkan har­ga bahan pan­gan, minyak, gas, pajak dan sejum­lah komodi­ti pokok lain­nya di ten­gah keadaan ekono­mi masyarakat yang sulit, men­jual aset negara beru­pa sum­ber daya alam kepa­da asing, harus­lah dikri­tik, bukan didi­amkan, kare­na itu meru­pakan kebi­jakan yang zalim.

Bahkan, dalam sebuah hadis Rasul men­gatakan, “Jihad yang pal­ing uta­ma adalah meny­atakan kead­i­lan di hada­pan pen­guasa zal­im”. (HR. Abu Daud, at-Tir­midzi, Ibnu Majah, dan ad-Dailami).

Sikap kepemimp­inan seper­ti ini­lah yang patut dite­ladani. Kare­na sejatinya pen­guasa adalah pelayan dan pelin­dung raky­at­nya. Sudah sep­a­tut­nya pemer­in­tah memenuhi hak raky­at­nya ter­ma­suk dalam hal transparasi berdemokrasi.

Oleh kare­na itu, per­soalan RKUHP ini harus benar-benar dikaw­al oleh masyarakat agar pem­ba­hasan­nya dilakukan secara ter­bu­ka dan meli­batkan suara masyarakat. Jan­gan sam­pai raky­at tidak lagi dap­at menyuarakan kri­tikan dan korek­si ter­hadap pemer­in­tah dan kebi­jakan­nya, kare­na menyam­paikan pen­da­p­at juga meru­pakan hak masyarakat.

Penulis meru­pakan alum­ni UISU Medan dan meru­pakan pegiat lit­erasi Islam

Penulis: Vin­dy W. Maramis, S.S
Edi­tor: Nurul