Berbeda dengan kasus kejahatan lain, kekerasan seksual menampilkan fenomena gunung es, yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada fakta yang ada. Kekerasan berbasis gender ini dapat dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Termasuk kampus sebagai ruang akademis. Belakangan ini kian banyak kasus kekerasan seksual–pelecehan seksual masuk di dalamnya-di ranah kampus yang terbongkar, mulai dari mahasiswa sampai dosen jadi pelakunya.
Seperti pada pertengahan April lalu, skandal pelecehan seksual di ranah kampus kembali terkuak. Kali ini membawa nama Universitas Islam Indonesia (UII). Melansir dari tirto.id, terbongkarnya kasus ini berawal ketika seorang penyintas melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada 17 April 2020 lalu. Ia menuding Ibrahim Malik sebagai pelakunya. Ibrahim merupakan alumnus UII lulusan tahun 2016 yang kini sedang menempuh pendidikan magister di Melbourne University, Australia. Berdasarkan laporan dari seorang penyintas tersebut, beberapa penyintas lain mulai melapor ke LBH Yogyakarta.
Aliansi UII Bergerak yang diinisiasi oleh mahasiswa aktif dan bersolidaritas dengan penyintas mendesak rektor agar serius dalam menangani kasus kekerasan seksual di kampus. Pasalnya menurut catatan Aliansi UII Bergerak, dua orang penyintas dalam kasus ini telah melapor sejak tahun 2018 lalu, namun tidak ada tanggapan serius.
Kasus pelecehan seksual sudah cukup membuat publik geram. Namun, dalam kasus ini publik dibuat lebih geram lagi sebab terduga pelaku merupakan mahasiswa berprestasi dan dikenal sebagai ustaz. Ibrahim pernah menyabet gelar sebagai mahasiswa berprestasi pada tahun 2015. Bukan hanya itu, kini ia juga penerima Australia Awards Indonesia (AAI), program beasiswa pemerintah Australia lewat Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) kepada mahasiswa dari negara berkembang. Ibrahim sering menjadi pembicara motivator dan mengisi ceramah keagamaan.
Hingga 4 Mei lalu, LBH Yogyakarta telah menerima aduan kasus dari 30 penyintas. Dua di antara penyintas merupakan mahasiswi Melbourne University. Berdasarkan laporan tersebut, kasus pelecehan seksual ini telah dilakukan Ibrahim sejak tahun 2016 lalu, hingga yang terbaru pada April 2020.
Modus yang dilakukan Ibrahim mulai dari chatting lewat WhatsApp atau Instagram, telepon, video call, hingga menyuruh korban datang ke kos untuk mengambil buku yang dijualnya. Selain phone sex, bentuk pelecehan lain berupa memegang paha korban ketika duduk bersebalahan dalam suatu forum, memeluk korban dari belakang saat di kamar kosnya. Bahkan ada yang mengaku pernah dicengkeram tangan dan lehernya dari belakang lalu dicium dengan paksa hingga terjadi pemaksaan hubungan badan. Ini sudah dapat dikategorikan sebagai perkosaan.
Menanggapi kasus ini, pihak UII sendiri membuat posko pengaduan dan pendampingan psikologis bagi korban. UII juga membentuk tim pencari fakta yang melibatkan LKBH Fakultas Hukum UII. Bahkan UII telah mencabut gelar mahasiswa berprestasi yang disandang Ibrahim. Fathul Wahid selaku rektor UII juga menegaskan bahwa institusinya akan mengusut kasus ini.
Di sisi lain, Ibrahim menyangkal seluruh tuduhan yang dihujankan kepadanya. Lewat akun instagram pribadinya @_ibrahimmalik_ , pada 2 Mei 2020 Ibrahim memberikan klarifikasi tertulis yang menyatakan bahwa dirinya telah menjadi target “pembunuhan karakter”. Mengutip dari kompas.com, dalam wawancara dengan ABC, Ibrahim membantah semua dugaan atas tindakannya di Indonesia dan Australia, dan mengatakan bahwa tuduhan pelecehan seksual ini telah merusak reputasinya. Ibrahim mempersilakan korban menempuh jalur hukum, namun ia juga menuntut bukti atas segala hal yang dituduhkan kepadanya. Selain itu, Ibrahim menuntut agar kasus tersebut diselesaikan lewat cara yang sesuai ajaran Islam.
Kasus ini kini tidak hanya menjadi sorotan media di tanah air, pun telah menjadi sorotan media asing di Australia. Setelah gelar mahasiswa berprestasi dicabut, berbagai pihak juga menuntut pencabutan beasiswa yang diberikan pemerintah Australia kepada Ibrahim. Jaringan alumni penerima beasiswa Australia membuka petisi terkait pencabutan beasiswa tersebut melalui platform change.org. Jumlah penandatangan mencapai 10.000 pada 12 Mei 2020 dan telah dikirimkan kepada pihak Australia Awards Indonesia (AAI) dan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT)
Adanya kasus pelecehan seksual yang dilakukan Ibrahim ini kian membuat mata kita terbuka bahwa siapa saja bisa menjadi pelaku. Awalnya siapa bisa menduga pemuda berprestasi dan memiliki pemahaman agama yang dalam bisa melakukan pelecehan seksual? Bahkan kasus ini telah lama ditutupi dan baru terkuak sekarang. Para korban enggan bersuara sendiri, mereka meyakini bahwa publik tak akan percaya karena pelaku yang memiliki citra baik. Baru ketika salah seorang melapor, muncul laporan-laporan berikutnya. Korban kian berani sebab mereka tidak sendiri.
Selama ini korban pelecehan atau kekerasan seksual enggan untuk melapor. Berbagai faktor melatarbelakangi hal ini. Masyarakat menganggap kekerasan berbasis gender merupakan suatu aib yang memalukan, sehingga harus ditutup-tutupi. Ketika telah melapor dan menjalani proses hukum, belum tentu penegak hukum sensitif dengan situasi penyintas. Muncul kekhawatiran pula jika penegak hukum tidak bisa mengambil tindakan nyata guna mengadili pelaku. Ditambah lagi penyintas dan keluarganya harus mengurus berbagai bukti, mencari saksi, serta mengeluarkan uang. Ketakutan-ketakutan tersebut sudah menurunkan motivasi korban untuk melapor.
Pada kasus pelecehan seksual oleh Ibrahim ini, Ibrahim memanfaatkan ketenaran dan kuasa yang dimilikinya untuk menggaet korban. Pelecehan seksual sejatinya tidak hanya menyangkut seksualitas, melainkan juga kekuasaan. Seperti dalam penelitian Raymond pada tahun 2011, pelaku bukan karena tak bisa mengendalikan nafsu, bukan karena keinginan seksual yang tak bisa dikontrol, bukan pula karena hasrat seksual, melainkan karena fantasi kekuasaan untuk menaklukkan tubuh seseorang secara seksual.
Ibrahim sendiri tidak mau mengakui segala tuduhan yang diarahkan kepadanya meskipun penyintas yang melapor telah mencapai 30 orang. Justru menyebutnya sebagai “pembunuhan karakter” yang menghancurkan reputasinya. Memang belum ada bukti secara gamblang, masih berupa pengakuan atau keterangan dari penyintas yang bisa saja subjektif. Namun, mungkinkah 30 orang tersebut bersekongkol dan sengaja membuat laporan palsu guna menjatuhkan Ibrahim? Jika iya, sungguh tersruktur dan sistematis sekali. Sebab dua penyintas di antaranya merupakan mahasiswa di Australia dan kasus ini telah terjadi sejak beberapa tahun lalu.
Menyoal UII yang mencabut gelar Ibrahim sebagai mahasiswa berprestasi, itu patut diapresiasi. Namun, perlu diingat pula bahwa gelar atau status tersebut disandangnya ketika menjadi mahasiswa UII dan sekarang ia sudah alumni. Kalau UII benar-benar ingin menindak tegas kasus ini dan berkomitmen menciptakan ruang aman, UII harus menarik gelar sarjananya.
Pelecehan seksual merupakan hal yang serius dan tidak bisa disepelekan begitu saja. Tidak menutup kemungkinan predator-predator lain seperti Ibrahim masih berkeliaran di kampus-kampus. Dengan menindak tegas kasus ini, selain menimbulakan efek jera bagi pelaku juga memungkinkan kasus lain bisa terkuak.
Pihak pemerintah sendiri terbilang sangat lambat dalam menangani kasus pelecehan seksual. Pemerintah tidak menganggap ini sebagai kejahatan yang serius dan enggan memprioristaskannya. Terbukti dengan diabaikannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang telah dirancang sejak awal periode lalu hingga kini telah memasuki periode selanjutnya. Tapi jangan heran, sebab mengesahkan RUU PKS tidak memberikan keuntungan bagi mereka yang di atas sana.
Penulis: Aprilia Trianingsih
Redaktur: Rifqi Ihza F.