Tik

Tok

Tik

Tok…

Jam yang menun­jukkan pukul 19.00 WIB terse­but berdent­ing seir­ing den­gan detaknya yang berputar sesuai kap­a­sitas bat­erai. Di bawah pec­a­hayaan yang begi­tu remang-remang ter­li­hat sang empun­ya kamar masih fokus pada layar datar di hada­pan­nya. Entah apa yang sedang ia garap hing­ga wajah­nya ter­li­hat begi­tu serius. Tak lama dari itu, fokus­nya ter­pec­ah oleh der­it pin­tu yang didorong dari luar.

Mas Karaaaaaa,” pang­gi­lan itu begi­tu memekakkan telin­ga yang mendengar.

Dan yang dipang­gil hanya diam di tem­pat. Tak men­jawab sep­a­tah kata pun. Apala­gi menoleh. Merasa tak men­da­p­at respon apa-apa, ia memu­tuskan untuk kem­bali memanggil.

Mas Baskaraaa!” Serun­ya den­gan nada yang mulai naik satu oktaf.

Ya, sebelum­nya perke­nalkan, ia adalah Baskara. Seo­rang maha­siswa juru­san Sas­tra Indone­sia di kam­pus­nya. Dan pemi­lik suara nyaring itu adalah adik kesayan­gan­nya, Niskala.

Apa sih? Mas lagi fokus ini loh, kamu nggak lihat?” Jawab­nya sete­lah sepersekian detik hanya bergem­ing di duduknya.

Niskala menghela napas pan­jang-pan­jang. Selalu saja seper­ti ini. Menge­salkan, batin­nya. Ngomong sama Mas Kara sudah seper­ti men­ga­jak bicara kulkas, sudah lah din­gin, tidak ada respon pula.

Mas, lagi nga­pain? Fokus banget,” ucap­nya sete­lah men­dudukkan diri di kasur Baskara.

Lagi menye­lam,” jawab Baskara sekenanya.

Ter­den­gar Niskala berde­cak kesal men­da­p­at jawa­ban seper­ti itu. “Orang lagi nger­jain tugas gitu kok bilangnya nye­lam sih, Mas!” Protes­nya menen­dang angin yang tak salah.

Lha itu nger­ti, per­tanyaan­mu itu lho sebe­narnya retoris, La. Kena­pa coba masih ditanyain?” Jelas Baskara den­gan pan­dan­gan yang masih ter­fokus pada layar.

Niskala hanya tersenyum kecil menampilkan sederet giginya yang putih berseri. “Lagi bikin puisi ya, Mas?” Lan­jut­nya men­co­ba mema­ha­mi teks di hada­pan Baskara.

Iyaaaaa,” jawab Baskara yang masih ter­fokus pada layar.

Meli­hat kakaknya yang begi­tu fokus, Niskala memu­tuskan untuk sedik­it men­ga­cak-acak tumpukan buku di rak milik Baskara. Begi­tu mem­bosankan sekali buku-buku bacaan ini. Isinya hanya ten­tang puisi, kata, dan beber­a­pa buku tebal yang tidak ter­ma­suk ke dalam dere­tan nov­el fik­si kesukaan­nya. Apa sih istime­wanya kata, dik­si, dan teman-teman­nya yang lain bagi sang kakak hing­ga ia rela menumpuk buku tak menarik set­ing­gi ini?

Bukun­ya Mas Kara nge­bos­enin!” Gerutun­ya yang masih mem­bo­lak balik tumpukan buku milik Baskara.

Menden­gar gerutu­an itu, Baskara hanya menoleh sek­i­las dan kem­bali fokus pada apa yang sedang ia ker­jakan. Tak lama, ter­den­gar suara Niskala yang lagi dan lagi men­ga­jukan pertanyaan.

Kena­pa sih Mas Kara suka banget sama puisi?” Tanyanya memir­ingkan kepala berharap men­da­p­at jawa­ban yang pasti.

Baskara diam seje­nak sebelum akhirnya men­jawab tanya dari adiknya, “ya kare­na puisi itu seten­gah dari jiwanya Mas.”

Halah, kumat tuh bucin­nya!” Ejek Niskala melem­parkan robekan ker­tas di hadapannya.

Baskara men­gal­ihkan fokus dan tat­a­pan­nya ke arah Niskala. Entah men­ga­pa adiknya itu terasa begi­tu men­jengkelkan. Ingin sekali rasanya ia menim­bun Niskala di bawah tumpukan kata-kata yang ada dalam pikirannya.

Hey, mana ada? Puisi itu indah, La. Den­gan puisi, kita, uta­manya Mas sendiri bisa den­gan mudah mengek­spre­sikan rasa lewat bait-bait­nya.”  Terang Baskara memen­dam rasa kesal.

Niskala men­gang­gukkan kepalanya dan lan­jut bertanya, “emang tujuan dibu­at­nya puisi untuk apa?”

Seben­ernya tujuan puisi itu banyak, mis­al­nya untuk menyuarakan isi hati, men­gungkap­kan kek­agu­man diri ter­hadap sesu­atu, untuk mem­beri nasi­hat, atau mungkin bisa juga seba­gai upaya dalam pen­gungka­pan sebuah kri­tik sosial.” Jelas­nya menat­ap wajah Niskala yang ter­li­hat begi­tu menjengkelkan.

Kri­tik sosial itu apa, Mas? Kok rasanya Kala masih asing den­gan isti­lah itu,” akun­ya men­co­ba men­cari isti­lah ‘kri­tik sosial’ di dalam pikirannya.

Eum, kri­tik sosial tuh ben­tuk komu­nikasi secara lisan atau tulisan yang memi­li­ki kon­trol sosial ter­hadap masalah inter­per­son­al.” Ungkap Baskara sem­bari kem­bali mengin­gat-ingat isti­lah tersebut.

Sete­lah men­da­p­at pen­je­lasan terkait ‘kri­tik sosial’ dari kakaknya, Niskala hanya bisa ter­me­nung menat­ap pan­tu­lan dirinya di cer­min. Ia rasa masih banyak isti­lah-isti­lah lain yang seharus­nya mulai ia pelajari.

Kalau Mas balik per­tanyaanya, emang kamu nggak suka puisi?” Imbuh­nya sete­lah tak men­da­p­at respon apa-apa.

No, big no.… Kala gak suka puisi!” Tolak Kala meny­i­langkan ked­ua tangannya.

Kena­pa gitu? Pada­hal puisi indah loh, La,” bebernya mem­per­bai­ki posisi duduk.

Pokoknya Kala gak suka puisi!” Kekeh Niskala den­gan bersungut-sungut kesal.

Baskara tersenyum kecil dan kem­bali menang­gapi perny­ataan dari adiknya, “emangnya kena­pa? Coba beri Mas mu ini alasan!”

Menden­gar pin­ta dari kakaknya, ia pun mem­beri pen­je­lasan. Ya, mes­ki den­gan bersungut-sungut kesal. “Puisi itu mere­potkan, Mas! Bikin Kala pus­ing. Bikin kepala Kala rasanya ingin meledak! Kala harus capek mikir dik­si-dik­si indah yang nan­ti hasil­nya B aja, belum lagi kalau antar bait­nya gak nyam­bung satu sama yang lain. Huh mengesalkan!”

Tapi, den­gan begi­tu kamu jadi pun­ya kosaka­ta baru, La. Kamu juga jadi nger­ti dik­si lain, nggak stuck di situ-situ aja.” Terang Baskara seo­lah mem­berikan seman­gat untuk adiknya.

Niskala hanya berde­ham, ter­li­hat masih bersungut-sungut kare­na men­jawab per­tanyaan menge­salkan dari kakaknya. Sete­lah dirasa piki­ran­nya mulai din­gin, ia melan­jutkan bertanya pada Baskara.

Emang apa spe­sial­nya dari puisi? Bukan­nya itu hanya sederet kali­mat yang bisa dipa­ha­mi oleh orang-orang ter­ten­tu aja?” Tanyanya menat­ap wajah Baskara di hadapannya.

Ya kan memang di situ letak spesialnya,”

Lalu, kena­pa kok UNESCO mene­tap­kan tang­gal 21 Maret seba­gai hari puisi? Kena­pa kok nggak di tang­gal 25 atau tang­gal yang lain?” Tanyanya seo­lah ingin men­gu­ji kesabaran Baskara.

Ter­den­gar Baskara menghela napas pan­jang. Memang benar adanya kalau adiknya ini begi­tu men­jengkelkan, “kamu ini niat­nya tanya atau manc­ing emosi sih, La?”

Kala kan nggak tahu, Mas! Makanya Kala nanya,” cic­it­nya memilin ujung piama.

Menden­gar jawa­ban Niskala, ia pun akhirnya men­je­laskan bah­wa UNESCO mene­tap­kan tang­gal 21 Maret seba­gai hari puisi sedunia kare­na bermu­la dari adanya kon­fer­en­si umum ke-30 yang dilak­sanakan di Paris, Per­an­cis pada tahun 1999. UNESCO sendiri menge­sahkan hari puisi kare­na puisi diang­gap memi­li­ki per­an pent­ing dalam sejarah dunia.

Niskala kem­bali men­gag­guk tan­da paham, dan kem­bali mel­on­tarkan per­tanyaan untuk kakaknya, “terus apa bedanya hari puisi sedunia den­gan hari puisi nasional?”

Ya jelas beda dong, La. Kalau hari puisi nasion­al itu diperingati untuk men­ge­nang wafat­nya salah satu penyair Indone­sia, tahu nggak beli­au sia­pa?” Ucap­nya balik menanyai Niskala.

Chair­il Anwar?” Tebaknya kem­bali meny­ingkap ingatan­nya ten­tang tokoh-tokoh penyair Indonesia. 

Baskara men­ga­cungkan dua ibu jarinya untuk Niskala. Men­co­ba sedik­it mem­beri apre­si­asi. Walaupun keny­ataan­nya adik satu-sat­un­ya itu san­gat menjengkelkan.

Kala mau nyo­ba menyukai puisi kalau Mas Kara kasih satu alasan pasti penye­bab Mas suka puisi,” tuturnya.

Kare­na puisi itu aksara rasa bagi Mas, tapi nggak semua rasa memi­li­ki aksara.” Ujarnya kem­bali fokus menat­ap layar laptopnya.

Sete­lah men­da­p­atkan jawa­ban dari kakaknya, kini ked­u­anya sal­ing diam. Niskala yang bin­gung ingin bertanya apa lagi. Dan Baskara yang ingin sesegera mungkin mengam­bil alih ruang fokusnya.

Mas Karaaaaa!” Serun­ya kem­bali men­gal­ihkan fokus kakaknya.

Baskara kem­bali menolehkan ke arah Niskala. Meskipun tan­pa kata, Niskala tahu bah­wa kakaknya itu men­jawab “apa?”

Buatin Kala puisi dong!” Pin­tanya den­gan penuh harap kepa­da Baskara.

Kalau ada kesem­patan di depan mata, kena­pa tidak diam­bil. Mungkin seper­ti itu yang terbe­sit di piki­ran Niskala. Ya, meskipun ia tidak menger­ti bagaimana akhir dari per­mintaan­nya. Tapi, apa salah­nya mencoba?

Emang apa spe­sial­nya kamu?” Ledek Baskara seo­lah sedang men­jahili adik perempuannya.

Ish­hh, Mas Kara.… Buati­i­i­in, sat­u­u­u­uu aja!” Mohon­nya lagi yang dis­er­tai rajukan kecil.

Menden­gar Niskala yang mer­a­juk ham­pir kesal itu mem­bu­at Baskara tertawa dan meng-iya-kan per­mintaan­nya, “haha… Iya-iya. Nan­ti Mas buatin deh.” 

Penulis: Lulu
Ilus­tra­tor: Tony
Edi­tor: Vidya