Peringatan Hari Kartini romannya selalu dilaksanakan setiap tahun oleh berbagai kalangan, baik organisasi maupun individu. Setiap mereka minimal akan menyebarkan pamflet berisi ucapan “Selamat Hari Kartini” atau kata-kata bijak Kartini di media sosial masing-masing.
Berbagai kegiatan dan perlombaan pun tak henti mewarnai setiap tanggal 21 April. Semua hal yang dianggap berkaiatan dengan Kartini dan keperempuanan dijadikan ide dalam rangka mengisi peringatan tersebut. Mulai dari Traditional Fashion Show, lomba berias (kecantikan), sampai dengan lomba sejoli Kartini-Kartono.
Alasan di balik meriahnya peringatan Hari Kartini tak lain untuk mengenang perjuangan R. A. Kartini dalam memperjuangkan hak kaum perempuan. Namun, apakah beragam kegiatan tersebut benar telah merefleksikan jiwa dan pemikiran Kartini yang sesungguhnya?
Memang benar, kebaya dan konde identik dengan perempuan Jawa yang hidup pada masa tersebut, tepatnya sebelum modernitas menjamah seluruh negeri. Maka, melaksakan lomba Traditional Fashion Show termasuk inisiatif yang cukup menarik, agar generasi khususnya milenial mengenal dan mau melestarikan kebudayaan nenek moyang mereka.
Namun, bagaimana dengan kontes kecantikan atau sejenisnya? Apa Kartini mengajarkan perempuan untuk selalu berdandan agar terlihat cantik? Seperti halnya pepatah Jawa, perempuan dibatasi geraknya dengan 3 M: Masak, Macak, Manak (memasak, merias diri, melahirkan anak).
Kartini tidak serta merta menyetujui budaya leluhurnya tersebut. Bahkan sebaliknya, ia begitu mengagumi kebudayaan Eropa, yang mana perempuannya dapat bergerak bebas tanpa batas dan tidak berkutat pada ranah domestik saja.
Seperti isi surat Kertini kepada sahabat Eropanya, Estelle Zeehandelaar “ … Kami hendak bebaskan diri kami sama sekali dari ikatan-ikatan yang melekat adat kuno kami yang lekat saja ini, yang pengaruhnya tak dapat kami hindari; segala prasangka yang masih melekat lekat pada kami dan menghambat kemajuan kami akan kami bebaskan, agar jiwa kami menjadi segar dan bebas, agar makin lebarnya sayap dapat kami kepakkan, demi kebaikan usaha yang kami lakukan.” (Panggil Aku Kartini Saja, hlm. 147)
Dalam hal ini, bukanlah berarti penggunaan kosmetik dan pernikahan menjadi pembatas atas kebebsan, akan tetapi bukankah lebih baik jika semua dilakukan dengan selaras. Bolehlah berias diri, tapi diimbangi dengan kecakapan yang cukup. Bolehlah sedia menikah, tetapi benar matang bersiap membangun keluarga mandiri yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas.
Definisi ‘cantik’ sendiri merupakan definisi yang dibuat kaum kapitalis untuk memasarkan produknya. Di mana cantik adalah mereka yang berkulit putih, berbadan tinggi semampai, memiliki rambut lurus, hidung dan payudara mancung, dan berbagai kesempurnaan tubuh bentukan mereka lainnya yang menjadikan perempuan berlomba-lomba untuk memenuhi kriteria tersebut.
Benar kapitalisme hadir sebagai akibat dari adanya revolusi industri di Eropa. Namun, bukan berarti Kartini yang pengagum Eropa akan begitu saja menerima kebudayaan mereka. Pandangan utama Kartini tentang Eropa adalah kemajuan pendidikan dan emansipasinya.
Dewasa ini kontes kecantikan justru dianggap sebagai eksploitasi tubuh perempuan. Sebab perempuan dijadikan objek dan tontonan publik.
Sesungguhnya kesadaran generasi milenial untuk tetap mengenang dan melestarikan perjuangan Kartini patut diacungi jempol. Dukungan teknologi menjadikan mereka semakin inovatif dan kreatif. Meski Kartini telah berperan besar dalam menjunjung kesetaraan gender di Indonesia, perjuangan tersebut masih belum usai.
Perbedaan zaman kartini dan perempuan masa kini menjadikan tantangan yang dihadapi berbeda pula. Perempuan masa kini telah bebas untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, dan telah mendapat peluang setara dengan laki-laki dalam ranah publik. Kini, perempuan pun dapat sukses dalam pendidikan dan karirnya, bahkan melebihi laki-laki.
Konsep emansipasi hakikatnya bertujuan mengangkat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Meski tak sedikit orang menganggap para aktivis gender adalah mereka yang ingin mengunggulkan perempuan di atas laki-laki. Bahkan dari kaum perempuan sering teralienasi akan opresi (penindasan) yang mereka alami dan terlena oleh pesatnya perkembangan zaman.
Perempuan masa kini, tepatnya generasi milenial begitu beruntung mampu menempuh pendidikan tinggi. Namun, kadang kala dari mereka kurang memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik.
Tidak berusaha serius belajar dan mengasah kemampuan. Di antaranya justru sibuk memoles wajah dengan bedak dan gincu, sibuk pergi ke kafe untuk berkencan memenuhi hasrat gengsi, sibuk memperbarui status dan mengunggah potret dirinya. Alhasil, memungkinkan lulus sekolah tanpa kemampuan yang cakap, atau bahkan nikah muda jadi pelarian.
Melihat kecenderungan perempuan yang demikian, kemudian muncul pertanyaan, apakah cita-cita Kartini sudah terwujud? Kartini berkeinginan generasi penerusnya akan lebih layak dalam pendidikan dan kesetaraan. Sehingga, kaumnya tak melulu berkiprah di ranah domestik.
Biar bagaimanapun, pernikahan masih menjadi bentuk pengembalian perempuan kembali dalam ranah domestik. Meskipun perempuan bekerja di ranah publik, pada akhirnya tetap menggarap ranah domestik setiba di rumah, bahkan berpeluang menanggung beban ganda jika pembagian peran dalam keluarga berstatus timpang.
Perjuangan dan jasa Kartini akan selalu terkenang dan abadi bagi kaumnya. Kartini milenial memiliki tantangan tersendiri dalam mempertahankan perjuangannya. Kiranya perlu merefleksikan kembali cita-cita Kartini selama ini, agar tidak salah langkah dalam upaya mewujudkannya.
Sehingga kaum perempuan bisa terbebas, sekali lagi, dari imajinasi kebebasan itu sendiri. //