Media sosial kini telah menjadi panggung utama bagi mahasiswa. Hampir setiap hari kita melihat unggahan yang beragam: mulai dari rutinitas kampus, konten hiburan, hingga konten pribadi mereka. Aktivitas ini tentu menunjukkan betapa mahasiswa melek teknologi dan pandai berekspresi. Namun di balik itu ada ironi yang jarang disadari: semakin ramai di dunia maya, justru semakin sepi dalam dunia karya tulis dan kontribusi pemikiran. Mahasiswa yang dikenal sebagai kalangan intelektual kini lebih dikenal lewat akun sosial media seperti Instagram atau Tiktok mereka, bukan melalui gagasan yang dituangkan ke dalam tulisan, penelitian, atau karya ilmiah.
Budaya menulis di kalangan mahasiswa tampak melemah. Tulisan sering kali dianggap hanya sebagai “kewajiban tugas kuliah”, bukan sebagai ekspresi gagasan atau keinginannya sendiri untuk berbagi pengetahuan. Begitu tugas selesai dikumpulkan, tulisan itupun hilang dari ingatan, tidak pernah dipublikasikan, dan tidak meninggalkan jejak yang bermakna. Sebaliknya, energi dan kreativitas mahasiswa justru tersalurkan untuk mempercantik tampilan feed Instagram, membuat story setiap hari, atau ikut tren video “velocity” yang viral. Kegiatan aktif di media sosial memang tidak salah, tetapi sangat disayangkan seluruh energinya hanya tercurah kearah itu saja.
Ironi dirasa jika tulisan mahasiswa hanya berakhir di meja dosen, bukan di ruang publik. Padahal menulis adalah sarana penting untuk mengasah kemampuan berpikir kritis, mendokumentasikan gagasan, serta menyumbang solusi terhadap persoalan masyarakat. Kini, banyak mahasiswa yang nyaman menjadi penonton sekaligus konsumen informasi, alih-alih menjadi penghasil gagasan yang bisa diwariskan. Akibatnya, ruang diskusi yang seharusnya dihidupkan oleh mahasiswa menjadi kering. Pemikiran kritis yang mestinya terdokumentasi lewat opini, esai atau karya lainnya malah hilang begitu saja tergantikan dengan budaya scrolling dan posting di media sosial.
Peran mahasiswa bukan cuma sekedar menjadi pelajar yang datang ke kelas, mencatat, dan pulang. Mahasiswa adalah bagian dari kelompok yang memiliki tanggung jawab moral untuk melahirkan gagasan dan solusi. Hal ini ditegaskan dalam Permendikbudristek Nomor 3 Tahun 2020, yang menekankan bahwa perguruan tinggi betujuan “untuk menghasilkan lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi, serta mampu menerapkannya demi kemajuan bangsa.” Salah satu bentuk penerapan ilmu tersebut adalah melalui tulisan, penelitian, dan karya publikasi yang yang memberi manfaat bagi masyarakat.
Kesadaran untuk menulis dan berkarya telah diamanatkan juga melalui Undang-undang nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menyebutkan bahwa mahasiswa berkewajiban ikut serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui Tridharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sayangnya banyak mahasiswa yang baru menyentuh ranah penelitian atau publikasi di akhir studi, bahkan hanya sebatas menggarap skripsi untuk menggugurkan kewajiban. Padahal karya tulis seharusnya menjadi bagian dari kebiasaan intelektual pada masa kuliah.
Mahasiswa sebagai agent of change yang berarti agen perubahan sosial, berperan penting dalam mendorong perubahan sosial positif di masyarakat. Agen perubahan ini tidak hanya yang turun ke jalan atau menyuarakan aspirasi di ruang publik, tetapi juga menanam ide dan menyebarkannya dalam bentuk karya yang dapat diakses dan dipelajari oleh orang lain. Salah satu cara paling efektif adalah melalui tulisan. Namun pastinya tidak lahir dari sekedar unggahan konten di media sosial berupa hiburan atau opini singkat di story yang bisa saja hilang hanya dalam kurung waktu 24 jam.
Pernah mendengar bahwa media sosial bagi sebagian mahasiswa, dianggap sebagai ruang baru untuk kreativitas. Konten hiburan pun dinilai sebagai bentuk karya yang relevan dengan zaman digital saat ini. Pandangan tersebut memang tidak salah sepenuhnya. Era digital memang membuka peluang baru bagi mahasiswa untuk mengekspresikan kreativitas, bahkan dalam bentuk sederhana seperti konten visual atau podcast. Namun, yang menjadi sorotan adalah ketimpangan fokus karena terlalu banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu untuk konten pribadi tanpa mencoba mengembangkan karya yang memberi nilai tambah bagi masyarakat atau dunia akademik.
Era digital memberi mahasiswa peluang luar biasa untuk memperluas dampak perubahan. Tulisan dan karya yang diunggah secara daring dapat menjangkau lebih banyak orang dibandingkan era sebelumnya. Jika dulu diskusi hanya terbatas di ruang kelas, kini ide mahasiswa dapat diakses siapa pun, kapan pun. Namun, peluang ini akan sia-sia jika mahasiswa hanya fokus pada konten hiburan pribadi tanpa meninggalkan jejak pemikiran. Mahasiswa yang produktif berkarya di ruang digital mampu memanfaatkan teknologi sebagai alat transformasi, bukan sekadar sebagai tempat eksistensi.
Penulis: Aini Nur Agustin
Ilustrator: Sifana Sofia
Redaktur: Sifana Sofia