Partai politik memiliki posisi yang sangat sentral dan strategis dalam kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia. Bagaimana tidak, hampir semua aspek kehidupan politik bangsa turut ditentukan oleh partai politik. Baik dan buruknya kualitas pemerintahan dan demokrasi sangat ditentukan oleh kualitas komitmen para elit dan pimpinan yang ada di dalam partai-partai politik.
Anggota partai politik tidak hanya duduk di parlemen sebagai wakil rakyat, dilingkup daerah maupun hingga pusat. Melainkan banyak pula yang menjabat sebagai bupati, gubernur dan walikota. Belum lagi yang duduk di jabatan menteri, komisi-komisi dan pejabat BUMN.
Disamping posisi strategis yang diduduki para kader partai politik. Banyak juga para kader partai politik yang terlibat dalam beberapa kasus, entah itu suap, korupsi atau hanya sebagai saksi yang keluar masuk gedung KPK.
Belum lagi produk legislasi yang dibuat kerap kali mendapat penolakan dari banyak elemen sipil masyarakat. Contohnya pada tahun 2019 anak kandung reformasi yakni KPK tumbuh dalam suasana ‘pasca otoritarian’ akan dikebiri. Melalui undang-undang, yang memperlemah kinerja KPK, alias dilumpuhkan perlahan.
Setahun setelahnya, tepat di tahun 2020 ketika Indonesia mengalami peningkatan kasus pandemi Covid-19, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang dirumuskan tanpa melibatkan partisipasi publik justru diketuk diam-diam. Selain turun ke jalan, seruan aksi juga menggema di media sosial.
Pemerintah menyusun RUU Cipta Kerja dalam konsep hukum Omnibus Law. Beberapa pasal, mulai dari persoalan jam kerja, pengupahan, hingga wacana penghapusan pesangon menjadi poin yang menuai polemik dan ditolak oleh sebagian masyarakat, khususnya aliansi buruh. Dilansir dari Tempo.co, Jumat 6 Maret 2020, Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) sekaligus Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas menyatakan bahwa konsep Omnibus Law diterapkan secara salah kaprah di Indonesia.
Sebab, pembuatan UU tersebut mengabaikan prosedur pembentukan (formal) dan materi muatan (materiel) dalam sebuah undang-undang. Berbagai kelompok masyarakat pun kembali menggelar aksi di tengah pandemi Covid-19 pada bulan Maret, September, dan Oktober 2020. Mereka menuntut pemerintah untuk mencabut RUU Cipta Kerja dengan melakukan aksi Tolak Omnibus Law. Meskipun begitu, aksi yang dihadiri oleh ribuan massa ini tidak menghentikan pemerintah dalam mengesahkan RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Pertanyaannya, kenapa negara bisa begitu mengabaikan aspirasi kelas pekerja dan lebih memprioritaskan kepentingan kelas pengusaha?
Relasi Partai Politik dan Oligarki
Reformasi Politik setelah Orde Baru tumbang telah membuka borgol demokratisasi yang selama puluhan tahun dikunci rapat oleh rezim Soeharto. Seperti halnya kekuasaan terdistribusi di berbagai ruang politik, tak terkecuali di tubuh parpol. Parpol yang berkecambah berkembang selama periode ini adalah hasil inkubasi aliansi bisnis dan politik, yang pada akhirnya menjadi bagian dari proses akumulasi kekuasaan-kapital.
Terdapat fakta yang terlihat dari jejaring-jejaring di dalam parpol dengan kekuatan kelas borjuasi. Aliansi bisnis dan politik makin kuat dan mendominasi parpol sekarang. Partai Golongan Karya (Golkar) misalnya. Partai bentukan Orba ini telah menjadi pemain penting dalam konstelasi politik hari ini. Tidak hanya itu, tapi Golkar telah melahirkan dan membesarkan aktor-aktor borjuasi yang membentuk partai-partai baru. Sebut saja Partai Gerindra yang merupakan bentuka dari Prabowo Subianto; Partai Nasdem yang merupakan bentukan dari Surya Paloh; serta Wiranto yang mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Aliansi bisnis dan politik ini sekarang mampu menjadi pesaing ketat tokoh-tokoh reformis yang sebelumnya digadang-gadang menjadi harapan baru. Partai-partai yang didirikan para reformis justru tidak punya pengaruh apa pun dalam mendorong proses penghancuran kekuatan oligarki tersebut. Kita dapat lihat itu pada Amien Rais yang menginisiasi Partai Amanat Nasional (PAN), Megawati Soekarnoputri di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendaku sebagai partai reformis. Daya hidup dan pengaruh dari parpol-parpol ini sepenuhnya tergantung pada bagaimana konflik dan kolaborasinya dengan kekuatan-kekuatan oligarkis.
Kenyataan politik kepartaian tersebut merupakan janji reformasi yang telah dingkari. Rakyat dihadapkan pada harapan kosong atas perubahan politik yang lebih baik pasca-krisis. Agenda ekonomi neoliberal pasca-krisis ekonomi Asia (1997) yang menyuntikan demokratisasi nyatanya tidak membuat corak kekuasaan kita berubah secara substansial. Seharusnya parpol yang menjadi arena perjuangan politik warga negara justru tersandera kekuatan lama oligarki.
Analisis Relasi Oligarki
Realitas politik yang terjadi hari ini dapat dibaca, salah satunya dengan menggunakan analisis oligarki. Seperti yang dikemukakan oleh Robison dan Hadiz (2004), bahwa relasi oligarki merupakan sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan serta pertahanan kekayaan.
Secara umum, bagi Jefrey Winters dalam buku berjudul “Oligarki”, oligarki merupakan politik pertahanan kekayaan oleh aktor-aktor (oligark) yang memiliki material melimpah. Aktor-aktor ini terkadang bertindak kolektif, tapi sering pula tidak.
Relasi oligarki merupakan dasar beroperasinya tatanan ekonomi-politik dan perkembangan sosial yang lebih luas, dipertahankan dan direproduksi melalui aliansi yang terjalin antara politisi-birokrat dengan pengusaha. Aliansi ini terbentuk karena persaingan kepentingan antara politisi-birokrat yang memiliki sumber daya terbatas dengan pengusaha yang membutuhkan akses ke politik dan hukum. Mereka sama-sama bertujuan mengakumulasi dan mempertahankan kapital dan kekuasaan.
Politik elektoral merupakan salah satu cara bagaimana para oligark mempertahankan kekayaan. Oligark bisa memilih untuk mendukung, membiayai, atau bahkan terlibat langsung sebagai elite politik. Kelompok oligark selalu menciptakan keadaan kesenjangan material dan politik yang tajam.
Partai politik dijadikan sebagai medium pencampuran kekuatan kepentingan politik dan bisnis. Terdapat laporan Koran Tempo pada 2019, sejumlah 262 atau 45,5 persen dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) periode 2019–2024 memiliki relasi dengan minimal satu perusahaan atau figur berlatar belakang pemilik perusahaan. Apalagi, hampir setengah parpol di Indonesia diketuai dari latar belakang konglomerat nasional seperti Tommy Soeharto (Partai Berkarya), Suharso (PPP) , Hary Tanoesoedibjo (Perindo), Airlangga Hartarto (Partai Golkar, hingga Surya Paloh (Partai Nasdem).
Implikasinya adalah tidak ada yang menyuarakan aspirasi dari kelas pekerja di parlemen. Kekosongan perwakilan ini dapat disinyalir sebagai salah satu penyebab mengapa kelompok pekerja, petani, dan masyarakat adat, terus menjadi bulan-bulanan kebijakan pemerintah. Kelas pekerja pada 1999, 2004, dan 2009 tercatat juga pernah ikut dalam kontestasi pemilu melalui beberapa partai buruh seperti Partai Buruh, Partai Buruh Nasional, dan Partai Buruh Sosial Demokrasi. Sayangnya, partai yang berisi kelas pekerja ini tidak dapat memperoleh suara signifikan dalam tiga pemilu tersebut. Padahal, adanya Partai Buruh dinilai dapat menjadi satu subjek politik penting untuk menentang dominasi kelompok elite pengusaha dan dapat menjadi representasi rakyat secara luas.
Tanpa adanya kekuatan tandingan yang datang dari elemen pekerja, petani, dan masyarakat adat di parlemen, upaya penolakan terus menemui jalan yang sukar. Sebab, negara masih memainkan fungsi yang sentral dalam penentuan kebijakan ekonomi di Indonesia. Dengan kosongnya perwakilan ini, kepentingan dan tuntutan pekerja, petani, dan masyarakat adat makin jauh dari proses penentuan kebijakan. Hal ini semakin menjauhkan imajinasi substansial rakyat perihal demokrasi yang dapat menciptakan kesejahteraan ekonomi, sosial, dan semacamnya secara merata.
Tuntutan yang dilontarkan oleh kaum pekerja juga tidak selalu nihil. Hal ini menjadi sebuah penanda bahwa kaum marjinal dan terpinggirkan juga mampu untuk mempengaruhi kebijakan publik, UU PRT misalnya.
Selain itu, betapa pun partai politik diidentikan dengan pemilihan umum dan segala tetek bengeknya, tidak dapat dilepaskan bahwa partai sangat berperan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Partai politik sejatinya dapat menjadi ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan apa kehendaknya dengan harapan bahwa ia dapat mewujud dalam bentuk formal-prosedural agar dapat dijewantahkan pada kebijakan pemerintah. Ditambah lagi, partai politik adalah representasi atas nilai, norma, dan atau imajinasi politik suatu kelompok.
Aktivitas politik yang nihil akan imajinasi kekirian berakibat pada ketiadaan nilai, norma, dan imajinasi alternatif atas perjuangan dan atau cita-cita politik yang lebih bervarian. Politik dikerdilkan dengan hanya melihat dinamika kampanye dan pemilihan umum yang marak di media.
Menanggapi gerakan rakyat yang terjadi sepanjang 2019 hingga 2020, Hizkia Yosie Polimpung, editor IndoPROGRESS sekaligus peneliti di Purusha Research Cooperative, menyatakan ketika di wawancarai BPPM Balairung UGM dalam majalah edisi 5611TH. XXXV1/2021 bahwa ia tidak melihat banyak perubahan di sisi tuntutan dan visi dari gerakan. la mengaku pesimis dengan gerakan rakyat yang dinilai tidak memiliki visi ke depan.
“Dari dulu masih Sama, gerakannya serba menuntut, serba protes, serba meminta, meminta keadilan, meminta rekognisi, dan seterusnya,” kritik Hizkia.
Menurutnya, gerakan rakyat mesti menyusun strategi dan visi bersama melalui berbagai peran, baik di dalam maupun di luar pernerintahan agar dapat mewujudkan tujuan yang revolusioner. Yang salah satunya melalui Partai Alternatif dibawah ini;
Partai Hijau Indonesia
Terdapat pula elemen masyarakat lain yang berupaya membuat partai alternatif. Salah satunya adalah Partai Hijau Indonesia (PHI) yang berdiri pada 2012 di Bandung. PHI adalah wadah politik bagi masyarakat sipil yang sepakat dengan nilai-nilai HAM, demokrasi, serta mempunyai fokus khusus pada isu-isu lingkungan hidup.
Dibentuknya PHI sebagai akibat dari kegagalan dua percobaan politik yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Pertama, eksperimen blok politik hijau, istilah untuk menyebut percobaan politik yang diusung gerakan beragenda keberlanjutan ekologis. Pada eksperimen tersebut WALHI mencari kandidat yang kemudian menumpangi partai politik nasional serta organisasi yang didukung dan didanai oleh WALHI. Eksperimen ini tidak mampu mengintervensi kebijakan negara. “Sebab tidak didukung dengan komitmen yang ideologis dan militan dari partai rakyat,” jelasnya. Kedua, pembentukan senjata politik WALHI yang bernama Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Gerakan tersebut juga gagal menuai hasil dalam mengintervensi kebijakan.
Walau demikian, pembentukan PHI hingga kini menemui berbagai hambatan. Salah satunya yakni kesulitan PHI dalam mendapatkan status badan hukum. la mengatakan hal itu terjadi karena terhambat oleh peraturan untuk mendapatkan status badan hukum yang sulit. Keikutsertaan partai rakyat terbentur oleh UU Pemilu tahun 2017 yang memuat berbagai syarat, seperti; mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya di lima provinsi dan tiga kabupaten/kota pada masing-masing provinsi yang bersangkutan; memiliki anggota sekurang-kurangnya seribu pada setiap kepengurusan partai politik; serta bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat menjadi peserta pemilu.
Partai Buruh
Partai Buruh adalah partai yang didirikan oleh empat konfederasi serikat pekerja terbesar dan 50 serikat pekerja tingkat nasional, juga forum guru, tenaga honorer, dan organisasi tani serta nelayan terbesar di Indonesia, memilih asas negara kesejahteraan atau welfare state. Didirikan kembali pada tahun 2021 setelah vakum, akhirnya Partai Buruh pada Desember 2022 berhasil lolos verifikasi KPU dan berhak mengikuti pemilu 2024.
Singkatnya, ide utama dari negara kesejahteraan yaitu berupaya untuk menjinakkan kekuatan kapital/modal secara umum melalui kontrol politik yang demokratik. Sekali lagi: menjinakkan, bukan mengalahkan atau melampaui. Ini adalah ciri paling radikal dari praktik tersebut sekaligus yang membedakannya dengan bentuk-bentuk negara lain. Negara kesejahteraan selalu dalam batas-batas kapitalisme; negara sosialis menyimpan agenda transformasi melampaui kapitalisme dengan realisasi yang beraneka, sementara negara liberal justru melanggengkan sistem ekonomi-politik tersebut dengan berperan sebagai pemberi iklim yang kondusif bagi modal bahkan jika itu termasuk memiskinkan masyarakat.
Tantangan yang dihadapi partai buruh kini jika dilansir dari Hasil Hitung Cepat Litbang Kompas pada pemilu 2024, yakni akan adanya sembilan parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen yang didalamnya termasuk Partai Buruh. Yang mana agenda besar Partai Buruh ketika masuk parlemen mengenai pencabutan RUU Cipta Kerja akan sulit tercapai.
Penutup
Lemahnya politik formal dari gerakan rakyat mendorong lahirnya kebijakan yang tidak merakyat dan ramah lingkungan, seperti UU Ciptaker dan revisi UU KPK serta yang terbaru munculnya false solutions dalam pasal-pasal Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Partai alternatif yang dijelaskan di atas tentu akan kandas dalam waktu cepat tanpa pernah lolos ambang batas parlemen jika tidak mendapat dukungan yang kuat dari publik. Jikalau sudah mampu menggalang dukungan publik dan berhasil memenangkan pemilihan persoalan yang akan muncul adalah persaingan ideologis dengan fraksi Iain. Untuk memengaruhi jalannya perumusan kebijakan, partai politik alternatif perlu menegaskan posisinya di antara fraksi-fraksi yang terdapat di parlemen.
Setelah berhasil masuk ke dalam sistem parlemen, misi selanjutnya yang harus diperjuangkan partai politik alternatif adalah mencabut undang-undang yang hanya melindungi kepentingan oligarki. Setelah undang-undang lama dicabut, perjuangan dilanjutkan dengan membentuk undang-undang baru yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Penulis: Wildan Eka Arvinda
Redaktur: Zulfa
Editor: Novinda