Ger­akan maha­siswa sejak dulu selalu dipan­dang seba­gai motor peruba­han. Kam­pus dan organ­isasi maha­siswa seharus­nya men­ja­di ruang dialek­ti­ka, tem­pat mengka­ji per­masala­han lokal, daer­ah, maupun nasion­al. Dari prob­lem petani yang kehi­lan­gan lahan, buruh yang tertin­das upah murah, sam­pai isu nasion­al seper­ti ketim­pan­gan pen­didikan dan kebi­jakan yang tim­pang. Diskusi bukan hanya soal teori, tapi pemetaan real­i­tas, mem­ba­ca situ­asi, dan meru­muskan strate­gi peruba­han. Namun, yang ter­ja­di jus­tru sebaliknya.

Di Tulun­ga­gung, ger­akan maha­siswa berubah rupa. Bukan lagi barisan intelek­tu­al peng­ger­ak peruba­han, melainkan organ kam­pus yang sibuk men­gu­rus back­drop, kon­sum­si, dan pro­pos­al dana. Kri­tik memang masih ter­den­gar, tetapi berhen­ti di forum sem­i­nar, tidak men­jel­ma aksi nya­ta di jalanan. Asum­sinya, ori­en­tasi maha­siswa kini lebih diarahkan pada ser­ti­fikat dan pen­gala­man organ­isasi, tra­disi kri­tis berhen­ti seba­gai wacana akademik, ser­ta ada ketaku­tan ter­hadap repre­si jika turun ke jalan. Maka tidak her­an, jalanan sepi, raky­at tetap sendiri. Semen­tara, maha­siswa lebih nya­man berper­an seba­gai penye­leng­gara acara ketim­bang peng­ger­ak perubahan.

Pada­hal sejarah Indone­sia tidak per­nah lahir dari sem­i­nar. Dari tahun 1966, 1978, hing­ga 1998, maha­siswa turun ke jalan, mengge­tarkan kekuasaan, dan menyam­bung lidah raky­at. Kini, maha­siswa di daer­ah jus­tru kehi­lan­gan nyali. Diskusi berhen­ti jadi wacana, kri­tik berakhir di notu­len­si, dan raky­at kecil tetap menang­gung beban sendirian.

Kalau Maha­siswa diam, sia­pa lagi yang akan bersuara?

Perny­ataan yang sem­pat viral soal Menteri Keuan­gan Indone­sia, Sri Mulyani Indrawati, yang diang­gap menye­but guru seba­gai “beban negara” memang sudah diban­tah. Video itu terny­a­ta hasil poton­gan tidak utuh bahkan deep­fake dari pidatonya di ITB, 7 Agus­tus 2025. Sri Mulyani mene­gaskan, ia tidak per­nah menye­but guru seba­gai beban negara. Namun, kegaduhan itu mem­bu­ka luka lama. Bagaimana negara mem­per­lakukan guru bukan seba­gai pilar per­ad­a­ban, melainkan sekadar pos anggaran yang bisa ditekan.

Pada­hal, anggaran pen­didikan nasion­al sudah men­ca­pai Rp. 724,3 tril­i­un. Jan­ji kenaikan gaji ASN dan tun­jan­gan guru non-ASN juga beru­lang kali dium­bar. Tetapi real­i­tas di lapan­gan tetap iro­nis. Data nasion­al menun­jukkan 74,3% guru hon­or­er mener­i­ma gaji di bawah Rp. 2 juta per bulan, bahkan 20,5% di antaranya hanya men­da­p­at kurang dari Rp. 500 ribu. Guru non-ser­ti­fikasi rata-rata hanya men­da­p­at insen­tif Rp. 300 ribu – Rp. 500 ribu per bulan. Sedan­gkan yang sudah berser­ti­fikasi (PPG) mem­per­oleh Tun­jan­gan Pro­fe­si Guru (TPG) sek­i­tar Rp 2 juta per bulan, itu pun di luar gaji pokok dari sekolah.

Di Tulun­ga­gung, kon­disinya lebih miris. Liputan iNews pada Jan­u­ari 2024 men­erangkan bah­wa Guru PPPK (Pegawai Pemer­in­tah den­gan Per­jan­jian Ker­ja) paruh wak­tu hanya mener­i­ma gaji Rp. 100 ribu hing­ga Rp. 350 ribu per bulan, jauh dari stan­dar hidup min­i­mum. Insen­tif dari Pemkab pun yang sebelum­nya hanya Rp. 350 ribu untuk SD dan Rp. 400 ribu untuk SMP, itupun sekadar meng­gan­ti ongkos transportasi.

Fak­ta ini meno­hok nurani. Bagaimana mungkin bangsa ini menyi­ap­kan gen­erasi tang­guh jika gurun­ya sendiri masih diper­lakukan seo­lah beban. Anggaran pen­didikan besar, tapi marta­bat guru kecil. Sela­ma guru terus dipan­dang sekadar angka dalam APBN (Anggaran Pen­da­p­atan dan Belan­ja Negara), maka wajar jika pen­didikan hanya jadi retori­ka poli­tik tan­pa fon­dasi nyata.

Kon­tras den­gan nasib guru, anggota DPR hidup den­gan keme­wa­han. Gaji dan tun­jan­gan mere­ka bisa men­ca­pai Rp. 100 juta per bulan. Namun, fungsi DPR lebih ser­ing menyeru­pai tukang stem­pel pemer­in­tah. Mere­ka jarang berdiri di sisi raky­at, apala­gi berani meno­lak kebi­jakan yang jelas-jelas menin­das. Semen­tara buruh bek­er­ja 12 jam sehari hanya untuk puluhan ribu rupi­ah, DPR den­gan mudah men­gan­ton­gi Rp 3 juta per hari tan­pa harus berk­eringat. Demon­strasi buruh dan maha­siswa pada 25 Agus­tus 2025 di Jakar­ta mem­buk­tikan ama­rah raky­at yang sudah menumpuk. Namun, jawa­ban negara tetap sama: gas air mata, tameng polisi, dan telin­ga yang ter­tut­up rapat.

Di sisi lain, raky­at kecil terus saja men­ja­di kor­ban. Petani digusur oleh tam­bang, nelayan dilin­das indus­tri besar, peda­gang kecil dig­i­las oleh retail mod­ern. Suara mere­ka jarang sekali sam­pai ke meja kebi­jakan. Elit poli­tik lebih sibuk mem­per­juangkan tun­jan­gan rumah, kendaraan dinas, dan fasil­i­tas mewah. Situ­asi ini bukan sekadar ketim­pan­gan sosial-ekono­mi. Ia sudah men­jel­ma men­ja­di penghi­naan terang-teran­gan ter­hadap rakyat.

Dalam situ­asi ini­lah, maha­siswa seharus­nya tidak boleh diam. Anto­nio Gram­sci dalam salah satu karyanya menye­butkan maha­siswa harus men­ja­di intelek­tu­al organik. Intelek­tu­al yang tidak hanya mem­pro­duk­si ilmu di menara gad­ing, tetapi juga menghubungkan penge­tahuan den­gan denyut nadi raky­at. Jur­gen Haber­mas mene­gaskan pent­ingnya ruang pub­lik kri­tis, tem­pat masyarakat dap­at berde­bat secara rasion­al dan menyuarakan kepentin­gan­nya, tan­pa dom­i­nasi elit yang mem­bungkam. Ped­a­gogy of the Oppressed karya Paulo Freire mengin­gatkan bah­wa pen­didikan sejati bukan sekadar reflek­si, tetapi juga aksi—yakni pros­es pem­be­basan yang menun­tut keter­li­batan aktif dalam peruba­han sosial.

Sudah cukup maha­siswa Tulun­ga­gung bersem­bun­yi di balik sem­i­nar. Diskusi harus jadi bahan bakar aksi, bukan arsip kegiatan. Kam­pus harus kem­bali jadi markas per­juan­gan, bukan pang­gung acara glam­or. Kalau maha­siswa ingin dise­but ger­akan, mere­ka harus berani menyuarakan nasib guru yang dip­ing­girkan, berani melawan DPR yang rakus anggaran, dan berdiri di sisi raky­at kecil yang ditindas.

Maha­siswa tidak boleh puas hanya men­ja­di komen­ta­tor pasif di ping­gir pang­gung peruba­han. Kri­tik tan­pa aksi hanyalah kebisin­gan kosong, seakan kem­bang api di malam gelap tan­pa jejak. Ger­akan maha­siswa Tulun­ga­gung kini dihadap­kan pada pil­i­han seba­gai Event Orga­niz­er kam­pus yang sibuk pro­pos­al dana, atau kem­bali mer­a­p­at ke jalan raky­at den­gan keberanian.

Dalam setahun ter­akhir, mere­ka dua kali turun ke jalan. 26 Agus­tus 2024, alian­si maha­siswa dan masyarakat mengge­lar aksi di DPRD den­gan enam tun­tu­tan, mulai dari pen­gawalan putu­san MK Pilka­da hing­ga pen­didikan gratis, mit­i­gasi ben­cana, dan ekono­mi pro-raky­at. Ket­ua DPRD menan­datan­gani tun­tu­tan mere­ka, mes­ki real­isasi masih jauh. 15 Juli 2025, puluhan maha­siswa bersama LKHN (Lapo­ran Har­ta Kekayaan Penye­leng­gara Negara) menun­tut transparan­si anggaran Sek­da 2024, menge­cam kejang­galan lapo­ran keuan­gan, dan meno­lak jawa­ban nor­matif. Aksi ini ditut­up den­gan pem­bakaran ban seba­gai sim­bol kekecewaan.

Fak­ta ini menun­jukkan ger­akan maha­siswa Tulun­ga­gung belum mati, tapi masih rapuh. Aksi mere­ka spo­radis, lebih mirip momen­tum tahu­nan ketim­bang ger­akan yang kon­sis­ten. Sete­lah jalanan sepi, maha­siswa kem­bali tengge­lam dalam ruti­ni­tas kam­pus dan birokrasi. Ger­akan ini harus mene­gaskan jati dirinya bukan Event Orga­niz­er kam­pus, melainkan keku­atan moral bersama raky­at, men­gaw­al kebi­jakan, dan jadi pengin­gat keras bagi pen­guasa. Hanya den­gan itu maha­siswa layak dise­but agen peruba­han, bukan penon­ton sejarah.

Sejarah tidak per­nah men­catat sem­i­nar yang megah. Sejarah hanya men­catat sia­pa yang berani berdiri bersama raky­at den­gan gagah.”

Penulis: David Yogi Pras­ti­awan
Edi­tor: Musto­fa Ismail