Pada 24 Mei 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menerapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang penyelenggara sistem elektronik lingkup privat.
Aturan tersebut menjelaskan terkait Informasi, data elektronik, sistem elektronik, penyelenggara sistem elektronik (PSE), PSE lingkup privat, pengguna sistem elektronik, data pribadi dan masih banyak lainnya.
Terdapat 21 peraturan komunikasi dan informatika tentang penyelenggara sistem elektronik lingkup privat. Sayangnya, masih terdapat kontroversi yang menyebabkan peraturan tersebut cacat.
PSE dimaknai sebagai perusahaan atau badan layanan digital, seperti Google, Facebook, Youtube, Grab, Bukalapak, dan masih banyak lainnya. Pada dasarnya, Permen ini mengatur terkait pendaftaran, pengelolaan, dokumen, dan permohonan pemutusan akses informasi.
Di lain sisi, Permen ini pun mengatur pemberian akses data pribadi untuk kepentingan pengawasan penegakan hukum serta sanksi administrasi terhadap PSE yang ada.
Seperti pasal 21, “PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Kementerian atau Lembaga serta aparat penegak hukum dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Ada pula Pasal 36 Ayat 5 yang mengatur pemberian akses data pribadi spesifik oleh PSE kepada aparat penegak hukum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan data pribadi spesifik, yaitu data yang berkaitan dengan kesehatan, data biometrik, genetika, data terkait kehidupan (orientasi seksual), pandangan politik, keuangan dan data lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, dalam pasal tersebut tidak dijelaskan terkait level urgensi data pribadi spesifik. Misal, seberapa urgensi data terkait orientasi seksual diberikan kepada aparat penegak hukum?
Tak selesai pada data pribadi, penyadapan terang-terangan pun terdapat pada pasal tersebut terkait pemberian akses terhadap traffic data dan informasi pengguna sistem. Data tersebut harus diberikan kepada penegak hukum lima hari setelah diajukan. Dengan adanya hal tersebut, maka kebijakan itu rentan untuk disalahgunakan dan adanya pelanggaran dalam ranah hak privasi.
Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM) serta kebebasan berekspresi. Seperti halnya PSE yang tidak mendaftar dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan setelah aturan tersebut ditegakkan akan mendapat sanksi administrasi berupa pemutusan akses atau pemblokiran (take down). Aturan tersebut berada pada Pasal 7 tentang penjatuhan sanksi administratif dan normalisasi.
Dikatakan pula bahwa PSE yang tidak melakukan take down terhadap konten yang dianggap dilarang oleh pemerintah, maka pemutusan akses dapat dilakukan dalam waktu empat jam setelah surat perintah dikeluarkan.
Dalam aturan tersebut pun tidak dijelaskan secara rinci mengenai konten yang dianggap terlarang oleh pemerintah. Dengan adanya rentang waktu untuk PSE di Indonesia merupakan bentuk penundukan hukum dari pemerintah. Padahal, hal itu sebagai wujud pembatasan kebebasan berekspresi dan bertentangan dengan prinsip HAM.
Pada dasarnya pemerintah mewajibkan PSE untuk memastikan bahwa tidak terdapat konten yang dilarang dalam platform mereka. Atau sama halnya platform digital dipaksa untuk melakukan sensor terhadap konten yang telah diunggah pengguna demi tidak mendapat sanksi dari pemerintah. Di sisi lain pun platform digital harus menghapus konten dalam waktu singkat jika diminta oleh pemerintah. Dengan kata lain, jika tidak menghapus konten tersebut, platform akan di blokir dari Indonesia. Ditambah lagi dengan tidak adanya lembaga atau badan khusus yang terlibat dalam mekanisme, kemungkinan peraturan ini menerapkan mekanisme yang tidak transparan.
Penulis: Aini
Editor: Ulum