Tidaklah terlalu buruk untuk beranjak dari sesuatu yang disangka nyaman. Sementara zaman telah berubah dan berkembang. Juga menghindari ketakutan utopis akan suatu ide yang baru. Dan bukankah kemajuan suatu bangsa juga didukung kemajuan hukumnya?
Kewarganegaraan merupakan status yang bisa disematkan kepada setiap manusia. Disini manusia yang memutuskan untuk menetap dan tinggal pada suatu negara harus menentukan pilihan. Maka kemudian ada sebutan warga negara dan memiliki kewarganegaraan. Baik negara, warga negara maupun kewarganegaraan semua sudah tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, memuat semua aturan yang berkaitan dengan kewarganegaraan ini.
Dalam undang-undang nomor 12 tahun 2006 dijelaskan tentang pengertian warga negara, kewarganegaraan juga pewarganegaraan. Warga negara ialah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Secara definitif warga negara ini dijelaskan pada bab II undang-undang nomor 12 tahun 2006. Kewarganegaraan ialah segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara. Secara yuridis kewarganegaraan ini ditandai dengan ikatan hukum antara orang-orang dengan negara. Pewarganegaraan ialah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam bab III undang-undang yang sama syarat utama permohonan kewarganegaraan ini ialah sudah berusia 18 tahun. Juga diharuskan menetap dan tinggal di Indonesia paling singkat lima tahun berturut-turut.
Setiap negara tidak menganut konsep kewarganegaraan yang sama. Ada sebutan kewarganegaraan tunggal dan dwi kewarganegaraan. Konsep dwi kewarganegaraan ini merupakan status yang dilekatkan terhadap seseorang yang secara hukum merupakan warga di beberapa negara. Hal ini karena ada sejumlah negara yang memiliki persyaratan kewarganegaraan yang berbeda dan tidak eksklusif. Supremasi hukum Indonesia tidak menganut sistem dwi kewarganegaraan ini. Dwi kewarganegaraan dianggap tidak cocok diberlakukan di Indonesia secara utuh.
Indonesia melaksanakan konsep kewarganegaraan tunggal, dimana setiap warganya yang telah dinyatakan dewasa hanya boleh memilih satu kebangsaan. Hal ini terjadi karena ada anak yang memiliki dwi kewarganegaraan. Sehingga terdapat pengecualian agar ketika dewasa anak tersebut dapat memilih kewarganegaraan.
Polemik Dwi Kewarganegaraan
Pada agustus 2016 lalu sempat viral kasus Gloria Hamel yang didepak dari pasukan pengibar bendera untuk upacara 17 Agustus 2016. Gloria diketahui memiliki kewarganegaraan ganda yaitu Perancis karena ayahnya seorang berkebangsaan Perancis. Dari kasus ini timbullah masalah karena undang-undang tidak secara adil diberlakukan. Dengan alasan Gloria lahir sebelum tahun 2006 dan selama kurun waktu empat tahun setelah peraturan diberlakukan Gloria belum didaftarkan pada kementrian. Alasan belum didaftarkannya Gloria ini merupakan kealpaan sang ibu karena ketidaktahuan isi pasal 41 undang-undang nomor 12 tahun 2006.
Undang-undang nomor 12 tahun 2006 membuat pengecualian terhadap anak-anak untuk mendapatkan dwi kewarganegaraan. Hak istimewa ini hanya berlaku sampai anak berusia 18 tahun. Setelah berusia 18 tahun anak tersebut dapat memilih untuk memilih kewarganegaraan. Jika saat berusia 18 tahun anak tersebut belum bisa memilih maka akan diberikan tambahan waktu selambat-lambatnya 3 tahun yaitu setelah berusia 21 tahun.
Gloria belum genap berusia 18 tahun, sehingga secara hukum undang-undang ia masih berhak mendapatkan dwi kewarganegaraan. Dianggap telah melanggar pasal 41 maka Gloria tidak bisa diistimewakan untuk memiliki kewarganegaraan ganda. Gloria diharuskan melalui proses naturalisasi yang berbelit-belit. Pun setelah kasus ini muncul ke permukaan terjadi pula gugatan terhadap undang-undang kewarganegaraan. Pasal 41 diangap membuat kerancuan karena undang-undang ini hanya berlaku bagi anak yang lahir diatas tahun 2006. Tentunya hal ini menimbulkan bias terhadap anak yang lahir sebelum tahun 2006.
Naturalisasi Panjang, Berbelit dan Mahal
Kawin campur telah banyak terjadi di Indonesia dan menghasilkan anak hasil kawin campur. Sebagaimana dituturkan Juliani Luthan Ketua Organisasi Perkawinan Campuran, banyak orang tua yang belum tahu tentang pndaftaran anak hasil kawin campuran ini. Menurutnya masih banyak petugas dalam maupun luar negeri yang belum memahami dengan benar pengaplikasian pasal 41 dalam undang-undang nomor 12 tahun 2006 ini.
Kasus anak hasil kawin campuran ini banyak terjadi di Indonesia dan kebanyakan mereka juga luput dari peraturan ini. Sehingga banyak anak-anak ini diperlakukan layaknya warga asing karena administrasi belum beres. Selain itu jika anak-anak ini besar dan bisa memilih kewarganegaraan sendiri melalui proses naturalisasi dengan biaya yang mahal. Peraturan pemerintah (PP) nomor 45 tahun 2014 menyatakan bahwa biaya untuk naturalisasi ini sebesar lima puluh juta. Tentunya biaya ini tidak sedikit bagi warga negara Indonesia yang ingin dan mau mendapatkan kewarganegaraannya.
Selain mahalnya biaya naturalisasi proses panjang pengajuan kewarganegaraan inipun cenderung berbelit. Misalnya orang tua harus mengurus Affidavit bagi anak yang lahir diatas tahun 2006 . Affidavit ini semacam surat keimigrasian yang dilekatkan atau disatukan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak berkewarganegaraan ganda terbatas. Affidavit ini diperlukan guna menerbitkan paspor Republik Indonesia bagi anak kewarganegaraan ganda terbatas dan diberikan setelah selesai mengurus.
Syarat yang kurang efektif ialah bahwa anak yang lahir sebelum tanggal 1 Agustus 2006 harus memiliki Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sedangkan untuk anak yang lahir diatas tahun 2006 wajib memiliki Affidavit. Selain hal ini harus ada penyampaian yang dilakukan ke wilayah setempat guna memenuhi persyaratan. Persyaratan yang berat ini membuat orang tua enggan melakukan pendaftaran.
Pindah Kewarganegaraan
Nasionalisme bukan lagi satu-satunya alasan yang membuat warga negara Indonesia menetap di Indonesia. Banyak warga negara Indonesia lebih memilih berkewarganegaraan asing karena beberapa faktor. Mereka lebih memilih mendapatkan kenyamanan dengan tinggal di luar negeri.
Berbagai alasan realistis tentunya tidak mampu membendung mereka untuk tinggal di dalam negeri. Misalnya pertama, alasan karir yang seringkali digunakan, mereka beranggapan bahwa dengan tinggal di luar negeri maka karir mereka akan meningkat. Mereka ingin sukses di tataran internasional sehingga tinggal di luar negeri menjadi pilihan. Kedua, karena dorongan untuk hidup lebih layak maka mereka memilih keluar negeri. Negeri yang lebih maju dengan sistem perekonomian stabil tentu akan membuat hidup mereka lebih baik. Bahkan fasilitas yang mereka dapatkan lebih menggiurkan dibandingkan di Indonesia.
Alasan ketiga, kondisi politik yang tidak stabil membuat mereka enggan berada di Indonesia. Proses demokrasi yang kelewat bebas membentuk sikap anarkisme yang sering dipakai untuk demonstrasi. Hampir semua aspek kehidupan selalu mendapat sentuhan politis, ini termasuk pula praktik memilih pemimpin. Mereka beranggapan di luar negeri jauh lebih menenangkan. Keempat, terkait pelayanan publik yang terlampau buruk. Pegawai negeri sipil (PNS) sebagai pelayan masyarakat tidak mempunyai integritas dan malah menimbulkan kekecewaan dikalangan masyarakat luas. Selain itu banyak sekali kasus pejabat negara yang korup, pungutan liar yang membuat warga prasejahtera menjadi semakin tertekan.
Sedang kelima, banyak ilmuwan dalam negeri yang tidak mendapat perhatian. Mereka lebih memilih untuk tinggal di luar negeri karena merasa disana lebih dihargai. Aparatus negara juga banyak yang bertindak sewenang-wenang semakin menimbulkan kesan buruk. Selain itu banyak konflik yang terjadi di Indonesia seolah membawa hawa panas dan semakin memperburuk keadaan. Juga banyak pembangunan yang tidak merata menyebabkan tumpang tindih kondisi sosial warganya.
Masih banyak segudang alasan yang membuat warga negara Indonesia memutuskan keluar dari negerinya sendiri. Bentuk-bentuk ketidaknyamanan inipun belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Bagi mereka yang sudah merasakan kekecewaan akhirnya memilih menghilangkan kewarganegaraannya.
Geliat Menuju Dwi Kewarganegaraan
Kasus yang lebih hangat diperbincangkan sebelum ini ialah Arcandra Tahar. Arcandra merupakan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang diberhentikan setelah dua puluh hari menjabat. Pemberhentian ini karena Arcandra memiliki Paspor Amerika Serikat. Ia telah menyalahi aturan bahwa pejabat negara diharuskan orang yang berkewarganegaraan Indonesia.
Arcandra terbelit kasus kewarganegaraan asing yang membuatnya harus diberhentikan. Sementara undang-undang nomor 12 tahun 2006 dalam pasal 29 hanya menjelaskan tentang seseorang yang kehilangan kewarganegaraannya. Kemudian dijawab kembali oleh undang-undang yang sama pada bab V mulai dari pasal 31 sampai dengan pasal 35 tentang bagaimana cara memperoleh kembali WNI yang kehilangan kewarganegaraan. Dalam bab itu dijelaskan bahwa Arcandra seharusnya menempuh proses naturalisasi sebagaimana sudah dijelaskan diatas.
Namun, Arcandra tidak menempuh proses naturalisasi melainkan mendapatkan hak istimewa untuk kembali menerima kewarganegaraan Indonesianya. Alasan utamanya karena Arcandra dianggap berjasa kepada negara sehingga Arcandra mendapatkan pengecualian. Meskipun keputusan ini mendapatkan kritikan namun tetap diberlakukan.
Tentunya hal ini menciderai hukum positif yang melarang orang yang bukan warga negara Indonesia untuk menjadi menteri. Polemik ini sempat memunculkan pemberlakuan sistem dwi kewarganegaraan. Sistem yang selama ini tidak diberlakukan di Indonesia meskipun zaman dan perkembangan manusia sudah berubah.
Kenyataannya memunculkan bahwa kasus ini tidak hanya dialami Gloria maupun Arcandra. Wacana tentang perberlakuan sistem dwi kewarganegaraan dapat saja dilakukan. Hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan itu ialah dengan merevisi undang-undang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kondisi serupa memang banyak terjadi sehingga dapat dijadikan akomodasi dengan situasi politik ynag baru dalam bidang kewarganegaraan.
Meskipun Indonesia sudah menganut sistem dwi kewarganegaraan namun masih terbatas pada anak hasil kawin campuran saja. Ide ini bahkan telah dibahas secara mendalam dan komprehensif ketika rancangan Undang-undang (RUU) pada Pansus di DPR. Namun lagi-lagi atas nama nasionalisme dwi kewarganegaraan tetap tidak dapat diberlakukan. Alasan lain saat itu ialah bisa jadi banyak orang asing yang berlomba-lomba menjadi WNI untuk kemudian ikut mengelola sumber daya alam bahkan memimpin bangsa.
Kondisi warga negara Indonesia dan masyarakat internasional yang begitu tinggi sedangkan alasan nasionalisme sudah sangat kuno tidak begitu relevan. Tentunya revisi atas undang-undang nomor 12 thaun 2006 bisa dilakukan. Dwi kewarganegaraan tidaklah menjadi sangat komplek jika mau melihat dengan kacamata lain. Sehingga kasus-kasus semacam Gloria maupun Arcandra tidak akan terulang karena kemajuan bangsa juga didukung oleh kemajuan peraturan perundangannya. Begitulah hukum kemudian menjadi kaku dan belum mampu untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kekinian.
*Pada lain waktu tulisan ini sudah pernah diminta dan diterbitkan oleh Lpm Justisia UIN Walisongo Semarang.
Manusia dan kerak-kerak bumi, sama bergeraknya. Hanya, manusia itu lebih absurd