Jika masih ada per­tanyaan fes­ti­val apa yang pal­ing disukai aparatur negara, maka saya akan men­jawab fes­ti­val demokrasi mem­bungkam suara raky­at. Jika raky­at bertanya dimana demokrasi maka saya tun­tun dia meli­hat makamnya.”

Trage­di tahun 1998 meny­isakan ken­ger­ian men­dalam baik bagi aktivis dan perg­er­akan maha­siswa. Tahun-tahun sebelum rez­im orde baru tum­bang meru­pakan tahun yang berat bagi sejarah perg­er­akan kita. Sebuah refor­masi yang mem­bu­tuhkan tum­bal ratu­san nyawa, begi­t­u­lah ingatan itu muncul dalam benak kita. Tidak hanya war­ga sip­il, namun maha­siswa juga ikut men­ja­di tum­bal mewu­jud­kan reformasi.

Kasus demi kasus yang telah menghi­langkan aktivis memang telah beru­paya dibu­ka kem­bali den­gan men­gusut benang ruwet­nya. Namun seper­ti kar­bon­diok­si­da bercam­pur oksi­gen akhirnya juga men­guap tan­pa bekas. Belum ada kasus yang benar-benar dis­e­le­saikan seklaipun rez­im pemer­in­ta­han sudah sil­ih berganti.

Selepas Indone­sia men­gala­mi refor­masi tahun 1998 perg­er­akan maha­siswa seakan ter­tidur pan­jang. Tena­ga-tena­ga yang sudah dil­ampiaskan men­gen­dur, sehing­ga perg­er­akan maha­siswa ter­huyung-huyung menu­ju liang lahat. Run­tuh­nya orde baru diang­gap keme­nan­gan mut­lak telah bera­da ditan­gan raky­at. Pemer­in­ta­han diang­gap telah dijalankan sesuai den­gan undang-undang. Sehing­ga tidak ada pan­tauan khusus perg­er­akan maha­siswa ter­hadap pemer­in­tah. Hal ini berlang­sung lama dan terus menerus sam­pai sekarang yang men­gak­i­batkan keku­atan perg­er­akan maha­siswa pun melemah. Perg­er­akan sudah tidak pun­ya tar­ing menen­tang pen­guasa, bahkan malah men­ja­di robot-robot terdidik.

Ham­pir dua dekade negara ini ten­ang-ten­ang saja, kalaupun ada demon­strasi dari kalan­gan maha­siswa akan segera terse­le­saikan. Namun tahun-tahun ini perg­er­akan maha­siswa mulai tum­buh dan (kem­bali) ban­gun dari tidur pan­jangnya. Ten­tu kita masih ingat bagaimana kebe­basan akademik maha­siswa dibatasi di lingkun­gan kam­pus. Hal ini ter­ja­di dalam kurun wak­tu beber­a­pa tahun belakan­gan. Pem­bat­asan ini beru­pa pem­bubaran kegiatan akademik, sem­i­nar, maupun diskusi yang bertema sen­si­tif. Bahkan pem­bubaran ini tidak hanya dilakukan oleh aparatur negara namun juga ormas yang sen­ti­men den­gan tema sen­si­tif. Pada­hal sudah ada undang-undang yang men­gatur ten­tang kebe­basan akademik, dimana siv­i­tas akademi­ka berhak melakukan kajian-kajian sekalipun kajian itu san­gat sen­si­tif. Pelang­garan undang-undang ten­tang kebe­basan akademik inipun memicu matinya kebe­basan beror­gan­isasi dan berkegiatan khusus­nya mahasiswa.

Sete­lah kebe­baan akademik, kemarin ter­ja­di lagi peng­ingkaran kebe­basan berek­spre­si ter­hadap pers maha­siswa yang sedang melakukan peliputan aksi. Kawan-kawan Lem­ba­ga Pers Maha­siswa Bur­sa Obrolan Maha­siswa (LPM BOM) awal­nya meliput aksi dalam rang­ka Hari Pen­didikan Nasion­al. diang­gap telah melakukan pemuku­lan saat ter­ja­di demon­strasi. Mulanya demon­strasi sudah sele­sai dan para demon­stran sudah banyak yang akan mem­bubarkan diri. Namun secara tiba-tiba ter­ja­di ker­icuhan (lagi) antara maha­siswa yang demon­strasi dan aparat kea­manan. Itu­lah awal mula ter­jadinya ker­icuhan pas­cad­emon­strasi dan men­gak­i­batkan kawan-kawan LPM BOM ditangkap.

dok. persma.org

Kabar penangka­pan ini semakin men­ja­di viral dan menim­bulkan empati dari kalan­gan pers maha­siswa dari berba­gai daer­ah. Hal ini dise­babkan tidak adanya iktikad baik dari aparatur negara untuk melakukan dia­log. Sehing­ga hal ini semakin memicu panas­nya pers maha­siswa untuk turut melakukan aksi den­gan perny­ataan sikap. Per­him­punan Pers Maha­siswa Indone­sia (PPMI) seba­gai salah satu organ­isasi yang mewadahi pers maha­siswa pun men­dorong kawan-kawan LPM dis­elu­ruh Indone­sia untuk galang aksi den­gan perny­ataan sikap. Perny­ataan sikap ini meru­pakan buk­ti bah­wa seba­gai pers maha­siswa maupun perg­er­akan maha­siswa mere­ka mem­pun­yai kode etik dan tidak berlaku anarkis.

Seba­liknya, tin­dakan aparatur negara saat men­cari dan menangkap maha­siswa ini­lah yang per­lu kita sebut anarkis. Seba­gai petu­gas yang seharus­nya menga­mankan kon­disi, mem­berikan kenya­manan mere­ka malah menci­trakan seba­liknya. Mere­ka mema­su­ki kam­pus den­gan persen­jataan lengkap dan men­eror maha­siswa. Tidak segan-segan bahkan juga ter­ja­di pemuku­lan ter­hadap kawan-kawan pers maha­siswa ini, ter­buk­ti den­gan luka-luka di tubuh mere­ka. Jika kita pikirkan lagi, mana yang lebih menakutkan dan anarkis? Pers maha­siswa seba­gai rep­re­sen­tasi raky­at atau aparatur negara yang repre­sif ter­hadap ben­tuk demonstrasi.

Saya kira tidak ada iktikad baik untuk melakukan dia­log atau medi­asi kepa­da pers maha­siswa ini sebelum masuk peradi­lan. Ini dibuk­tikan den­gan sulit­nya kawan-kawan LPM di Medan men­e­mui kawan mere­ka ini di pen­jara. Seo­lah kem­bali kepa­da rez­im orde baru, kebe­naran sen­ga­ja ditu­tupi dan geli­at seba­gai manu­sia hukum yang baik pun diingkari. Pada­hal sebelum jatuh putu­san dari hakim seharus­nya dit­er­ap­kan asas-asas peradi­lan, yaitu asas praduga tak bersalah, asas legal­i­tas, melin­dun­gi hak asasi manu­sia, juga equal­i­ty before law. Atmos­fir ini semakin mem­bu­at perg­er­akan maha­siswa mem­anas dan tum­buh besar.

Demokrasi Sebatas Festival

Aksi apara­tus negara itu mencer­minkan tidak adanya sikap demokratis yang seharus­nya mere­ka lakukan. Seba­gai rep­re­sen­tasi negara, aparatur negara telah menced­erai Indone­sia seba­gai negara demokrasi. Tidak adanya dia­log juga meru­pakan ben­tuk perny­ataan sikap yang san­gat menyalahi atu­ran demokratis. Intim­i­dasi dan luka ditan­cap­kan aparatur negara kepa­da aktivis khusus­nya pers maha­siswa yang menge­samp­ingkan demokrasi. Angga­pan bah­wa demon­strasi maha­siswa selalu men­gak­i­batkan ker­icuhan adalah ben­tuk dekaden­si berpikir.

Demon­strasi yang dilakukan aktivis ini meru­pakan upaya agar masyarakat Indone­sia melek. Bah­wa kita tidak sedang benar-benar dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan kita telah sen­ga­ja ditun­tun dalam ilusi zona nya­man yang menye­babkan perge­ser­an nilai bah­wa mere­ka yang melakukan demon­strasi adalah pem­bangkang. Begi­t­u­lah demokrasi, demon­strasi dan aktivis harus berakhir drama­tis dalam jeru­ji besi. Niatan baik untuk menyuarakan ketim­pan­gan jus­tru dis­am­but den­gan dingin­nya lan­tai penjara.

Negara Indone­sia men­ganut sis­tem demokrasi Pan­casi­la, dimana demokrasi dilak­sanakan men­gacu pada Pan­casi­la. Demokrasi ialah pemer­in­ta­han raky­at yang sela­ma ini sudah kita jalankan tan­pa ada keke­ce­waan. Sedan­gkan saat ini keke­ce­waan men­dalam ten­tun­ya sudah lahir seba­gi aki­bat pelak­saan demokrasi yang diang­gap meny­im­pang. Ser­ingkali orang yang melakukan demon­strasi diang­gap bar-bar dan anarkis.

Semen­tara itu Pan­casi­la selalu diman­faatkan seba­gai dalang legal­i­tasasi dari semua tin­dakan repre­sif aparatur negara. Ini­lah kebo­brokan oknum-oknum yang tidak mau mem­bu­ka diri ter­hadap tafsir­an tin­dakan demon­strasi raky­at untuk demokrasi. Sehing­ga tim­bul angga­pan bah­wa menyuarakan keluh kesah diang­gap menyalahi atu­ran dan diang­gap peng­gang­gu. Kemu­di­an pan­taslah jika aparatur negara menin­dak tegas, seper­ti menangkap aktivis bahkan melakukan tin­dakan repre­sif beru­pa pemukulan.

Demon­strasi sejatinya meru­pakan ben­tuk ekspre­si raky­at untuk menyuarakan kege­lisa­han, pen­da­p­at kepa­da pen­guasa. Kita dap­at meli­hat bagaimana demon­strasi pulalah yang menum­bangkan rez­im orde baru. Kita tidak bisa memu­ngkiri meskipun demon­strasi saat itu memang berani dan terkadang anarkis. Namun, hal itu ter­ja­di kare­na tekanan demi tekanan rez­im yang menye­babkan raky­at jenuh. Per­lu kita lihat lagi bah­wa zaman telah berubah begi­tu pula pola pikir raky­at yang mulai men­gubah arti demon­strasi kedalam ben­tuk yang lebih baik.

Perbe­daan demon­strasi saat itu dan sekarang, dimana demon­strasi saat ini cen­derung lebih kalem dan lem­but. Demon­strasi yang dilakukan pal­ing ban­ter hanya long march dan aksi den­gan catatan sudah men­gan­ton­gi izin. Bahkan jika demon­strasi yang dilakukan tidak mem­buahkan hasil sekalipun mere­ka tidak akan terus ngeyel  den­gan melakukan anark­isme. Ten­tun­ya tidak ada iktikad untuk mem­bu­at kerusuhan dalam diri demon­stran dimana demokrasi yang baik meru­pakan dia­log mufakat.

Pada keny­ataan­nya perge­ser­an nilai memang benar-benar ter­ja­di dalam ter­mi­nolo­gi demon­strasi. Demon­strasi yang dulun­ya dijadikan aksi untuk men­ca­pai demokrasi diang­gap berubah ori­en­tasi men­ja­di sekedar aksi bru­tal. Ten­tu ini san­gat iro­nis sebab demokrasi telah men­ja­di han­tu dalam masyarakat teruta­ma dalam pan­dan­gan aparatur negara. Demokrasi telah mati dan ter­tim­bun dalam liang lahat oleh aparatur negara. Tidak adanya dia­log dan tin­dakan sewe­nang-wenang aparatur negara meru­pakan buk­ti kema­t­ian demokrasi.

Barangkali tidak ada lagi demokrasi ala Pla­to, dimana demokrasi adalah poli­tik raky­at untuk menyuarakan kepentin­gan umum. Demokrasi sudah dicengk­er­am dan tidak men­da­p­atkan napas kehidu­pan­nya lagi. Kemu­di­an bayangkan saja kita hidup dalam negara yang men­ganut demokrasi, namun demokrasi hanya sekedar fes­ti­val. Fes­ti­val demokrasi hanya akan men­ja­di kegiatan menangkap para aktivis yang diang­gap meng­gang­gu. Tidak lama lagi akan men­ja­di tren yang menun­tun pola pikir masyarakat untuk diam meskipun tertin­das. Sebab tidak ada lagi demokrasi. Keny­ataan­nya demokrasi hanya menun­tun tan­gan besi aparatur negara untuk mem­bungkam aktivis dan mem­bungkam rakyat. []

 

*Tulisan ini sebelum­nya telah diter­bitkan oleh LPM INSTITUT UIN Syarif Hiday­at­ul­lah Jakar­ta dalam Tabloid­nya edisi Mei 2017.

Manu­sia dan ker­ak-ker­ak bumi, sama berg­er­aknya. Hanya, manu­sia itu lebih absurd