“Tuhan menciptakan umat manusia untuk memajukan peradaban yang terus maju, maju secara spiritual dan intelektual. Kami menyadari bahwa kami tidak bisa maju tanpa bantuan orang lain.”
Itu adalah ucapan Adi Putri Rahayu, anak dari Ketua Majelis Rohani di Tulungagung. Ia seorang pemeluk agama Baha’i. Bagi Putri, kondisi masyarakat Baha’i memang belum dapat dikatakan sudah keseluruhan bebas dari diskriminasi dan utuh toleransi, tapi menurutnya kondisi hari ini di Tulungagung sudah jauh lebih baik.
Dulu, saat awal masyarakat sekitar mengetahui bahwa mereka adalah pemeluk Baha’i ada narasi tidak menyenangkan yang beredar. Hasutan terkait komunitas Baha’i di sana juga kerap didengar. Namun, audiensi antar-warga segera dilakukan hingga kondisi mereka sudah lebih diterima masyarakat lain.
Kamal Arifin, salah satu tetangga Putri menuturkan bahwa masyarakat sempat dikejutkan dengan keberadaan agama Baha’i di desanya, tepatnya di Desa Ringinpitu. Pasalnya, bagi masyarakat setempat, agama Baha’i masih asing di telinga mereka. “Sempat kaget, dulu dikira Islam. Baru tahu saat ada Baha’i yang menikah,” ucap Kamal.
Putri mengakui bahwa proses penganut Baha’i agar diterima dengan baik di masyarakat yang harus menempuh lika-liku sebelum sampai di titik sekarang. Pada 2009 lalu sempat terdengar narasi yang tidak menyenangkan hingga menyudutkan.
“Tapi itu karena mereka belum paham saja, untuk sampai dengan kondisi yang sekarang perlu proses yang panjang,” kenang Putri.
Baha’i adalah agama yang lahir di Persia sejak tahun 1844 dengan pembawa wahyu adalah Baha’ullah. Baha’i sendiri sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 1878 lalu, tepatnya di Sulawesi. Pada 1945, Baha’i mulai merambah ke Tulungagung. Saat itu pengikutnya memang tidak sebanyak sekarang.
Di Tulungagung sendiri pemeluk Baha’i berjumlah kurang lebih 90 orang. Masyarakat umat agama lain di Tulungagung juga tidak begitu familiar dan mengenal mereka.
“Kami punya Majelis Rohani setempat yang berjumlah 9 orang, ada ketua di lembaga tersebut yang berperan memandu musyawarah,” jelas Putri.
Pencatatan Adminduk yang Sulit
Putri mengakui bahwa sebagai penganut Baha’i di negara yang belum melegalkan agama menyulitkan pendataan di Adminduk (Administrasi Kependudukan). Bahkan Putri dan keluarga sempat mendapatkan status agama Islam di kolom agamanya. “Dulu sempat ditulis Islam, setelah kami urus sekarang jadi – (strip),” tutur Putri.
Dulu Putri sempat meminta untuk dituliskan agama Baha’i di kolom agamanya, namun tidak bisa dituliskan begitu saja. Status keagamaan di adminduk Putri dan keluarga, sekarang tertulis menjadi — (strip).
Dalam melakukan pengurusan berkas, atau mengakses pelayanan dari pemerintah Putri mengakui tidak ada kesulitan. Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) memberi solusi untuk tetap menulis status Baha’i di komputer Dispendukcapil. Namun, tidak tuliskan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
Putri menjelaskan, bahwa adanya bantuan surat keterangan dari desa yang menyatakan bahwa agama yang dianut adalah Baha’i. Hal tersebut membantu dalam mengakses pelayanan pemerintah.
“Terserah mau dicantumkan apa saja, yang penting mereka sudah tahu,” tambah Putri.
Diceritakan pula pengalamannya ketika kolom agama dicantumkan dengan agama Islam ketika Putri mengenyam pendidikan. Sang Ayah berbicara dengan guru agama I sekolahnya bahwa agama Putri adalah Baha’i meski kemudian sang guru tetap memaksanya ikut mata pelajaran pendidikan Agama Islam.
“Baha’i juga diajarkan untuk mempelajari semua agama, jadi hitung-hitung sekalian,” jelas Putri.
Seperti yang dapat diketahui, hingga kini Indonesia hanya memfasilitasi enam agama saja tanpa termasuk Baha’i di dalamnya. Artinya, umat Baha’i tidak dapat mencantumkan identitas sebagai pemeluk agama Baha’i di kolom agama KTP.
Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI) Nisfari memberitahukan bahwa hal ini seharusnya tidak menjadi masalah atau kendala untuk penganut agama Baha’i. Karena menurutnya pemerintah sudah memfasilitasi untuk pencantuman ‘Penghayat’ di kolom agama selain enam agama yang difasilitasi Negara.
Hal ini disampaikan Nisfari berdasarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang adminduk sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang adminduk (UU Kependudukan).
Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa agama dalam pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan. Bahwasannya penganut aliran kepercayaan dapat dicantumkan di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK), dengan syarat tidak menuliskan spesifik alirannya.
Agama yang diakui oleh Indonesia, yang dapat menuangkan identitasnya di adminduk adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan Penghayat Kepercayaan.
“Keputusannya sudah final, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Setiap warga negara diperbolehkan mencantumkan agamanya di administrasi kependudukan,” tegasnya.
Namun, sebenarnya apa yang disampaikan oleh Nisfari itu kurang tepat apabila melihat kondisi di lapangan. Nyatanya Baha’i adalah agama, bukan Kepercayaan. Artinya, mencantumkan ‘Kepercayaan’ di kolom agama KTP juga sama saja belum dapat umat Baha’i mencantumkan agama mereka.
Meski begitu Rina Tjua Lee Na, bagian Hubungan Masyarakat (Humas) dari Majelis Rohani Nasional menambahkan bahwasanya sekalipun hingga sekarang umat Baha’i tidak dapat mencantumkan namanya, mereka lebih memilih mengikuti alur saja. Sebab dalam agama Baha’i diperintahkan agar umatnya patuh pada aturan pemerintah yang sah.
Selain itu, penganut Baha’i pula sudah berusaha agar dapat mencantumkan agamanya di adminduk, namun belum berhasil. Maka, mereka memutuskan untuk mengikuti alur yang ditentukan pemerintah.
Oleh karena itu, menurut Rina sebagian umat Baha’i lebih memilih untuk mencantumkan salah satu agama yang difasilitasi negara di KTP untuk mempermudah urusan adminduk. Setelah ‘Kepercayaan’ dapat dicantumkan di KTP, ada juga yang memilih mencantumkan ‘Kepercayaan’. “Dulu masih banyak yang dicantumkan sebagai Islam dan Kristen, tapi sekarang jarang. Kebanyakan garis (-), tapi baru-baru ini tercantum kepercayaan,” ujar Rina.
Meski kondisi pencatatan adminduk umat Baha’i seperti itu, disampaikan Rina, hingga kini penganut Baha’i tidak pernah melakukan penuntutan atau mendesak menggunakan kekerasan kepada negara atau pemerintah. Pasalnya, penuntutan dianggap sebagai tindakan yang menyalahi ajaran Baha’i.
Riaz Muzaffar dari Majelis Rohani Nasional menambahkan bahwa dalam ajaran Baha’i, tujuan yang mulia dicapai dengan cara yang selaras terhadap kemuliaan tersebut. Makanya hingga sekarang upaya yang dilakukan hanya mengajak pihak pemerintah bermusyawarah terkait kepentingan mereka.
“Kita tidak pernah demo, kita ajak bermusyawarah. Jika gagal, kita akan mencoba lagi.”
Kebebasan Beragama adalah Hak Segala Warga
Melihat kesulitan pencatatan agama Bahai di adminduk, Muhammad Isnur, ketua advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melihat bahwa ada diskriminasi dalam kebebasan beragama yang dialami masyarakat Baha’i di Indonesia. Mengacu pada Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Pada pasal 29 ayat (2) UUD 1945 pula menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya yang memeluk agama. Maka dari itu, negara dikatakan melakukan diskriminasi pada penganut agama Baha’i.
Ditambahkan Isnur, ada agama yang tidak dicantumkan dalam KTP dapat memicu praktik diskriminasi dari berbagai kelompok. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah diskriminasi menggunakan politik identitas, misalnya segrenasi agama.
“Misalkan di ranah politik, agama sangat sensitif. Harusnya agama tidak usah dicantumkan sekalian seperti di paspor. Jika sudah terlanjur, negara harus memperlakukan hal yang sama ke semua kelompok, agama lain bisa mencantumkan kenapa Baha’i tidak?,” tambahnya.
Terlepas dari keterbatasan yang dimiliki oleh pemeluk Baha’i, hingga kini mereka tetap memiliki harapan besar untuk bisa hidup damai bersama seluruh masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Putri, bahwa dalam ajaran Baha’i, impian terbesarnya adalah dapat membangun bersama peradaban manusia yang maju.
“Membangun tidak akan bisa dilakukan oleh bagian kecil saja. Diperlukan kerukunan yang dibina bersama-sama,” ungkap Putri.
Kini, masyarakat di Tulungagung sedikit demi sedikit mulai menerima keberadaan masyarakat Baha’i. Putri menganggap keberadaan mereka adalah satu keluarga besar. Pun keterlibatan dalam kegiatan bermasyarakat juga tetap dapat dilakukan tanpa masalah.
Di akhir obrolan, Rina kembali menegaskan bahwa apa yang diinginkan umat Baha’i di Indonesia adalah tetap menyumbang pada proses persatuan umat manusia. “Kami bukan kelompok minoritas yang meminta dikasihani,” sambungnya.
Penulis: Natasya Pazha
Sumber Foto: bahai.id
- Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.