Tuhan selalu nye­leneh den­gan kisah yang diberikan-Nya. Memaruh hati sam­pai benar-benar mati. Katanya tidak ada penye­le­sa­ian final di Bumi Manu­sia ini. Kecuali kehidu­pan sete­lah mati. Untuk mimpiku kali ini, izinkan aku jadi Nyai Ontosoroh den­gan segala kecer­dasan dan ketegasannya.

Izinkan Aku jadi Nyai Ontosoroh, agar aku bisa dit­uliskan oleh penyair terke­nal Bumi Manu­sia. Izinkan aku jadi Nyai Ontosoroh agar aku mam­pu merasakan bah­wa men­ja­di perem­puan sung­guh tak sein­dah mata meman­dang. Izinkan aku jadi Nyai Ontosoroh, agar aku bisa mati den­gan ten­ang atas kuasa Tuhan kepadaku. Izinkan aku jadi Nyai Ontosoroh, hanya dalam mimpi saja, kare­na aku luput menyadari bah­wa kehidu­pan­nya tak per­nah berkalang bahagia.

Sosok perem­puan yang hanya bisa kubayangkan den­gan mata ter­pe­jam menu­ju ruang tan­pa batas, yakni mimpi. Perem­puan itu tampil den­gan paka­ian indah dan seder­hana. Men­ge­nakan gelun­gan layaknya perem­puan jawa. Paka­ian yang dike­nakan­nya pasti berlatar belakang war­na gelap keemasan. Entah, aku suka mem­bayangkan perem­puan itu demikian. Lalu, ini akan berband­ing ter­ba­lik den­gan sikap­nya. Tegas, lugas, penuh petim­ban­gan. Aku yakin, perem­puan itu tak seberun­tung perem­puan yang sedang ada di sebelahku.

Aku masih dalam ima­ji­nasiku. Mata ter­pe­jam den­gan ear­phone men­em­pel di ked­ua telin­ga. Ada lagu seder­hana den­gan judul “Memang Kena­pa Bila Aku Perem­puan”. Semakin lama menden­garkan lagu itu, semakin dalam dan mera­suk ingatan ten­tang sosok Nyai Ontosoroh yang dilukiskan penyair Bumi Manu­sia. Semakin dalam ter­pe­jam dan merasakan, yang datang adalah rindu berkalung per­ma­ta dari air­ma­ta. Akhir para­graf ini, aku ingin men­ja­di Nyai Ontosoroh. Merasakan men­ja­di perem­puan jawa yang berkalung per­ma­ta di pelupuk mata. Kemu­di­an sosok Pramoedya melukiskan­nya den­gan nada riuh rantai. Harus­nya aku melukiskan beta­pa kau (Pramoedya Anan­ta Toer) telah menulis sekian kisah, tapi di akhir hari lahir­mu ini, aku ingin kau saja yang melukiskanku dalam paras Nyai Ontosorohmu. //

Hanya pun­ya mimpi: Cip­ta, Cita, Cinta