Judul : 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad 21
Penulis : Yuval Noah Harari
Alih bahasa : Haz Algebra
Penerbit : CV. Global Indo Kreatif
Kota terbit : Manado, 2018
Tebal buku : 392 halaman
ISBN : 978–602–61663‑5–7
Banyak dinamika yang telah terjadi di abad ke-21, mulai dari revolusi industri, perkembangan teknologi, serta isu politik hingga sosial yang bahkan sebelumnya jarang ada di angan-angan.
Atau sebenarnya sudah diprediksi, namun sengaja dibuat sembunyi? Siapa peduli? Nyatanya, 24 jam sehari rasanya masih tak cukup untuk mengurusi perut. Namun, kita perlu menyimak pemandangan yang telah disuguhkan Yuval Noah Harari dalam bukunya yang bertajuk “21 Lesson ini”.
Pertama, gabungan infotek dan biotek salah satu titik api dinamika saat ini. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) sebagai produk revolusi tersebut ibarat rayuan janji manis. Siapa yang tak merasa dimanjakan dengan mobil auto pilot, aplikasi pendiagnosis dan pemberi rekomendasi perawatan bagi pasien, hingga asisten virtual yang secara otomatis memutarkan lagu-lagu sesuai suasana hati.
Bila Anda mengira puncak isu tersebut adalah semakin menyempitnya lapangan kerja akibat tergantikan tegnologi, maka fakta terburuk justru AI yang membajak setiap langkah manusia.
Kedua, big data sedang memonitor manusia. Pernyataan yang terdengar berlebihan. Dewasa ini, respon neuron di dalam otak terhadap kondisi yang mempengaruhinya mampu ditranslasikan ke dalam bentuk algoritma. Stigma selama ini bahwa pikiran, perasaan, keputusan, dan emosi adalah kehendak bebas, kini basi. Sebab, dengan menghitung algoritmanya, hal itu sangat mungkin diprediksi. Big data akhirnya mampu memonitor hingga bawah kulit—batin dan pikiran—manusia.
Sahabat karib Homo Sapiens abad ke-21, platform-platform besutan raksasa teknologi–sebut saja Google dan Facebook–, dengan murah bahkan cuma-cuma menawarkan layanannya. Hati-hati dengan data/informasi milik Anda. Karena, bisnis tetap bisnis, ada uang ada barang.
Ketiga, abad ke-21 punya atmosfer politik tersendiri. Isu global warming belum menemui titik terang, akibat tidak adanya sinkronisasi aksi antar negara dalam hal ini. Negara-negara yang lebih banyak merasakan efek global warming pasti menomor satukan isu ini.
Sementara negara-negara minim efek global warming merasa tak perlu memprioritaskannya. Nasionalisme turut memperparah asinkronisasi, ternyata manusia menjadi lebih peduli tentang apa yang dinomorsatukan negaranya, daripada isu genting dunia.
Keempat, agama tidak bisa menyembuhkan penyakit. Doktrinasi dan justifikasi adalah karakteristik segala agama. Ketika sebuah kebenaran berhasil ditemukan lewat penelitian ilmiah, pendeta/imam/biksu atau pemuka agama lainnya berupaya menyelaraskannya dengan apa yang telah tertulis dalam kitab suci. Alasannya, satu, agar agamanya tetap relevan. Terdengar ateis, namun begitulah realitasnya, agama hanya identitas. Dan Jepang merupakan role model yang tepat, bila tak ingin ateis.
Kelima, percayakah bahwa teroris lemah? Kemustahilan bagi mereka mengumandangkan “serang” dengan lantang. Terorisme sama dengan teater, perhatian penonton adalah tujuannya. Bila Anda panik, mayat teroris yang mati konyol akan tersenyum lebar.
Itu hanya sebagian kecil pemandangan abad ke-21 yang bisa disaksikan lewat kacamata Yuval Noah Harari. Jika menelisik lebih dalam, Anda akan menemukan sisi lain dunia hari ini. Berbagai hal yang sangat dekat dengan manusia, namun tak pernah disadari. Yuval menceritakannya dalam lima babak: Tantangan Teknologi; Tantangan Politik; Keputusan dan Harapan; Kebenaran; serta Daya Tahan.
Menilik profil Yuval Noah Harari—seorang sejarawan bergelar PhD dari Oxford University—tak ragu bila memiliki kepekaan melebihi telinga kelinci. Asumsi-asumsi “nyeleneh” dan “terlalu jauh” menghiasi tiap lembar buku ini. Meski demikian, ia mampu mendasari pemikiran-pemikirannya lewat fakta-fakta yang nampak pada abad ini. Fakta-fakta itu kemudian ia rangkai bersama asumsi-asumsinya, menjadi untaian “cerita” yang mampu mengiringi logika.
Kita menciptakan mitos untuk menyatukan spesies kita.
Kita menjinakkan alam untuk memberi kita kekuatan.
Kita sekarang meredesain kehidupan untuk memenuhi impian terliar kita.
Tapi apakah kita masih bisa mengenali diri kita lagi? Ataukah penemuan-penemuan kita membuat kita menjadi tidak relevan?
Kutipan di atas adalah narasi di sampul belakang buku “21 Lesson”. Selamat menemukan kejelasan, dalam dunia yang dibanjiri informasi yang tak relevan.
Penulis: Anjas
Editor: Ulum