Peruba­han ire­versibel yang mem­ben­tuk zat baru meru­juk sifat kimia. Jika kecom­brang atau Etlingera ela­tior berbun­ga, kemu­di­an gugur dan busuk, akankan sel-sel­nya yang mati kem­bali berme­tab­o­lisme dan hidup? Tidak. Busuk ialah satu pemisalan sifat kimia yang mudah dite­mukan. Lalu saat hukum tak bek­er­ja seu­tuh­nya, meny­im­pan fak­ta bertahun-tahun, dan mening­galkan sum­ber-sum­ber nutrisinya ̶ kead­i­lan̶ apakah busuk ire­versibel? Kemu­di­an apa namanya saat kebe­naran tak naik ke per­mukaan sedekade? Tidakkah hukum suatu zat busuk?

Munir, aktivis HAM yang kema­tian­nya tak tun­tas diadilkan, mewariskan neu­ron kemanu­si­aan dan keberan­ian. Layaknya  Etlingera ela­tior, kema­t­ian mem­bungkam kein­da­han dan war­nanya. Per­juan­gan yang kan­das, menye­mai kegem­bi­raan antag­o­nis. Tepat 14 tahun sil­am, 7 Sep­tem­ber, niat apik di Utrecht Uni­ver­siteid, Belan­da kan­das di pihak-pihak tak berna­ma. Celah kosong yang ter­ben­tuk tak kun­jung tere­duk­si, tak ter­isi penang­gung­jawab kema­t­ian sang aktivis.

Munir Said Thal­ib atau Munir, singkat­nya, tewas di pesawat Garu­da GA-974, Jakar­ta ̶ Ams­ter­dam. Kemu­di­an NFI atau Insti­tut Foren­sik Belan­da men­gungkap arsenik seba­gai sebab kema­t­ian sang aktivis. Kon­spir­asi ter­ja­di. Munir, satu dari sekian mitokon­dria tang­guh dipak­sa lenyap dan diam. Lan­tas Pol­ly­car­pus, Oen­di Irianto, dan Yeti Sus­mi­ar­ti, digadang ter­sang­ka dan dibui.

Tak sam­pai itu, Kom­nas HAM meni­lik keter­li­batan BIN ter­hadap kema­t­ian sang aktivis. Man­tan Deputi V BIN Much­di Prawiro Pran­jono per­nah diadili yang kemu­di­an dibebaskan. Tidak ter­da­p­at buk­ti yang mam­pu men­gu­rungnya, bahkan per­caka­pan tele­pon Pol­ly­car­pus dan Much­di Prawiro Pran­jono tak dibu­ka. 14 tahun kon­spir­asi, rasanya titik terang kema­tian­nya tak kun­jung dite­mukan. Bahkan, Pol­ly­car­pus dibebaskan, ber­jalan di tanah pertiwi.

Lan­tas dap­atkah hukum dite­gakkan? Mungkin. Jika neu­ron dan mitokon­dria Munir menu­run ke gen­erasi berikut­nya. Jika mere­ka berjuang tan­pa lelah, tak meny­er­ah, dan tak lekas putus asa. Munir berhak atas kead­i­lan. Hukum bukan ire­versibel, tapi reversibel yang kem­bali ke kon­disi awal, adil dan bijak. Lalu sebuah teori ter­ben­tuk, “Hukum bukan suatu zat bersi­fat kimia, melainkan sifat fisi­ka reversibel yang kem­bali ke keadaan sem­u­la, adil dan bijak. Semua berlaku untuk sang aktivis: Munir.” []

-