Belakan­gan ini Indone­sia dire­sahkan den­gan pem­ber­i­taan anarko sindikalis, mulai dari penangka­pan tiga pemu­da di Tang­gerang terkait van­dal­isme dan core­tan pro­vokatif. Selain itu polisi juga men­gungkap agen­da anarko yang akan melakukan pen­jara­han di Pulau Jawa, ten­tu ini bukan isapan jem­pol bela­ka, atau hoaks mura­han. Melainkan pema­paran oleh polisi sete­lah melakukan pengem­ban­gan. Terkait van­dal sendiri adalah bagian dari anark­isme, keteran­gan itu dipa­parkan oleh Kapol­da Inspek­tur Jen­der­al Nana Sud­jana, dalam beri­ta cnnindonesia.com.

Riz­ki dan kawan­nya tiga orang, ter­ma­suk dari kelom­pok anarko. Mere­ka ditangkap men­dasari aktiv­i­tas ataupun kegiatan mere­ka, yaitu melakukan upaya van­dal­isme di wilayah Tangerang kota, (cnnindonesia.com) Sab­tu (11/4). Tulisan pro­vokatif itu dit­ulis pada tiang listrik dan tem­bok meng­gu­nakan cat sem­prot, bertuliskan “Kill the Rich” dan  “Sudah Kri­sis, Saat­nya Mem­bakar” hing­ga “Mau Mati Kony­ol atau Melawan”. Hal terse­but mem­bu­at resah dalam situ­asi terki­ni. Dan menu­rut­nya, motif van­dal­isme terse­but atas keti­dakpuasan bagaimana pemer­in­tah indone­sia menan­gani situ­asi saat ini.

Salah satu tulisan anarko den­gan cat semprot/dok.reprointernet

Dita­m­bah den­gan usa­ha krim­i­nal­isasi buku oleh pemer­in­tah, buku ker­ap dijadikan barang buk­ti atas suatu tin­dakan krim­i­nal, atau ker­ap dirazia kare­na diindikasikan men­gan­dung paham yang radikal dan men­gan­cam ide­olo­gi bangsa, ini­lah yang men­ja­di fenom­e­na di Indone­sia. Buruknya lit­erasi di Indone­sia men­em­patan Indone­sia pada uru­tan bawah dalam lit­erasi dunia, dita­m­bah repre­si ter­hadap bacaan men­jadikan Indone­sia semakin terpuruk.

Pada pen­gungka­pan kasus pemu­da yang melakukan van­dal­isme, buku pun tidak luput dari peny­i­taan. Antara lain: Mas­sa Aksi oleh Tan Mala­ka; Corat-coret di Toi­let oleh Eka Kur­ni­awan; Indone­sia dalam Kri­sis 1997–2002 oleh Tim Lit­bang Kom­pas; Pencer­a­han Tan­pa Kegera­han oleh Alden­tua Siringoringo; Ex Nihi­lo oleh Dwi Ira Mayasari; Love, Star­girl oleh Jer­ry Spinel­li; Gali Lobang Gila Lobang oleh Remy Syla­do; Gore­san Cin­ta Sang Kupu-kupu oleh Fitri Carmelia Lut­fi­aty; Nasion­al­isme Islamisme dan Marx­isme oleh Soekarno dan Christ the Lord: Out of Egypt karya Anne Rice. Bahkan tin­dakan peny­i­taan oleh kepolisian ini di per­tanyakan oleh Haris Ashar “Ini tidak nyam­bung, Masa buku yang menulis kri­tik ketim­pan­gan ekono­mi diang­gap seba­gai rujukan tin­dakan anarkis? Bisa-bisa kitab suci aga­ma-aga­ma yang men­ga­jarkan kead­i­lan atau anti ketim­pan­gan juga dila­rang nan­ti­nya,” (metro.tempo.co)Senin (13/4).

Buku-buku anarko yang men­ja­di barang bukti/dok.reprointernet

Buku-buku terus dikamb­inghi­ta­mkan oleh aparat. Pada­hal apa isi dan kan­dun­gan pada buku terse­but belum juga dap­at dibuk­tikan kebe­naranya, seper­ti apa yang di fit­nahkan dan dilem­parkan ke pub­lik. Indikasi ini menun­jukan bah­wa aparat ingin meng­girirng opi­ni masyarakat bah­wa masih ter­da­p­at bacaan mem­ba­hayakan di Indonesia.

Selain van­dal­isme dan ujaran pro­vokatif, kegiatan yang diiden­ti­fikasi, anarko mem­pun­yai agen­da besar pada 18 April, keteran­gan itu dari hasil pem­bukaan hand­phone anarko terse­but.  Mere­ka meren­canakan aksi van­dal­isme secara bersama-sama di beber­a­pa kota besar pada 18 April 2020 yang tujuan­nya men­ga­jak masyarakat untuk melakukan keonaran dan ajakan­nya mem­bakar, kemu­di­an men­jarah. Penangka­pan satu pekan lalu itu hanya per­mu­laan. Sete­lah­nya beber­a­pa kali polisi menangkap kelom­pok yang mere­ka sebut ‘anarko’ atau menu­rut Nana Sud­jana “kelom­pok ini memi­li­ki paham anti‒kemapanan,” (tirto.id).

Apakah sebe­narnya anark­isme dan bagaimana perkem­ban­ganya di Indone­sia? Ten­tu pema­haman dalam masyarakat kita masih begi­tu ran­cu. Di mana anark­isme ker­ap dikaitkan pada tin­dakan pengerusakan, pem­bakaran dan hal-hal berbau pelang­garan hukum. Mengutip dari nasional.kompas.com anark­isme sendiri bukan budaya ataupun kul­tur yang lahir di Indone­sia, ini diperku­at oleh perny­ataan Kapol­ri Jen­der­al Pol Tito Kar­na­vian keti­ka ditanyai men­ge­nai fenom­e­na kelom­pok ini, “Ada satu kelom­pok yang namanya Anarko Sindikalisme, ini bukan kelom­pok fenom­e­na lokal tapi fenom­e­na internasional.”

Tapak Tilas Anarkisme

Anark­isme sendiri adalah suatu ben­tuk paham yang menud­ing negara, pemer­in­ta­han seba­gai suatu lem­ba­ga yang menum­buh sub­urkan penin­dasan ter­hadap kehidu­pan dan pun­caknya negara harus diha­puskan. Secara eti­molo­gi meru­pakan ser­a­pan dari bahasa Ing­gris anar­cy atau anar­chie (Belan­da, Jer­man, Pran­cis) yang memi­li­ki akar kata dari bahasa Yunani yaitu anarchos/anarchien, tan­pa pemer­in­tah atau pen­gelo­la, dikua­sai maupun men­gua­sai.  Den­gan sikap anti-patri­otik anark­isme meno­lak setia ben­tuk lem­ba­ga kekuasaan yang memi­li­ki otori­tas ataupun ben­tuk negara modern. 

Sejarah anark­isme sendiri berakar pada abad 19 dalam komu­ni­tas buruh inter­na­sion­al. Sejarah perkem­ban­gan anark­isme sendiri tidak lain adalah dari perde­batanan-perde­batan dalam serikat buruh inter­na­sion­al, antara Marx den­gan marx­isme, Bakunin den­gan paham peng­ha­pu­san sis­tem negara seba­gai ben­tuk penin­dasan ser­ta tokoh pemikir lain di dalamya. Pada kon­gres inter­na­sion­al  per­ta­ma buruh di Den Hag 1872 pec­ah dua gelom­bang sosialis, antara Marx dan pen­dukung Bakunin.

Marx dan pengikut­nya menekankan pent­ingnya pendiri­an par­tai poli­tik sosialis yang otori­tar­i­an eksklusi ter­pusat seba­gai strate­gi mer­a­ka untuk mem­u­lai rev­o­lusi, sedan­gkan para anti‒otoritarian, fed­er­alis, dan anarkis meno­lak. Dan sebuah peruba­han adalah hasil yang diper­oleh secara lang­sung dari perg­er­akan buruh. Marx sendiri adalah teman seke­las Bakunin yang kelak akan men­ja­di musuh­nya dalam per­juan­gan kare­na bersim­pan­gan paham. ked­ua tokoh besar dalam paham sosial­isme ini memi­li­ki perbe­daan yang drama­tis, dimana Karl Mark yang menginginkan rev­o­lusi atas per­ten­tan­gan kelas dan Bakunin menginginkan diha­puskan­nya penghis­apan oleh negara. Mere­ka sal­ing mengkri­tik satu sama lain, menu­rut Bakunin, Karl Marx sese­o­rang yang som­bong ser­ta berliku. Namun Bakunin sendiri men­gagu­mi Marx seba­gai intelek­tu­al ser­ta analis yang baik dalam ekono­mi. Dan di lain sisi menu­rut Marx, Bakunin adalah sosok yang tidak teori­tis. Ini­lah jurang di antara dua tokoh besar sosialis di mana Marx ber­e­nang den­gan teoritinya sedan­gkan Bakunin menye­lam untuk meli­hat sendiri per­juan­gan sosialisme. 

Men­ge­nai sis­tem negara ked­ua tokoh memi­li­ki memi­li­ki pan­dan­gan yang berbe­da dalam buku “Perang yang Tidak Kita Menangkan” oleh Bima Satria Putra (2018:12), Marx meyaki­ni bah­wa sifat eksploitatif dari negara meru­pakan cer­mi­nan eksploitasi ekono­mi dari kelas yang berkuasa, kare­na itu, negara tidak lain adalah sebuah instru­men yang tepat untuk rev­o­lusi hanya jika itu bera­da di dalam kelas yang tepat, yakni kelas pro­le­tari­at. Seper­ti diserukan dalam man­i­fe­stonya, “Pro­le­tari­at akan meng­gu­nakan kekuasaan poli­tiknya untuk selangkah demi selangkah mere­but semua kap­i­tal dari bor­juasi, memusatkan semua perkakas pro­duk­si ke dalam tan­gan negara, yaitu pro­le­tari­at yang teror­gan­isasi seba­gai kelas yang berkuasa.” Seba­liknya menu­rut Bakunin. Ia berpan­dan­gan negara lebih dari sekadar sebuah ekspre­si keku­atan kelas, kare­na negara juga memi­li­ki logi­ka dom­i­nasinya sendiri. 

Paham yang berse­beran­gan men­jadikan ked­ua tokoh beser­ta ide­ologinya berkon­flik dalam par­tai buruh dan ikatan buruh inter­na­sioanal. Menu­rut Bakunin, sifat sosial­isme sendiri adalah cos­mopoli­tan yaitu seti­ap war­ga negara adalah war­ga dunia. Di mana suatu lem­ba­ga seharus­nya mem­beri kebe­basan indi­vidu (fed­er­al­isme) atas seti­ap buruh, bahkan peng­ha­pu­san sis­tem-sis­tem pemer­in­ta­han yang menghis­ap keku­atan buruh dalam sis­tem ekono­mi. Sosial­isme sendiri ter­da­p­at beber­a­pa mazhab di dalam­nya. Ten­tu yang dap­at kita acu adalah gejo­lak intelek­tu­al oleh para tokoh di dalam­nya yang secara sis­tem­a­tis mema­parkan ben­tuk teori maupun pragmatisnya.

Salah sat­un­ya adalah Anarko Sindikalis yang baru-baru ini naik keper­mukaan di indone­sia, lahir pada peri­ode 1890–1920. Sete­lah kesadaran para buruh men­ge­nai kesia-siaan aktiv­i­tas poli­tik dalam per­juan­gan mere­ka secara ekono­mi secara lang­sung. Ser­ta kesadaran atas keku­atan indus­tri­al berasal dari mere­ka sendiri dan bukan dari para pet­ing­gi par­tai. Menun­tut secara ter­bu­ka pen­ga­lokasian alat pro­duk­si kepa­da buruh seba­gai tan­da anti‒negara dan anti‒partai, den­gan kon­fed­erasi atau sindikalis (syn­di­cate), artinya asosi­asi atau serikat. 

Aksi lang­sung adalah sim­bol sejati anark­isme,” tulis Emile Hendry, seo­rang anark­isme Pran­cis. Meskipun penuh den­gan gejo­lak intelek­tu­al dari indi­vidu tokoh, maupun jaman­nya. Kon­gres per­ta­ma anark­isme pada 1907, pete­muan yang dihadiri oleh anarkis maupun sindikalis. Mem­ba­has men­ge­nai kemu­ngk­i­nan yang akan meny­atukan antara anarkis maupun sindikalis. Kon­gres terse­but dihadiri oleh Erri­co Malat­es­ta, Lui­gi Febri, Pierre Monat­te, Emma Gold­man, dan Rud­ofl Rock­er, ser­ta Cris­t­ian  Cor­nelis­sen. Namun, keing­i­nan buruh untuk berserikat men­da­p­at per­ten­tan­gan dari Pierre Monat­te yang menginginkan agar para buruh tetap inde­pen­den. Mulai dari sit­u­lah men­cu­at anarko‒sindikalis seba­gai kul­tur tra­disi dalam spek­trum sosialis den­gan atribut hitam-hitam seba­gai identitas.

Sedan­gkan bagaimana perkem­ban­gan anark­isme di Indone­sia? Tidak jelas memang perkem­ban­gan anark­isme di Indone­sia dim­u­lai dalam peri­ode mana, pada masa kolo­nial paham kiri dalam arti ini sosial­isme sudah banyak dipela­jari, meskipun masih dalam lingkup yang kecil. Den­gan mulai aktifnya Indis­che Soci­aal Democ­ra­tis­che Vereenig­ing (ISDV) 1915. Namun, paham yang dijadikan lan­dasan organ­isasi adalah komu­nis. Jauh sebelum ISDV dalam buku Perang yang Tidak Kita Menangkan (2018:33), juga dis­ing­gung men­ge­nai Mul­tat­ulisan­gat berpen­garuh dalam anark­isme dan sosialis. Bahkan oleh anarkis Rusia Pieter Kropotkin, Max Heave­lar dija­jarkan den­gan karya Niezc­the, Emer­son, White­man, Thoureau, dan Ibsen. Menu­rut Kropotkin tulisan terse­but telah mem­ban­tu penulisan anark­isme kon­tem­por­er, rev­o­lu­sion­er, kare­na menun­tut ben­tuk-ben­tuk ketim­pan­gan kolonialis. 

Ini­lah yang dijadikan seman­gat untuk men­ca­pai pem­be­basan atas kolo­nial­isme imperi­um barat. Bahkan sete­lah Indone­sia bebas dari kolo­nial­isasi pun paham kiri masih men­ja­di ide­olo­gi pop­uler. Meskipun tidak jelas juga letak anarkis dalam kon­tes­tasi poli­tik kala itu. Baru pada 1980 an pas­ca tum­bangnya Par­tai Komu­nis Indone­sia (PKI) sete­lah gejo­lak poli­tik 1965, jelaslah paham-paham anark­isme yang masuk melalui komu­ni­tas Pub­lic Unit­ed Noth­ing King­dom (PUNK) di Indone­sia. Dan tum­buh sub­ur pas­caor­ba seba­gai eufo­ria atas berakhirnya penin­dasan yang otori­tatif orba, hing­ga sam­pai sekarang. 

Penulis: Gal­ih Bayu Adam
Redak­tur: Rifqi Ihza F. 

Pem­ba­ca fil­safat, dan karya tulis lainya.