Dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD) 2024, Forum Perempuan Filsafat (FPF) kembali menggelar diskusi publik dengan tajuk “Inspire Inclusion: Upaya Menepis Netralitas Gender Dalam Krisis Iklim.” Diskusi yang diselenggarakan di Rabicoen Plosokandang pada Sabtu, 23 Maret 2024 ini menyoroti permasalahan perempuan dan hubungannya dengan krisis iklim.
Dalam diskusi tersebut, FPF melibatkan tiga narasumber yang merupakan seorang pegiat lingkungan dan aktivis, yaitu: Mukhosis, Dian Mei, dan Fatima. Selain itu, FPF juga berkolaborasi dengan beberapa lembaga, seperti: Tiga Baca Study Club, LESHUTAMA, Gusdurian Bonorowo Tulungagung, Dimensipers, DEMA FUAD, HMPS AFI, HMPS SA, dan PKFT.
Direktur FPF, Dian Kurnia Sari dalam sambutannya menyebutkan bahwa pada kondisi krisis iklim ini perempuan menjadi pihak yang lebih banyak terdampak. “Perempuan sangat dekat dengan alam, dengan air. Ketika air bersih tidak ada, maka itu juga berkaitan dengan reproduksinya. Misalnya ketika perempuan itu menstruasi. Kalau tidak dibersihkan dengan air bersih maka dapat menimbulkan penyakit,” tuturnya.
Lebih lanjut Dian Mei menjelaskan bahwa perempuan lebih rentan terhadap dampak krisis iklim dari pada pria. Hal tersebut ada kaitannya dengan perempuan yang didominasi sebagai pekerja domestik, yang mana dalam penghidupannya membuat mereka lebih bergantung pada sumber daya alam yang terancam oleh perubahan iklim. Selain itu, sistem sosial yang patriarkis juga membuat mereka kesulitan untuk mengatasi masalahnya.
“Ketika alam rusak, maka perempuan menjadi sangat dirugikan. Perempuan memerlukan perhatian lebih,” pungkas Dian Mei.
Berkaitan dengan hal tersebut, Fatima menyoroti bahwa krisis iklim merupakan krisis yang tidak netral gender. Sistem patriarkis yang tertanam dalam masyarakat memperburuk ketimpangan gender dalam menghadapi perubahan iklim. Perempuan memiliki akses terbatas terhadap sumber daya. Kebutuhan dan kepentingan mereka pun sering diabaikan dalam perencanaan dan kebijakan publik terkait mitigasi atau adaptasi iklim. “Ini adalah masalah kita bersama,” imbuh Fatima.
Menanggapi situasi itu, Fatima menyarankan perempuan untuk lebih aktif besuara mengenai kebijakan iklim. Sehingga mereka dapat turut berkontribusi dalam pembuatan kebijakan publik. Selain itu, juga diperlukan keterwakilan dari banyak golongan lain dalam pembuatan kebijakan tersebut, supaya hak mereka turut serta terjamin.
“Hal-hal ini memang sangat kompleks, makanya isu soal ketimpangan gender ini adalah isu yang interseksional, yang memicu banyak aspek di dalamnya. Tidak hanya soal ketimpangan gender, tetapi banyak faktor, misalnya seperti: agama, politik, perekonomian, sosial, kultural, bahkan ekologi. Makanya sangat dibutuhkan kolaborasi-kolaborasi bersama,” jelas Fatima.
Penulis: Cindy
Reporter: Cindy, Zaky, Lulu
Redaktur: Zulfa
Editor: Novinda