Dalam sun­yi dan asrinya suasana pedesaan, tinggalah satu kelu­ar­ga dalam hun­ian jog­lo mod­ern yang meng­hadap area sawah den­gan sun­gai kecil seba­gai sum­ber pen­gairan­nya. Seper­ti pada Ming­gu sebelum­nya, kini Abyasa ten­gah men­e­mani sang adik bermain di teras. Ia den­gan pon­sel dan buku kesayan­gan­nya, sedan­gkan sang adik, Eri­na, den­gan sepe­da mini war­na mer­ah muda dan bone­ka beru­ang yang duduk di keranjangnya. 

Abyasa meru­pakan salah satu siswa SMA kelas tiga den­gan ting­gi 177 cm yang memi­li­ki war­na kulit kun­ing langsat dan ram­but hitam pekat. Sedan­gkan Eri­na adalah salah satu murid SD kelas dua den­gan war­na kulit yang sena­da dan tubuh yang tidak ter­lalu ting­gi untuk anak seu­sianya. Dan hal terse­but kadang kala mem­bu­at Abyasa men­cu­bit gemas pipi gem­bil­nya

Mas, adiknya ajak masuk dulu ya, sara­pan­nya sudah siap!” seru Ibu yang ten­gah menyi­ap­kan masakan­nya di ruang tengah.

Iya, Bu…” jawab­nya sem­bari menut­up layar ponsel. 

Sem­bari mele­takkan posel­nya ke meja, ia pun menyeru Eri­na tan­pa menoleh, “Rina, ayo masuk dulu! Sama Ibu dis­u­ruh sarapan.” 

Satu detik, dua detik, seru­an terse­but tak kun­jung dire­spon oleh adiknya. Ia pun menolehkan pan­dan­gan ke hala­man rumah dan yang dida­p­ati hanyalah sepe­da roda dua yang tergele­tak begi­tu saja dit­ing­galkan tuan­nya. Menyadari adiknya tidak ada di tem­pat, ia mulai merasa panik dan kepanikan itu semakin men­ja­di keti­ka ia menden­gar suara seper­ti ben­da ter­jatuh ke sungai. 

Ibu.… seben­tar ya, Rina masih mau cari belalang katanya,” ali­binya sem­bari berlari ke depan rumah. 

Rina…!” teri­aknya keti­ka men­da­p­ati sang adik berdiri di ping­gir sun­gai sam­bil memegang serok ikan milik Ayah.

Merasa dipang­gil, Eri­na pun menoleh dan memamerkan gigi ompongnya pada Abyasa. Ia berlari kecil ke arah­nya ser­aya tersenyum riang. Meli­hat tingkah adiknya yang terasa menge­salkan, Abyasa yang masih dis­e­limu­ti perasaan panik itu pun secara spon­tan men­gomel gemas padanya. 

Kamu ini loh, sudah lihat Mas panik kok malah cen­gar-cen­gir kayak gitu!”

Nyari­in apa sih, Rin? Wong tadi bilangnya mau main sepe­da di hala­man kok malah main-main di dekat sun­gai!” tam­bah­nya yang malah mem­bu­at Eri­na mencebik.

Sebelum adiknya itu menangis dan ia yang dimarahi oleh Ibu, maka Abyasa mem­bawanya pulang dan duduk man­is di meja makan mem­ber­samai orang tua mere­ka. Men­da­p­ati wajah Eri­na yang cem­berut kesal seo­lah ingin menangis, Ayah yang ten­gah mengam­bil tempe dan beber­a­pa lauk lain­nya itu pun bertanya, “Belalang­mu lep­as kah, Dik? Kok cem­berut gitu.” 

Son­tak Eri­na melirik tajam sang kakak sebelum akhirnya menangis seja­di-jadinya. Ia menangis sem­bari men­gadu pada Ibu dan Ayah jika Mas Aby tadi men­gomelinya kare­na ia bermain di ping­gir sungai. 

Ayah yang ten­gah menden­garkan adu­an putrinya den­gan sesekali menyen­dokkan nasi ke mulut terse­but turut her­an dibu­at­nya. Kiranya apa yang Eri­na cari sehing­ga pagi-pagi sekali sudah bermain di tepi sungai? 

Pian nih han­dak becari apa sesub­uhan sudah tulak ke sun­gai?” tanya Ayah den­gan bahasa Ban­jar dan logat khasnya. 

Per­tanyaan Ayah mem­bu­at selu­ruh anggota kelu­ar­ga menen­gok keheranan, tak biasanya Ayah meng­gu­nakan bahasa Ban­jar keti­ka berko­mu­nikasi. Teruta­ma Eri­na, ia yang awal­nya menangis lang­sung dibu­at mel­on­go kare­na mencer­na per­tanyaan Ayah. 

Abyasa yang sedik­it­nya paham per­tanyaan dari ayah­nya terse­but mem­bu­at perny­ataan yang sama, “kata Ayah, nga­pain kamu pagi-pagi sudah bermain di ping­gir sungai?” 

Rina ingin men­cari ikan, kemarin Rina den­gar dari guru Rina, di sun­gai ada ikan yang dua.” paparnya menang­gapi per­tanyaan Ayah.

Ikan yang dua itu apa, Rina? Kamu ini jan­gan men­ga­da-ada,” tegas Ibu menang­gapi perkataan Rina. 

Yang ditanya hanya bisa diam. Pasal­nya, kemarin ia tak sen­ga­ja menden­gar obrolan singkat dari gurun­ya di lorong ujung dekat kelas empat bah­wa di sun­gai ter­da­p­at ikan yang aneh. Dan kare­na itu, pagi ini ia rela mena­han dingin­nya udara demi men­cari benar tidaknya uca­pan gurun­ya kemarin.

Itu loh, Bu, ikan yang dua.” ucap­nya den­gan jawa­ban yang serupa. 

Ibu ter­li­hat mende­lik kesal dan kem­bali mene­gaskan per­tanyaan­nya, “iya, Rina! Ikan yang dua itu apa? Matanya kah? Sirip­nya kah? Atau apanya?”

Sudahlah, Bu, biarkan Rina mengin­gat­nya dulu. Repot kalau dia tam­bah menangis,”   tim­pal Ayah men­co­ba meredam rasa kesal Ibu. 

Ibu ter­den­gar menghela napas pan­jang sem­bari mem­bereskan pir­ing bekas sara­pan mere­ka. Agaknya putri kecil­nya itu memang menge­salkan, pagi-pagi begi­ni bukan­nya olahra­ga atau apa, malah bermain di sun­gai. Bagaimana jika nan­ti ia ter­ce­bur, apakah ia akan meng­gu­nakan gaya batu andalan­nya? Kan juga tidak!

Aha, Rina ingat!” lon­tarnya menat­ap Ibu dan Ayah secara bergantian. 

Kata Ibu guru Rina kemarin, di sun­gai itu ada ikan inter­cekek.” imbuh­nya yang malah mem­bu­at Abyasa meledakkan tawanya. 

Begi­t­u­lah Abyasa, kalau tidak meledek ya men­ertawakan adik kecil­nya. Seper­tinya jika satu hari saja ia tak meledek Eri­na, maka ia akan men­ja­di ker­ing kerontang layaknya pohon kedon­dong yang meng­gugurkan daun­nya keti­ka kema­rau tiba. 

Mas Aby, sudahi tertawa­mu, lihat­lah muka adik­mu yang kem­bali masam itu. Kasi­han dia,” lerai Ibu meredakan tawa Abyasa. 

Baik Ayah ataupun Ibu ter­li­hat ten­gah mencer­na dan meni­mang mak­sud dari uca­pan Eri­na. Ikan inter­cekek? Kan ikan tidak pun­ya leher, bagaimana ia bisa ter­cekik? Jawa­ban terse­but sung­guh tidak masuk akal. Sete­lah mere­ka diam sela­ma kurang lebih 15 menit, ter­den­gar Abyasa ingin kem­bali melu­ruskan jawa­ban dari adiknya. 

Hmm,” deham­nya sebelum melan­jutkan bicara. 

Mak­sud Rina ikan inter­seks kah?” tebak Abyasa yang lang­sung mem­bu­at Eri­na men­gang­guk mantap. 

Ikan inter­cekek, eh, mak­sud­nya inter­seks itu apa, Yah?” tanya Eri­na menen­gok pada Ayah yang mulai berdiri dari duduknya. 

Per­tanyaan itu mem­bu­at Ayah mau tak mau kem­bali men­dudukkan dirinya ke atas kur­si ruang makan. “Ikan inter­seks itu ikan yang berke­lamin gan­da,” jawabnya.

Seper­ti jan­tan dan beti­na ya, Yah?” 

Ayah ter­li­hat men­gang­guk sebelum akhirnya benar-benar mening­galkan ruang makan untuk beral­ih ke hala­man depan guna mem­per­bai­ki tana­man bon­sainya yang ter­lepas dari pot kare­na angin ken­cang semalam. Meli­hat ayah­nya ber­jalan menu­ju pin­tu uta­ma, Eri­na pun turut ser­ta bersama Abyasa di belakangnya. Sem­bari mem­per­bai­ki sepedanya yang tadi ia letakkan sem­barangan, ia pun kem­bali mendekati sang ayah den­gan mem­bawa per­tanyaan yang ham­pir sama. 

Ayah, kena­pa ikan­nya bisa berke­lamin gan­da?” tanyanya men­jongkokkan diri di dekat Ayah sem­bari meman­dan­gi kegiatan Ayah. 

Ikan-ikan di sun­gai itu bisa berke­lamin gan­da kare­na ter­ce­mar mikro­plas­tik yang berasal dari lim­bah popok. Dan setahu Mas, mikro­plas­tik itu salah satu bagian terke­cil dari plas­tik yang dap­at merusak lingkun­gan.” jelas Abyasa sem­bari mem­ban­tu Ayah mema­sukkan tanah ke dalam pot bonsai.

Betul itu, Mas, Dik. Ikan di sun­gai itu men­ja­di inter­seks kare­na dia men­gon­sum­si lim­bah popok.” terang Ayah menam­bahi pen­je­lasan dari Abyasa. 

Seo­lah masih penasaran, Eri­na pun kem­bali mel­on­tarkan per­tanyaan, “Ayah, kena­pa kok popoknya dibuang ke sun­gai? Kan itu jorok.” 

Ter­den­gar Ayah mengam­bil napas dalam-dalam dan menang­gapi per­tanyaan yang ter­bilang nye­leneh itu, “Ayah tidak tahu, Dik. Mungkin mere­ka malas men­go­lah­nya atau bisa jadi tidak mem­pun­yai tem­pat untuk mem­buang sampah.”

Berar­ti mere­ka tidak sayang lingkun­gan ya, Yah?” cele­tuk Eri­na sem­bari memainkan bone­ka beruangnya. 

Ayah ter­li­hat men­gang­guk, “iya, Dik, dan per­i­laku seper­ti itu tidak baik. Nan­ti kalau kamu sudah besar jadi­lah orang yang bertang­gung jawab den­gan tidak mem­buang sam­pah ke sun­gai, ya! Biar ikan-ikan kecil itu tetap memi­li­ki eko­sis­tem yang baik.” pesan­nya den­gan tat­a­pan yang masih ter­fokus pada tana­man bonsai. 

Menden­gar nasi­hat itu mem­bu­at Eri­na men­gang­guk den­gan seman­gat dan kem­bali men­ga­jukan per­tanyaan, “Ayah Ayah, bagaimana kita bisa tahu kalau ikan terse­but pun­ya kelamin ganda?” 

Per­tanyaan yang bagus, Dik! Berdasarkan lit­er­atur yang sem­pat Ayah baca, ikan-ikan itu dap­at dikatakan inter­seks melalui uji lab­o­ra­to­ri­um ter­lebih dahu­lu. Jadi, kita tidak bisa lang­sung meng­go­longkan­nya begi­tu saja.” jawab Ayah sem­bari men­gal­ihkan pan­dan­gan­nya pada Erina. 

Sekali lagi, Eri­na men­gang­guk meskipun ia merasa kurang bisa mema­ha­mi jawa­ban dari sang ayah kare­na kap­a­sitas piki­ran­nya belum dap­at mencer­na kali­mat Ayah secara sempurna. 

Dan kini gan­ti Abyasa yang menang­gapi perny­ataan dari sang ayah terkait den­gan penye­bab lim­bah popok dibuang ke sun­gai kare­na sang empun­ya sam­pah malas untuk men­go­lah­nya, “loh, Yah, memangnya lim­bah popok bisa dio­lah lagi?” 

Loh, bisa tahu, Mas. Kamu belum per­nah den­gar ten­tang itu kah? Dari lit­er­atur yang kemarin sem­pat Ayah baca, lim­bah popok itu dap­at diman­faatkan seba­gai media tanam kare­na dalam popok itu ter­da­p­at kan­dun­gan hidro­gel yang berfungsi untuk mem­per­ta­hankan air.” jelas Ayah yang lang­sung men­da­p­at seru­an ‘oh’ dari Abyasa dan juga Eri­na yang terny­a­ta masih setia meny­i­mak di samp­ing Ayah. 

Belum sele­sai den­gan rasa penasaran­nya, kini Eri­na kem­bali mem­inta izin pada ayah­nya untuk kem­bali ke sun­gai. Tapi kali ini bukan untuk men­cari ikan inter­seks yang dimak­sud­nya, melainkan men­cari tana­man eceng gon­dok untuk dijadikan­nya mainan. Dan tan­pa pikir pan­jang, Ayah pun mem­per­bolehkan Eri­na per­gi den­gan syarat Abyasa harus mengawasinya. 

Mas Aby, awas akan ading lah. Kalo pina banar ae tegig­it iwak hiu,” pesan Ayah den­gan tan­gan yang masih sibuk mem­be­nahi tana­man bonsainya. 

Menden­gar pesan dari Ayah mem­bu­at Abyasa tertawa kecil ser­aya menyang­gah­nya, “Apalah Ayah ini, mana ada di sun­gai kecil itu ikan hiu.”

Penulis: Lulu
Edi­tor: Novinda