Judul buku : Bek­isar merah

Penulis : Ahmad Tohari

Pener­bit : PT Gra­me­dia Pus­ta­ka Utama

Tahun Ter­bit :  Feb­ru­ari 2011, cetakan ked­ua : Maret 2013, cetakan keti­ga : April 2016

Tebal Buku : 360 hlm, 21 cm

Resen­sor : Nur Fitriyani

Nov­el karya Ahmad Tohari ker­ap mengam­bil latar belakang kehidu­pan pedesaan. Latar yang men­jadikan ciri khas. Kehidu­pan yang lengkap den­gan segala dinamikanya mam­pu dis­ajikan secara apik. Mam­pu mem­berikan suasana desa yang penuh den­gan kepolosan, kel­uguan, dan keseder­hanaan. Buku ini men­ja­di oase tersendiri yang seti­ap harinya sumpek den­gan kemac­etan, ego­isme, keku­rang­tu­lu­san, dan kemunafikan.

Salah satu nilai lebih Ahmad Tohari yang sulit dite­mukan pada sas­tra lainya adalah keku­atan­nya melukiskan alam pedesaan yang ekso­tis dan per­awan. Di tan­ganya, panora­ma kehidu­pan pedesaan men­ja­di sedemikian hidup dan menarik. Ahmad Tohari juga san­gat kuat dalam menyuguhkan cin­ta dan ero­tisme. Di tan­gan­nya, cin­ta, seks, ero­tisme, perem­puan, dan seterus­nya men­ja­di sedemikian pun­ya ruh dan menggairahkan.

 

Keti­ga nov­el karya Ahmad Tohari seper­ti, Bek­isar mer­ah, Ronggeng Dukuh Paruk, dan Kubah memi­li­ki per­bandin­gan dari segi tema. Keti­ga nov­el ini memi­li­ki latar pedesaan yang sama. Dari segi tema, nov­el Kubah men­gusung tema “Keba­jikan dalam kehidu­panan.” Sedan­gkan, nov­el Bek­isar mer­ah men­gusung tema “Kehidu­pan yang meman­faatkan orang lain untuk kepentin­gan diri sendiri/menjual diri”. Selain itu,  nov­el Ronggeng Dukuh Paruk men­gusung tema “Kasih tak sampai”.

Bek­isar mer­ah ini meru­pakan nov­el ketu­juh yang dit­ulis oleh Ahmad Tohari. Isinya menggam­barkan lingkun­gan yang ken­tal akan ajaran budaya leluhur dan masih erat mengikat. Dimana budaya leluhur ini ada dalam seti­ap eti­ka kehidu­pan dan telah ber­jalan sekian abad. Nov­el ini menyuguhkan pitu­tur Jawa yang sudah ada sejak nenek moyang dan masih diyaki­ni oleh masyarakat Karang­so­ga. Mere­ka tetap berpe­gang kepa­da Paugeran­ing Urip (tata cara kehidu­pan leluhur) yang ter­sam­paikan den­gan jelas. Salah satu yang masih men­ja­di pegan­gan adalah Suluk (ham­pir sama den­gan tarekat, jalan atau cara mendekati Tuhan secara ma’rifah).

Suluk berar­ti mem­per­bai­ki akhlak, men­su­cikan amal, dan men­jernihkan penge­tahuan. Suluk meru­pakan aktiv­i­tas rutin memak­murkan lahir dan batin. Sege­nap kesi­bukan manu­sia hanya ditu­jukan kepa­da Sang Rabb, bahkan ia selalu dis­i­bukkan den­gan usa­ha-usa­ha men­jernihkan hati seba­gai per­si­a­pan untuk sam­pai kepa­da-Nya (wusul).

Nov­el ini men­uangkan sebuah suluk yang dina­makan suluk wujil. Ialah sas­tra mist­is yang diyaki­ni seba­gai karya sas­tra berisi ajaran raha­sia Sunan Bonang. Drewes (1968) men­gu­pas bahasan naïf, isbat, dan naïf naki­rah yang ada di dalam Suluk Wujil. Semen­tara Poer­bat­jara­ka (1938) men­gungkap­kan bah­wa Suluk Wujil men­ga­jarkan mist­ik Cin­ta den­gan men­em­patkan Tuhan seba­gai Hyang anisih dan juga Hyang aneng sih.

Seba­gaimana dit­uliskan Ahmad Tohari pada hala­man 84, “Pan karsa mani­ra iki. Sam­pur­nane ing Panger­an. Kaliputan salawase. Tan ana ing solahi­ra. Pan ora darbe sedya.  Wuta tuli bisu suwung. Solah tingkah sak­ing Allah (Menu­rutku, kesem­pur­naan Tuhan meliputi segalanya. Manu­sia tak pun­ya tingkah atau mak­sud. Manu­sia tuli, bisu, dan ham­pa. Segala Tingkah berasal dari Allah).”

Selain suluk juga ter­da­p­at srana. Belum pasti srana ini tin­dakan benar atau salah tidak ada yang men­je­laskan. Digam­barkan bah­wa srana adalah tin­dakan yang benar dilakukan keti­ka meli­hat sese­o­rang men­gala­mi musi­bah. Orang menye­but­nya Kodok Lom­pat (orang yang jatuh dari ket­ing­gian pohon). Masyarakat Karang­gso­ga meyaki­ni bah­wa den­gan melakukan srana yang tepat dan cepat nyawa sese­o­rang masih bisa diselamatkan.

Diku­tip dari hala­man 18, “Aku tidak lupa apa yang semestinya kulakukam. Meli­hat ada kodok lom­pat, aku segera turun aku tak berka­ta apa-apa. Aku kemu­di­an melepas celana yang kupakai sam­pai telan­jang bulat. Aku menirukan monyet sam­bil men­gelilin­gi kodok lom­pat itu.” 

Lasi meru­pakan nama tokoh uta­ma yang dicer­i­takan oleh Ahmad Tohari. Nov­el ini mencer­i­takan bagaimana kehidu­pan yang harus dijalani Lasi yang sama sekali tidak dimengertinya, men­ja­di bek­isar rumah Han­dar­beni dan Bam­bung. Selepas kepu­tu­san­nya mening­galkan Darsa sua­mi yang mengkhi­a­natinya. Berlabuh dalam keme­wa­han kota yang tak per­nah ter­bayangkan sebelum­nya. Keme­wa­han itu ia bayar den­gan men­ja­di istri lela­ki tua yang sudah lemah.

Bek­isar, ung­gas elok hasil kaw­in silang antara ayam hutan dan ayam biasa ser­ing men­ja­di hiasan rumah orang-orang kaya. Dan adalah Lasi bek­isar can­tik berdarah cam­pu­ran bekas ser­dadu Jepang. Wani­ta tak berke­las yang diper­daya­gu­nakan. kepolosan dan kel­uguan seba­gai tam­bang emas yang berhar­ga dip­ing­gi­ran Ciki­ni. Ter­lem­par dari lela­ki tua yang satu berpin­dah sangkar ke lela­ki tua yang lain.

Lasi menggam­barkan kehidu­pan perem­puan yang harus men­ja­di budak sep­a­n­jang hidup­nya. Kehidu­pan yang didom­i­nasi defin­isi dari lingkun­gan sek­i­tarnya dimana Lasi selalu diper­olok kare­na mirip orang Jepang. Lasi memang lahir memi­li­ki darah ketu­runan Jepang. Hidup­nya berubah drastis sete­lah ia harus men­gakhiri hubun­gan rumah tang­ganya den­gan Darsa kare­na persel­ingkuhan. Aki­bat­nya Lasi harus men­cari-cari penghidu­pan untuk masa depan­nya, namun san­gat dis­ayangkan kare­na ia harus men­ja­di bekisar.

Perem­puan Jawa pada kala itu digam­barkan seba­gai perem­puan yang patuh. Tin­dak tan­duknya harus sesuai den­gan adat. Tidak kesesua­ian per­i­laku seba­gaimana tata kra­ma adat diang­gap meny­im­pang. Wujud sikap pas­rah seti­ap kepu­tu­san seba­gai kepu­tu­san yang diang­gap baik. Perem­puan juga harus selalu nurut den­gan laki-laki yang men­ja­di suaminya. Demikian digam­barkan kehidu­pan Lasi sesu­dah dirinya men­ja­di bekisar.

Perem­puan adalah sosok yang amat ser­ing dijadikan sorotan dalam seti­ap sudut kehidu­pan. Dan­danan­nya, paka­ian­nya, tingkah laku sam­pai ke ger­ak tubuh. Semakin banyak perem­puan yang ingin dipub­likasikan. Seba­gian dari sekian banyak wani­ta men­ja­di komod­i­tas barang dagang murah bagi para pelo­bi. Tidak hanya wajah dan tubuh­nya men­ja­di barang dagan­gan,  yang pent­ing bisa men­datangkan rupiah.

Dalam satu sisi, perem­puan yang tun­duk patuh pada lingkun­gan adat. Hidup pada lingkun­gan seba­gaimana kodrat mendeskrip­sikan­nya. Tidak ubah­nya bagi perem­puan yang lekat den­gan kewa­jiban dan tugas­nya. Ban­gun dikala sang surya masih sem­bun­yi diba­lik gunung Karang­so­ga. Menyi­ap­kan pongkor kosong tuan­nya menderes nira kela­pa, pro­fe­si aba­di den­gan upah tak seberapa.

Keter­be­lakan­gan dari dunia yang ser­ba mod­ern, diman­faatkan bagi peca­lo seba­gai ladang rupi­ah mere­ka. Tidak per­lu berpen­didikan ting­gi, bermodal paras can­tik dan tubuh yang molek sudah laku dijual. Fenom­e­na iklan banyak yang menayangkan sosok perem­puan, demi memuaskan naf­su dan syah­wat. Tan­pa dis­adari dari kerusakan ini beru­pa mata rantai yang pan­jang. Semakin banyak perem­puan yang terenggut kesu­cian­nya dan ditim­pa kehan­cu­ran dalam kehidupannya.

Keme­wa­han men­ja­di salah satu penye­bab uta­ma perem­puan terpe­daya akan sesu­atu yang gemi­lang. Gemer­lap keme­wa­han mem­bawa kecan­tikan men­ja­di akhir sebuah yang men­ji­jikkan. Kecan­tikan yang diman­faatkan, men­ja­di momok han­curnya benih-benih yang suci. Kepal­suan cin­ta harus dite­bus mahal akan har­ga diri seo­rang perem­puan. Bagaimana perem­puan harus hidup dalam sangkar ser­ta men­gan­dung benih dari laki-laki lain.

Nov­el ini meng­gu­nakan alur cam­pu­ran, yakni mem­u­lai ceri­ta dari Lasi hidup seba­gai istri seo­rang penyadap. Selan­jut­nya, dicer­i­takan bagaimana masa kecil Lasi, bagaimana kro­nolo­gi kehidu­pan­nya yang harus ter­lem­par kesana-kemari men­ja­di bek­isar bagi para pelo­bi. Dicer­i­takan pula beragam pen­der­i­taan yang diala­mi Lasi akan kecan­tikan­nya yang lain den­gan gadis Karang­so­ga pada umumnya.

Pela­jaran menarik ialah bah­wa jabatan mem­bu­takan mata dan hati orang-orang berdasi. Posisi pent­ing dan keme­wa­han yang dida­p­at ser­ta kese­nan­gan hidup mem­bu­takan mere­ka. Di sisi lain, jabatan bukan hal yang pent­ing bagi mere­ka yang meng­gan­tungkan arit di ping­gangnya. Jus­tru yang berhar­ga ialah mem­per­oleh sesu­atu atas hasil usa­ha sendiri mes­ki nyawa pun harus men­ja­di kor­ban. Ten­tu akan terasa nikmat mes­ki hanya sepekan wak­tu kenikmatan itu dap­at dirasakan.

Nov­el ini menggam­barkan bagaimana perem­puan men­ja­di anak catur yang bisa dimainkan sia­pa saja. Lagi-lagi per­an perem­puan masih bera­da di bawah titik nol, dimana posisi perem­puan men­ja­di tidak pent­ing. Perem­puan masih sekedar pen­damp­ing pem­be­sar atau laki-laki tidak ada geli­at mem­berikan penge­tahuan ter­hadap perem­puan. Disini­lah letak ketim­pan­gan yang digam­barkan Ahmad Tohari zaman itu dimana androsen­trisme meng­gir­ing perem­puan sesuai den­gan kehen­dak laki-laki. Jus­tru hal ini­lah yang menarik dimana kisah semacam Lasi masih ker­ap kali kita temukan dike­hidu­pan masa sekarang. Bagaimana perem­puan belum sepenuh­nya men­da­p­atkan eman­si­pasi baik segi lahir maupun batin apala­gi keter­bukaan berpikir. Tidak ada pen­didikan yang benar-benar menun­tun perem­puan untuk mem­bu­ka kesadaran berpikirnya. []

 

Ania

penyu­ka sas­tra, trav­el­ing, berkhay­al, pengge­mar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).