Pemerintah lagi kebelet membuat aturan yang dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satunya dengan membuka keran lebar untuk investasi supaya bisa menanamkan duit di Indonesia. Upaya pemerintah itu dikemas dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), yang saat ini masih pro dan kontra.
Salah satu poin menarik yang terkandung dalam Omnibus Law, yakni perizinan investasi. Dilansir dari investor.id dalam Omnibus Law ini, pemerintah akan merevisi sebanyak 72 peraturan perundang-undangan terkait proses perizinan investasi dan pembukaan lapangan kerja. Tujuannya untuk mempermudah investasi dan meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia.
Menurut rilis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, untuk dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi di angka 6% per tahun, Indonesia membutuhkan investasi senilai Rp4.800 triliun. Namun, saat ini Indonesia hanya mentok di angka 5% sejak lima tahun terakhir. Maka dari itu, untuk meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi dan investasi, Omnibus Law menjadi jalan terbaik bagi itu semua (kata pemerintah)
Padahal, kata Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoensia (LIPI) Fathimah Fildzah Izzati, banyak tuh indikator yang bisa menghambat investasi, seperti korupsi, pajak, tapi kenapa harus tenaga kerja kita yang kena?
Pendapat tersebut, juga selaras dengan data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2017–2018, yang menunjukkan, korupsi merupakan hambatan tertinggi untuk berbisnis di Indonesia dengan skor 13,8. Hal tersebut mengakibatkan berbisnis di Indonesia memiliki biaya yang tinggi karena praktik korupsi.
Memang sih, salah satu dampak positif investasi yang paling dibutuhkan masyarakat adalah terbukanya lapangan kerja. Penanaman modal atau investasi bertujuan untuk menjalankan suatu usaha. Usaha juga membutuhkan faktor produksi, dan yang paling penting dalam produksi adalah tenaga kerja. Dari situ kesempatan kerja terbuka untuk masyarakat guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun, alih-alih menyejahterakan masyarakat, Omnibus Law hadir dengan kebijakan yang juga memberikan lampu hijau bagi tenaga kerja asing. Sangat dimungkinkan akan menyebabkan menurunnya kesempatan bagi tenaga kerja lokal untuk bersaing di dunia kerja. Tapi, jangan ngegas dulu. Kita kan juga sudah tau bagaimana perbandingan kualitas tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing. Lagi pula, pemerintah memberikan ruang bagi tenaga kerja asing karena di dalam negeri belum memiliki tenaga kerja terampil yang mumpuni. Akhirnya masuk tuh tenaga kerja asing.
Kata Menteri Tenaga Kerja periode lalu Hanif Dhakiri, kualitas tenaga kerja kita masih sebatas role model. Role model ini adalah bibit-bibit unggul tenaga kerja yang mampu membuktikan kemampuan di bidang tertentu, baik skala nasional maupun internasional. Orang seperti ini mampu bersaing dengan tenaga kerja asing. Sayangnya negara kita masih sedikit dan belum bisa memenuhi tenaga kerja di bidang tertentu ketika investor ingin berinvestasi di Indonesia.
Jika memang Omnibus Law ini adalah wujud kepedulian (pemerintah) kepada masyarakat, seharusnya support dong sama tenaga kerja lokal. Memasukkan tenaga kerja asing boleh saja, asal dikasih kuota dan estimasi waktu yang jelas. Agar tenaga kerja lokal juga punya kesempatan untuk bekerja tanpa minder dengan tenaga kerja asing. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja lokal, perlu adanya pelatihan secara komprehensif sesuai bidang yang dibutuhkan —antisipasi jika ada kekurangan tenaga kerja di bidang tertentu. Jadinya tenaga kerja lokal sudah siap untuk masuk di sektor yang dibutuhkan dengan bekal yang mumpuni.
Lain daripada itu, kesadaran akan kualitas tenaga kerja juga perlu ditingkatkan. Sebab kemungkinan terjadi, jika menurunya kualitas sumber daya manusia itu disebabkan rendahnya kesadaran dan kemampuan bersaing dengan tenaga kerja asing. Ingat, saat ini kita sedang di era revolusi industri 4.0.
Penulis: Irsyad Umam M.
Redaktur: Rifqi Ihza F.