Judul : Iblis Menggugat Tuhan: The Madness of God
Judul Asli : The Madness of God & The Men Who Have The Elephant
Penulis : Al Shawni, Da’ud Ibn Ibrahim
Penerjemah : Bima Sudiarto & Elka Ferani
Penerbit : Dastan Books
Tahun terbit : Cetakan I, Oktober 2013
Halaman : 276 hal.; 12,5 x 19 cm
ISBN : 978–602-247–126‑4
Teman saya penggemar buku, ia mencari kata-kata indah kemudian memotretnya untuk diunggah ke media sosial agar netizen mengetahui bahwa dirinya benar-benar penggemar buku. Sore itu saya diajak olehnya menuju kedai kopi, disodorkan sebuah buku, ia letakkan di meja seperti tidak kuat menahan beban atasnya.
Pada akhirnya buku tersebut saya bawa, sehari sudah tuntas saya baca. Untuk orang yang masih cetek pengetahuan tentang kisah-kisah nabi, serta agama-agama, saya hanya merasa mampu berpendapat bahwa buku ini bagus sekaligus mengerikan. Penulisnya berani, pembacanya mendapat paradigma baru sebelum menangis.
Saya merasakan kengerian dari tiap-tiap kata dalam tiap-tiap kalimat tiap halaman di buku ini. Tentu saja kesemuanya tidak terlepas atas restu Tuhan yang memperbolehkan Bima dan Elka menerjemahkan secara lihai.
Bagian pertama di The Madness of God, dimulai dengan narasi tentang pendeta Buhairah yang didatangi dan diajak berdebat oleh salah satu sekte agama Kristen tentang konsep teologi, hingga pertemuannya dengan Muhammad kecil. Penulis membawa pembaca dengan mengalir.
Telah dijabarkan dalam percakapan-percakapan, penulis menggunakan penalaran dan analogi. Dua ‘senjata’ ini menumbuhkan imajinasi sekaligus mempercantik cerita yang disajikan.
Rasulullah membawa Buhairah ke sebuah tempat dengan menunggangi Buraq. Kemudian Rasulullah meninggalkan Buhairah di sebuah mata air. Dan pada saat itulah Buhairah bertemu dan bercakap dengan iblis.
Percakapan panjang dimulai, inilah yang saya kira titik klimaks dari buku ini. keduanya –Buhairah dan iblis—saling lempar argumen dengan penalaran dan analogi. Pembaca akan dibawa pada suatu kisah, sekejab diloncatkan pada suatu kisah lainnya.
Sulaiman dan Balqis, Benyamin putra Ya’qub, Yusuf, Raja Mahmud, Sulaiman putra Daud, Balqis, Al Junaid dan muridnya, Isa, Zakheus, Namrud, Ibrahim dan Ismail, Fir’aun, Musa, Ishaq, Yunus, dan masih banyak lainnya. Meskipun diselingi dengan kisah-kisah lain, kisah utama tentang percakapannya dan lempar argumen dengan iblis tidak hilang dari sana. Malah mengental dengan warna-warna menyenangkan serta membuat gemetar sekaligus.
Akhirnya iblis kalah berdebad dengan Buhairah tentang ketuhanan, iblis berkata,
“Wahai Buhairah, hebatnya kau telah ‘mengganyang’ku sedemikian! Tapi dengarkan aku barang sebentar, walau godaanku padamu tak berhasil. Dengarkan sejenak. Biasanya umat manusia adalah mangsa yang mudah. Ibaratnya kau taruh kotoran dalam tas perhiasan pun, manusia akan membayar sesuai beratnya. Betapa mudahnya kalian kutipu, karena –anehnya—kalian tampaknya memang begitu ingin ditipu. Kalaupun aku telah gagal membodohimu hari ini, Buhairah, itu karena aku belum mengatakan apa yang ingin kau dengar –biasanya orang mudah sekali tergelincir disitu…”
Percakapannya dengan iblis diakhiri dengan harapan iblis kepada Buhairah, ini sekaligus menutup bagian IV dalam The Madness of God.
“Aku memang dikutuk, tapi memiliki harapan. Aku tak bisa menyembah-Nya karena merasa malu di hadapan-Nya. Di hadapan Yang Maha Pengasih, adalah sebuah dosa untuk sampai merasa putus asa terhadap pengampunan-Nya. Barangkali saja kaulah yang akan berdoa kepada-Nya atas namaku dan memohonkan ampunan-Nya, betapapun remeh rasanya bagimu. Ingatlah aku, Buhairah, sebagaimana Musa mengingat Mariam.”
Bagian The Madness of God berisi sampai 6 BAB. Bagian selanjutnya adalah The Men Who Have The Elephant. Saya mesti membuka Quran dan membaca terjemahan dalam bahasa Indonesia Q.S. Al-Fil. Secara garis besar, The Men Who Have The Elephant menceritakan Abrahah raja Yaman dan Siraaj tentang penyerangan rumah suci. Rumah suci di sini yang dimaksud tidak lain adalah Kakbah.
Kisah tetap terasa kuat walaupun cerita sebelumnya tentang percakapan Bal’am dan bidadari. Pada halaman 267 ada kata-kata, “Dia menaruhmu dalam penglihatan-Nya, sebagaimana Dia menaruh semua makhluk-Nya, seakan-akan kau sendiri adalah dunia seluruhnya.”
Kesemua ceritanya menarik dan berani. Saya merasa terlambat berkesempatan membaca buku ini. Tapi mungkin inilah yang direncanakan Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak ada yang luput dari kuasa-Nya. Saya menganggap buku ini lebih cocok ditempatkan sebagai karya sastra daripada pedoman teologi. Saya akan mengembalikan buku ini di kedai kopi semula bersama teman saya, kemudian mengajak teman saya merenung dan menanyai pendapatnya tentang cara bertobat paling baik. []
Meyakini berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menyamar sebagai manusia biasa.