Tuhan, lidahku terasa kelu,
hatiku pun seo­lah sayu.
Entah ada belati yang menghunus­nya,
atau mungkin tam­paran fak­ta
bah­wa negeri ini ten­gah layu.

Entahlah, Tuhan, aku tak tahu.
Untuk mem­ba­ca saja rasanya tak mam­pu,
apala­gi menyoal rasa yang konon tabu itu.
Iro­nis memang,
diri ini seo­lah tum­buh dalam kepaya­han semata.

 
Tuhan, katanya negeri ini demokrasi,
tapi men­ga­pa kami hanya diberi sesuap jan­ji?
Men­ga­pa pula kami dis­uapi sepor­si nasi—
jika sang per­ti­wi mer­in­tih di bawah kaki kami sendiri.

Tuhan, darah itu sudah ter­ce­cer
dari ujung satu ke ujung lain­nya,
tapi apa yang kami ter­i­ma?
Kau benar, hanya bualan man­is belaka.

Katanya ini, katanya itu,
katanya apa lagi?
Kead­i­lan? Oh, ten­tu ia ada.
Tapi ten­gah menari riang
di bilik para utusan.

Dan kau tahu, Tuhan?
Di dalam gedung mewah itu,
telin­ga sudah tak nam­pak,
dan mata pun sudah lenyap dari tem­pat­nya.
Mere­ka hilang—
atau mungkin sen­ga­ja dicopot
dan dikubur bersama suara kami?

Penulis: Sifa
Illus­tra­tor: Nad­hi­ra
Redak­tur: Musto­fa Ismail