Indone­sia meru­pakan negara repub­lik yang men­jadikan pres­i­den seba­gai pimp­inan­nya. Hal ini yang men­jadikan pres­i­den memi­li­ki otori­tas ter­hadap negara yang dip­impin­nya. Namun, bukan berar­ti raky­at tidak berhak atas negaranya. Tetapi pres­i­den seba­gai pemimpin negara yang diper­caya raky­at untuk memegang otori­tas pent­ing dalam negara.

Berbicara men­ge­nai otori­tas, George Ritzer dalam bukun­ya yang berjudul Teori Sosi­olo­gi meny­atakan, bah­wa Max Weber mengk­lasi­fikasi otori­tas ke dalam tiga ben­tuk. Otori­tas terse­but antara lain, yaitu otori­tas legal, otori­tas tra­di­sion­al, dan otori­tas karismatik.

Otori­tas legal adalah otori­tas yang berat­u­ran. Menu­rut Weber, otori­tas legal itu seper­ti birokrasi, di mana ter­da­p­at efisien­si, kalku­la­bil­i­tas, dan inten­sif dalam pelak­sanaan­nya. Men­ge­nai hal ini, Pres­i­den Indone­sia, Joko Wido­do (Jokowi) memi­li­ki otori­tas terse­but. Ia adalah pres­i­den yang dip­il­ih berdasarkan atu­ran, yaitu melalui pemilu. Selain itu, dalam pemer­in­ta­han­nya diban­tu oleh lem­ba­ga leg­is­latif dan yudikatif.

Namun otori­tas yang dipegang Jokowi ini memi­li­ki sisi negatif, yaitu terkekangnya kebe­basan indi­vidu. Yang mana seti­ap tin­dakan raky­at yang tidak sesuai den­gan atu­ran negara, akan diang­gap seba­gai pelang­gar atau peny­im­pang. Indi­vidu tidak memi­li­ki kebe­basan penuh atas dirinya.

Hal terse­but berbe­da den­gan otori­tas tra­di­sion­al. Otori­tas ini didasarkan pada klaim pemimpin dan pengikut­nya. Otori­tas seper­ti ini biasanya ter­da­p­at di negara-negara monar­ki atau ker­a­jaan, seper­ti Ing­gris. Pemimpin memi­li­ki otori­tas ini berkuasa penuh atas negara. Sehing­ga raky­at harus patuh ter­hadap kepemimpinannya.

Di Indone­sia, otori­tas tra­di­sion­al per­nah dit­er­ap­kan oleh pres­i­den ked­ua, yaitu Soe­har­to. Pada masa ini dise­but den­gan Orde Baru (Orba), di mana kekuasaan tert­ing­gi dipegang oleh pres­i­den. Sehing­ga raky­at harus patuh ter­hadap segala atu­ran yang telah dite­tap­kan presiden.

Indone­sia memang bukan negara monar­ki atau pun ker­a­jaan, tetapi pada masa Orba otori­tas tra­di­sion­al telah dit­er­ap­kan. Kebe­basan raky­at semakin terkekang den­gan adanya otori­tas ini. Selain itu, raky­at akan diadili jika melakukan sesu­atu yang tidak sesuai den­gan kete­ta­pan Soeharto.

Selan­jut­nya, otori­tas karis­matik meru­pakan otori­tas yang didasarkan pada kual­i­tas luar biasa atau sesu­atu yang menon­jol dari pemimpin. Hal ini bisa dise­but den­gan pen­gakuan yang sub­jek­tif kare­na bergan­tung pada per­spek­tif may­ori­tas. Otori­tas ini dit­er­ap­kan oleh masyarakat prim­i­tif. Mere­ka mem­per­cayakan pemimpin yang diang­gap memi­li­ki kual­i­tas, keahlian, dan memi­li­ki keku­atan seba­gai pemimpinnya. 

Adalah Baharud­din Jusuf Habibi, pres­i­den keti­ga Indone­sia juga dap­at dikatakan seba­gai pemimpin den­gan otori­tas karis­matik. Ia memi­li­ki kepanda­ian dan prestasi yang luar biasa. Selain itu, karis­man­ya telah diakui oleh seba­gian besar masyarakat Indonesia.

Men­ge­nai keti­ga otori­tas terse­but, Ritzer juga meny­atakan bah­wa pada masanya ia men­ge­nal Franklin D. Roo­sevelt. Menyan­dang gelar seba­gai Pres­i­den Ameri­ka Serikat, ia  menya­bet tiga otori­tas sekali­gus, baik legal, tra­di­sion­al, maupun karis­matik. Hal ini dibuk­tikan den­gan dip­il­i­h­nya Roo­sevelt den­gan prin­sip legal. Kekuasaan­nya men­gan­dung ele­men monar­ki, dan may­ori­tas raky­at­nya men­gakui karismanya.

Di Indone­sia belum ada pres­i­den yang memi­li­ki keti­ga otori­tas terse­but. Namun, seti­ap pres­i­den memi­li­ki salah satu atau dua di antara otori­tas seper­ti yang dik­lasi­fikasikan oleh Weber.[]