Baru-baru ini dunia maya kembali dihebohkan dengan aksi Youtuber atas nama Ferdian Paleka dan dua orang temannya yang membuat konten video prank di youtube. Video yang kurang lebih berdurasi sekitar 12 menit itu dinilai tidak bermoral dan memliki unsur penghinaan, pasalnya pelaku membuat konten video prank yaitu pembagian sembako berisikan sampah dan batu yang kemudian ditujukan untuk transpuan (waria) dan anak-anak kecil. Atas hal inilah para korban yang terkena aksi pranknya tersebut merasa terhina dan tidak terima, sehingga melaporkannya ke aparat penegak hukum (kepolisian).
Terlepas dari itu semua, ada satu hal menarik yang menjadi sorotan penulis, yaitu tentang cara bekerjanya sistem peradilan pidana Indonesia (criminal justice system), hal demikian dapat dilihat terhadap kejadian ini. Tidak tanggung-tanggung dalam proses pemeriksaan dan penyelidikan oleh aparat penegak hukum (kepolisian), pelaku dikenakan dakwaan berlapis berupa pasal 45 ayat 3 tentang penghinaan dan pencemaran, pasal 36 dan pasal 51 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang keseluruhnya memuat ancaman 4–12 tahun penjara.
Potret penegakan hukum tersebut nyatanya menyita perhatian dikalangan para akademisi hukum dan menuai pro-kontra di dalamnya, sebagaimana dikatakan oleh Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Nelson Nikodemus Simamora mengatakan aksi Youtuber Ferdian Paleka dan kawannya memberikan sembako berisi sampah dan batu ke transpuan bukan merupakan tindakan pidana. Sebab tindakan itu hanya melanggar etika, mengutip dari metro.tempo.co lebih tepatnya ia mengatakan “Polisi seharusnya tidak menahan Ferdian cs. Dia kan gak ada mukul, nusuk, transpuan (waria) itu. Gak perlu di pidana,” ujar Nelson saat dihubungi Tempo, Sabtu, 9 Mei 2020.
Dalam pandangan penulis pendapat yang diambil Nelson ini dapat dipahami bahwa tidaklah semua perbuatan yang melawan hukum atau bersifat merugikan masyarakat dapat disebut sebagai perbuatan pidana, karena hal tersebut harus didasari apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana merupakan jalan utama dari pelanggaran dan larangan tersebut.
Namun di sisi lain tidak sedikit juga masyarakat yang geram atas aksinya tersebut, sehingga beranggapan bahwa solusi untuk mengatasi hal ini harus berhadapan dengan wajah yang menakutkan yaitu pidana. Hal ini tentu di dasarkan pada naluri dan nurani publik yang kembali terusik seraya beranggapan bahwa aksi yang dilakukan oleh pelaku prank tersebut merupakan bentuk penghinaan dan pencemaran terhadap diri atau pribadi seseorang.
Untuk menjawab berbagai persoalan yang terjadi, hemat penulis, perlu kiranya kita merefleksikan kembali serpihan pemikiran Satjipto Rahardjo, yang dalam posisi intelektualnya mengkritisi potret penegakan hukum modern (hukum tertulis) yang hanya di dasari pada rasionalitas semata, yang justru akan menciptakan bifurkasi terhadap esensi keadilan.
Lebih dari itu, penegakan hukum yang hanya di dasari pada logika hukum saja tanpa memberikan logika keadilan, justru memberikan ruang untuk menjadikan hukum sebagai arena tinju dalam menentukan antara menang dan kalah. Celakanya, dan pada praktiknya, fakta hukum yang netral ini tidak selalu menjamin yang menang adalah benar dan kalah adalah salah (law is the art of the interpretation). (Satjipto Rahardjo, 2005). Maka di sinilah merupakan tugas negara untuk secara arif dan bijak dalam menentukan rumusan pidana dan delik. Agar, tidak seluruh permasalahan sosial secara amatir selalu disalurkan dengan jalur pidana termasuk dalam hal ini aksi yang dilakukan oleh Youtuber Ferdian Paleka dan beberapa kawannya.
Memang dapat dipahami konsep pemidanaan terhadap pelaku yang demikian dinilai dapat menjadi upaya negara dalam meminimalisir kriminalitas terhadap masyarakat, dan di satu sisi dinilai produktif dari essensi dalam mencegah aksi tidak bermoral para pelaku. Namun di sisi lain penulis berpandangan, bahwa pemberlakuan pidana bagi pelaku prank tersebut, justru akan berdampak sebagai alat pemukul bagi masyarakat dan hanya berujung pada penangkapan-penangkapan yang hanya berakhir pada penjara, serta belum tentu akan merestorasi keadaan.
Sehingga berdasarkan seluruh post factum yang ada, apakah negara akan menutup mata terhadap hal ini, kemudian membentangkannya secara membabi buta dengan pemidanaan, apakah semua ini harus diselesaikan dengan pidana dan pemidanaan? Maka hemat penulis melihat fenomena demikian perlu kiranya ada suatu upaya serta langkah-langkah preventif dan restoratif dalam kerangka hukum yang tumbuh dan hidup dimasyarakat (living law).
Sebagai contoh, polisi seharusnya dapat mengajak Ferdian untuk mengkampanyekan hak-hak transpuan (waria) agar masyarakat bisa lebih menghormatinya, kemudian memberikan edukasi serta menanamkan nilai-nilai pendidikan yang berbasiskan moral dan etika. Agar tindakan yang diambil oleh aparat penegak hukum memiliki nilai yang lebih bermanfaat. Dibandingkan hanya memasukannya ke dalam penjara. Terlebih sifat hukum pidana adalah ultimum remidium atau sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum, setelah instrument hukum lainnya di berlakukan.
Hemat saya, hal demikian paling tidak yang sampai saat ini masih mengusik nurani dan naluri masyarakat dalam berhukum (bukan berundang-undang). Sehingga dapat dimaklumi jika ada yang mengekspresikan kekecewaan penegakan hukum yang demikian.
Penulis: Alif Fachrul Rachman
Editor: Rifqi Ihza F.
- Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.