LPM Dimensi – Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM‑U) UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang dibentuk oleh badan khusus, saat ini sedang menyelenggarakan agenda tahunan bernama Pemilihan Umum Raya (Pemira). Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2024, disebutkan bahwa Pemira merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan mahasiswa untuk memilih ketua dan wakil eksekutif, serta anggota legislatif. Pemira ini juga dikenal dengan istilah pemilihan presiden dan wakil presiden mahasiswa, yang nantinya akan menjabat sebagai ketua dan wakil Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA).
Adapun alur dilaksanakannya kegiatan Pemira dimulai dengan pembentukan kepanitian melalui Open Recruitment anggota KPUM‑U dan Bawaslu‑U (Badan Pengawas Pemilu Universitas) oleh Badan Khusus pada tanggal 25 November 2024 hingga penetapan panitia di hari Rabu, 4 Desember 2024. Setelah itu dilanjut dengan penyusunan peraturan KPUM yang harusnya berlangsung selama satu hari di tanggal 5 Desember 2024 menjadi molor hingga dua hari. Sementara akses ke email-email yang diperlukan juga belum tersedia. Penjelasan ini disampaikan oleh Ferrel Adam Luhur, Ketua KPUM‑U.
Penetapan PKPU pada hari Jumat, 6 Desember 2024 menimbulkan beberapa keanehan atas asas-asas yang telah dibuat. PKPU Bab II Pasal 2 menerangkan bahwa dalam menyelenggarakan Pemira harus berdasarkan asas dan prinsip yang telah disetujui, salah satunya adalah prinsip terbuka pada poin F.
Sejak awal dimulainya prosedur Pemira, Bawaslu yang dibentuk oleh Badan Khusus sama sekali tidak memberikan informasi apa pun melalui akun Instagramnya terkait keanggotaan Bawaslu. Menanggapi hal ini, Naim Roziqul, Ketua Bawaslu, menjelaskan bahwa kurangnya transparansi tersebut disebabkan oleh kendala dalam memposting informasi di akun Instagram mereka.
“Dari situ masih ada kendala dari yang namanya sosmed, setelah saya masuk verifikasi saya mau upload tapi akun Instagramnya error,” jelasnya.
Tidak hanya dalam prinsip terbuka saja, ketidaksesuaian penyelenggaraan Pemira dirasa tidak memenuhi asas adil oleh banyak mahasiswa. Bahwasanya terdapat sistem keterwakilan dalam PKPU Bab 2 Pasal 5 Ayat 5 yang menyebutkan pengambilan hak pilih sebanyak 50% jumlah mahasiswa dari setiap program studi.
Husein mahasiswa Aqidah Filasafat Islam (AFI) tidak setuju dengan adanya keterwakilan hak suara lantaran ditakutkan terjadinya politisasi suara oleh organisasi mahasiswa eksternal (Ormek).
“Otomatis itu sesuatu yang tidak adil, ketika membicarakan perihal politik kampus ada yang namanya organisasi eksternal yang bisa masuk DPT (Daftar Pemilih Tetap). Ketika organisasi eksternal itu terlalu dipolitisasi otomatis suara 50% itu akan terpenuhi dan orang-orang yang memiliki hak untuk memilih maupun DPT tidak bisa masuk kedalam DPT secara resmi, jadi saya ngga setuju,” terang Husein.
Hal yang sama juga diucapkan oleh Faizul mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) “Demokrasi kok separuh, kok mau disamakan sama ziyadahan,” ucap Faizul.
Senada denga Faizul, Hafid yang merupakan mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) mencurigai adanya pembatasan, “tidak adil. Saumpama 50% maka bisa dicurigai karena dibatasi,”
Dinilai sistem keterwakilan tidak adil, Ferrel sebagai ketua KPUM‑U mengingatkan bahwa pengambilan jumlah DPT 50% mengikut pada kebijakan Musyawarah Perwakilan Mahasiswa (MPM) dan Peraturan Mahasiswa (Perma) dengan meningkatkan jumlah DPT dari pada tahun kemarin sebanyak 10%.
Berbeda dengan UIN SATU, kampus-kampus lain seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Brawijaya menerapkan sistem di mana seluruh mahasiswa secara otomatis memiliki hak suara dalam Pemira. Dengan sistem ini, seluruh mahasiswa menjadi bagian dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) tanpa perlu mendaftar terlebih dahulu.
Terkait hal tersebut, Ferrel mengungkapkan bahwa ia sebenarnya menginginkan seluruh mahasiswa di UIN SATU juga dapat langsung menjadi DPT. Namun, pelaksanaan Pemira harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan oleh Organisasi Mahasiswa (Ormawa).
“Aku sebenarnya ya, dari diri sendiri pengen banget 100%, merasakan semuanya itu bisa daftar DPT bisa nyoblos, karena mendatanya mudah. Kalau ditanya kenapa kok 50% ngga kaya kampus lain ya itu tetap dari kebijakan Ormawa, karena KPU dibentuk oleh badan khusus terus kita harus mengikuti peraturan-peraturan yang dibuat oleh Ormawa,” terang Ferrel.
Ia juga mengakui bahwa hal seperti keterwakilan ini memanglah tidak adil. “Ya jujur saja, memang tidak adil, gimana juga ya baru proses awal itupun nanti kita eksekusi di Pemira ini, mau saya itu intinya proses demokrasi ini jangan sampai tidak ada,” tambahnya.
Sosialisasi Tidak Merata, Mahasiswa Tak Tahu Maksud Pemira
Tahapan Pemira yang sedang berlangsung saat ini telah melalui proses sosialisasi pada Minggu, 9 Desember 2024. Berdasarkan berita acara yang dikeluarkan oleh KPUM, sosialisasi tersebut bertujuan untuk menjelaskan sistematika dan mekanisme Pemira 2024. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom, dengan target peserta sebanyak 45 lembaga, masing-masing diwakili oleh satu orang. Namun, hanya 19 perwakilan yang hadir.
Minimnya kehadiran perwakilan lembaga dalam tahapan sosialisasi ini berdampak pada rendahnya pemahaman mahasiswa mengenai kegiatan Pemira, terutama di kalangan mahasiswa baru. Ferrel Adam Luhur, Ketua KPUM‑U, mengungkapkan bahwa kendala ini terjadi karena kurangnya respons dari lembaga-lembaga yang seharusnya turut serta dalam sosialisasi.
“Ketika saya membagikan undangan dan juga sosialisasi itu sama sekali tidak ada respon, mungkin karena timelinenya se mendadak itu, tapi pamfletnya sudah saya share dua hari sebelum hari H,” ungkap Ferrel.
Naim selaku ketua Bawaslu menanggapi adanya ketidakmerataan informasi Pemira ke seluruh mahasiswa dikarenakan realita yang ada dikampus saat ini khususnya mahasiswa baru lebih suka mencari informasi yang sifatnya trending.
“Realita per-hari ini yang ada di kampu, yang mahasiswa-mahasiswa baru, adanya info-info yang ada di kampus kan hanya membuat status-status kaya tenar-tenar. Informasi yang ada di kampus (mereka mahasiswa, red.) kaya kurang menahu kegiatan, khususnya kegiatan kampus yang terstruktur (Pemira, red.) bukan yang tenar-tenar,” kata Naim.
Gerak-Gerik Politisasi Suara Oleh Sejumlah Mahasiswa
Selama berlangsungnya Pemira, kru LPM Dimensi mencatat sejumlah temuan, salah satunya terkait pembentukan grup WhatsApp (WA) bernama DPT. Berdasarkan prosedur Pemira, pembentukan grup WA DPT dilakukan setelah hasil pemutakhiran pendaftar DPT diumumkan, yang dijadwalkan pada Kamis, 12 Desember 2024. Namun, pada kenyataannya grup DPT tersebut telah dibentuk lebih awal, yaitu pada 8 Desember 2024.
Salah seorang mahasiswa yang berada dalam grup tersebut mengatakan bahwa dia dimasukkan langsung oleh ketua umum Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) ke dalam grup tanpa sepengatahuannya. Menanggapi hal ini, Ferrel mengatakan bahwa hal ini terkesan gokil dan sudah tidak menjadi rahasia umum.
“Tanggapan saya gokil, maksudnya sudah tidak menjadi rahasia umum lagi kalau setiap tahun terjadi hal seperti ini. Kan itu metode atau cara mereka (Paslon) dalam mendapatkan suara.”
Ferrel menambahkan bahwa keberadaan dua grup WhatsApp (WA) DPT akan ditindaklanjuti dengan memberikan teguran serta menghapus salah satu grup tersebut.
“Untuk tindak lanjut kepada grup-grup DPT seperti itu yang dilaksanakan sebelum pada timeline yang direncanakan lebih baik cuma ditegur saja dan disuruh hapus, apalagi ada lagi ya dihapus lagi, kita juga harus mencari informasi gerak-gerik para pelanggar tersebut,” pungkas Ferrel.
Penulis: Mustofa
Reporter: Wahyu, Ario, Vira, Amara dan Mustofa
Editor: Novinda
Redaktur: Zulfa