Kasur kamar lusuh dan penuh ingus. Baun­ya menyen­gat sam­pai bulu hidung merind­ing, tapi tidak untuk sang pemi­lik kasur, Apti. Beber­a­pa serang­ga tak sang­gup ter­bang atau berla­yar di atas kasurnya, men­jauh den­gan jarak min­i­mal satu meter. Jelas, Apti keti­ka tidur tak digang­gu serang­ga manapun.

Sebe­las hari putus asa, merasa kejenuhan memu­ncak hing­ga men­je­bol ben­dun­gan kebisin­gan. Dia memu­tuskan seme­di di kamar (baca: tidur). Menikmati segala keheningan dan bau busuk darinya.

Tak ada niat mem­ber­sihkan kamar, atau sekedar memindahkan ban­tal dan gul­ing yang ter­jatuh di lan­tai kem­bali ke ran­jang. Men­gun­ci rap­at pin­tu, begi­tu rap­at hing­ga kecoakpun akan ter­gencet jika memak­sa masuk.

Ini­lah ceri­ta sisi kege­la­pan boc­ah SMA yang men­gen­dap di dasar kepu­tus-asaan. Tak ada cahaya mata­hari yang benar-benar. Hanya pan­tu­lan dari kaca tebal kamar yang debun­ya sama tebal­nya den­gan daki di punggungnya.

Seo­rang teman –sama-sama perem­puan – men­datan­gi kost Apti. Dia melayangkan surat pang­gi­lan dari seko­lah, sebab beber­a­pa hari tak nam­pak tat­a­pan sinis atau umpatan keke­salah tan­pa sebab yang biasanya dilepaskan­nya . “sejak lahir Apti kera­sukan setan keti­dak­je­lasan.” Ungkap rumpian –entah teman entah bukan.

Tapi, kejorokkan­nya tidak mem­bu­at semua manu­sia di muka bumi men­jauh. Ada ibu kost yang tetap men­datan­gi kamar sialan­nya, untuk menag­ih uang sewa yang dici­cil. Selain itu, seo­rang teman yang cukup peduli, sung­guh, dia sama sekali tak ter­li­hat gila mirip Apti.

Seekor kelin­ci pemalu yang men­datan­gi kan­dang sin­ga kela­paran, kadang malah mem­bu­at sang sin­ga tak naf­su mela­hap san­ta­pan itu. Sya­ki nama teman itu. Sifat­nya berband­ing ter­ba­lik –ham­pir semua – den­gan Apti. Seti­daknya itu yang terlihat.

***

Sore sete­lah bola rak­sasa di lan­git mele­wati ubun-ubun yang pen­ing. Sya­ki datang, menge­tuk pin­tu, men­gu­cap­kan salam yang dia­jarkan aga­manya. Dijawab cicak den­gan bahasa yang sulit dimenger­ti. Pin­tu kamar ter­bu­ka sedik­it, tak dikun­ci sete­lah beber­a­pa saat tadi Apti dari kamar man­di, nyatanya Apti masih tertidur.

Sya­ki buka pin­tu itu, bun­yi decitan mem­bu­at cicak yang men­jawab salam tadi lari mer­ayapi dind­ing yang cat­nya banyak terkelu­pas. Bersem­bun­yi diba­lik kalen­der tahun lalu. Dari sana pula cicak yang lain segera pergi.

hwaaaaaaa!!!” teri­ak Apti keti­ka Sya­ki mendekat.

kau ter­tipu kan, aku tak benar-benar sedang tidur.” Kemu­di­an dia tertawa lantang.

Apti lebih mirip perem­puan yang maskulin, seper­ti sin­ga beti­na yang berbu­ru. Sin­ga jan­tan menung­gu mangsa yang dibawa sin­ga beti­na sam­bil menyusui anak-anak sin­ga. Entah den­gan apa..

Raut wajah Sya­ki tak kaget, tak kesal, apala­gi takut. Wajah­nya mer­ah padam, dia marah. “men­ga­pa kau diam saja keti­ka aku men­gu­cap salam?!”

Apti ter­diam, merasa ter­tam­par hing­ga kepalanya terbalik.

ada surat pang­gi­lan untuk­mu, kau beber­a­pa hari tak hadir!”

oke, aku ter­i­ma dan segeralah pergi.”

men­ga­pa, kau beran­takan seper­ti ini, aku akan membantumu.”

jan­gan ter­lalu baik, aku kapan­pun bisa begi­tu tak menyenangkanmu!”

Sya­ki mulai mer­apikan kamar Apti, meng­gan­ti sprei kasur, mena­ta ban­tal dan gul­ing, paka­ian yang ter­ce­cer, memindah asbak penuh pun­tung rokok dan dua bungkus rokok yang kosong di samp­ingnya. Kemu­di­an men­cu­ci beber­a­pa gelas sisa kopi di lan­tai kamar, yang ampas­nya sudah mulai mengeras.

Satu jam kemu­di­an kamar Apti tak semen­ji­jikan kemarin. Tak sebau pagi tadi. Dia hanya duduk diam di kur­si goyang yang sudah tak mam­pu bergoyang, sebab kaki melengkungnya patah dua. Debu-debu di kaca jen­dela sudah tak ter­li­hat, malah nam­pak di luar sana lapan­gan hijau yang kekun­ing-kuningan terke­na sinar senja.

besok 1 juni, kau tau kan? Hari Pancasila.”

kuki­ra besok kamis.”

kuharap kau bisa tau mak­nanya, kau bisa men­er­ap­kan­nya. Banyak teman-teman­mu yang sebe­narnya peduli, kau tau? Hanya saja mere­ka diam, tak berani bicara sebab sikap­mu yang kaku.”

lan­tas men­ga­pa kau sudi kemari? Berbicara omong kosong ini den­ganku? Sebab suruhan dari guru?”

bukan, tak sekedar itu. Kau manu­sia, seber­an­takan apapun, dan kau temanku!”

Pin­tu kamar ter­tut­up per­la­han. Diirin­gi uca­pan salam Syaki.

Apti mem­balas den­gan lir­ih. Dua perem­puan ini tak dekat, walaupun seke­las. Apti yang selalu men­dom­i­nasi pem­bicaraan di kelas den­gan teman laki-laki, Sya­ki yang tak banyak tingkah berbicara banyak hanya den­gan sesama perempuan.

Cicak yang per­gi dari balik kalen­der tahun lalu kem­bali ke sana. Berd­ua bersama cicak yang lain. Entah apa yang mere­ka bicarakan. Mere­ka akrab, sebab mere­ka sama-sama cicak. Kadang sal­ing meng­gig­it hing­ga ekor putus kare­na rebu­tan beti­na untuk kaw­in. Wajar­lah, mere­ka binatang.

Apti dan Sya­ki sama sekali bukan cicak, mere­ka sama-sama manu­sia, sama-sama perem­puan. Sama sekali tak ada alasan pem­be­naran untuk mening­galkan satu sama lain, seberbe­da apapun!

***

Pagi esoknya di seko­lah, Apti menya­pa seti­ap mata yang meli­hat­nya. Sia­pa saja. Ten­tu den­gan senyum yang san­gat ter­li­hat tulus. Keti­ka masuk kelas, diu­cap­kan­nya salam yang biasanya. Entah men­ga­pa, penghu­ni kelas terte­gun, lebih kaget meli­hat Apti men­ja­di ramah dari­pa­da har­ga sem­bako yang selalu naik keti­ka men­je­lang ramadhan.

Pasokan yang tetap, berte­mu per­mintaan pasar yang makin besar, mem­bu­at mau tidak mau har­ga sem­bako mel­on­jak. Apala­gi ramad­han, orang-orang yang beraga­ma islam sibuk memenuhi kebu­tuhan berbu­ka dan sahurnya. Hari ini 1 juni dan puasa. Hari ini Apti tak seper­ti biasanya.

Ram­but Apti sebahu itu makin rapi, tak kusut seper­ti hari-hari biasanya. Baju rapi, tak ada ujung baju yang kelu­ar seper­ti hari-hari sebelum­nya. Pal­ing menge­jutkan keti­ka berkelom­pok, dia mem­ban­tu menger­jakan tugas kelompok.

baru kemarin sore aku berbicara padamu.” Sapa Syaki.

kata-kata­mu memang sak­ti, Sya­ki.” Apti melepas senyum. “kau tau? Inti sari Pan­casi­la adalah gotong royong?”

Sya­ki terte­gun diam kare­na girang. Sete­lah sekian lama, seko­lah pulang. Jad­w­al memang demikian, lebih 30 menit dari jad­w­al yang dis­ep­a­kati. Lebih kare­na guru matem­ati­ka yang itu ter­lalu melayang men­je­laskan. Bisa dito­lerir, semua tau guru-guru itu menge­jar materi yang harus ter­sam­paikan dan dipa­ha­mi den­gan aku­mu­lasi wak­tu yang sedik­it. Apti segera pulang, buru-buru, seper­ti akan menger­jakan kewa­jiban agamanya.

***

Sialan!!” umpat Apti sete­lah banti­ngan pin­tu yang pertama.

mana mungkin kau bisa terus berpu­ra-pura seper­ti tadi? Den­gan senyum yang men­ji­jikan. Aku tau tak sat­upun dari mere­ka memi­li­ki hati yang tidak menipu.”

Cicak yang suka sem­bun­yi di balik kalen­der tahun lalu terkekeh. Ia tertawa meli­hat per­i­laku manu­sia. “Di wajah manu­sia berje­jer topeng-topeng yang siap digu­nakan. Kadang saat meng­gu­nakan topeng tak terasa nya­man, harus dita­han. Menye­nangkan semua orang berar­ti memenuhi apa yang mere­ka semua inginkan. Dan, mere­ka menginginkan aku men­ja­di bukan diriku, mere­ka ingin aku san­tun dan penuh kepu­ra-puraan.” Pikir Apti sebelum ter­lu­ap­kan segala amarah.

Banti­ngan pin­tu ked­ua ter­den­gar! Urat lehernya mulai mene­gang, jer­it lir­ih ter­den­gar samar-samar, “Mere­ka menginginkan aku men­ja­di bukan diriku, mere­ka ingin aku san­tun dan penuh kepura-puraan.”

Cicak di balik kalen­der tahun lalu sudah tak bisa terkekeh, tak berani tertawa.

***

Hanya den­gan satu malam. Apti men­ja­di perem­puan yang san­gat nasion­alis. Dia benar-benar men­er­ap­kan nilai tiap butir Pan­casi­la di seko­lah­nya. Ya, di seko­lah­nya, tidak di kamarnya. Men­ja­di teman ide­al bagi selu­ruh umat.

Pada akhirnya, semua kepu­ra-puraan adalah seper­ti bangkai. Jika tidak wak­tu, keadaan akan men­gungkap. Wak­tu sendiri san­gat rakus, apapun dimakan­nya. Kese­nan­gan teman-teman­nya juga ter­makan, bergan­ti den­gan kemurkaan.

Sin­ga beti­na itu diku­cilkan sebab tak lagi mau berbu­ru. Sin­ga beti­na itu lebih memil­ih menyusui anak-anak sin­ga. Kelin­ci pemalu tadi siap memangsa sin­ga beti­na itu..

Satu ming­gu berlalu, Sya­ki menge­tahui kepu­ra-puraan Apti. “men­ga­pa?” Sya­ki seper­ti tak sang­gup mener­i­ma. Pin­tu kamar Apti ter­bu­ka lebar, Sya­ki meli­hat wujud yang sama seper­ti dulu, bahkan lebih kumuh. Kamar yang san­gat beran­takan, kotor, dan bau.

Apti san­gat tidak nya­man den­gan kepu­ra-puraan. Dia seper­ti terkekang, tiap rantai mengikat leher, tan­gan, dan kakinya. Dia ingin bebas, senanglah Apti jika semua ter­bongkar, dia girang. Dia bebas!

aku men­co­ba menyenangkanmu!”

den­gan kepu­ra-puraan?” tanya Sya­ki, ia mulai terisak.

kau kira sete­lah tau, aku akan senang?” imbuhnya.

Di kamar perse­gi 4x4 meter. Apti duduk di ran­jang, Sya­ki tetap berdiri tegak dide­pan­nya. Makin beringas isak yang sudah-sudah. Serasa wak­tu gagap melan­jutkan jalan. Berhen­ti cukup lama, mem­bu­at Apti memikirkan suatu kebe­naran yang san­gat mengerikan.

apa masalah­mu, Sya­ki? Tiba-tiba kau datang ke kostku, masuk kamarku, mer­apikan segala yang kau anggap tak rapi, dan menyam­paikan bah­wa esok hari adalah hari Pan­casi­la? Hanya kare­na surat pang­gi­lan dari seko­lah? Apa kau yakin, kau tidak sedang berpu­ra-pura sepertiku?”

tapi, kepu­ra-puraanku menga­malkan tiap butir pan­casi­la itu tetap ada gunanya, kau tau bukan?” senyum Apti telah kem­bali. Senyu­man yang mirip malaikat pen­cabut nyawa yang akan melak­sanakan tugasnya.

Sya­ki kelu­ar, tan­pa salam. Entah ekspre­si apa yang sedang ia sajikan. Dia kelu­ar, ber­jalan pulang. Sem­bari ber­jalan, Sya­ki berbisik den­gan dirinya sendiri, “kau benar Apti, kaulah manu­sia pal­ing jujur yang per­nah aku kenal. Sebab itu aku datan­gi kamar­mu, aku minta kepa­da guru agar aku saja yang men­gan­tar surat itu dulu.”

kau jujur pada orang lain, kau jujur pula pada dirimu sendiri. Sebe­narnya aku iri denganmu.”

Di kamar kumuh yang lebih parah, lebih beran­takan, lebih bau dari­pa­da kamar Apti. Itu kamar Sya­ki! Sya­ki, dialah penipu ulung. Penipu yang disukai orang banyak. Sya­ki tipu semua orang, ia bahkan tipu dirinya sendiri. Menipu agar semua orang per­caya bah­wa ia adalah seo­rang Nasionalis.

Kamar itu lebih gelap. Sya­ki tak menyukai banyak cahaya. Lebih banyak pula serang­ga bert­er­ban­gan sipo­jok ruang kamar. Banyak pula yang merangkak di bawah kolong ran­jang. Dimana-mana paka­ian ter­ce­cer. Bau.

bagaimana? Men­ga­pa hanya satu ming­gu kepu­ra-puraan­mu sudah terbongkar..”

sulit bukan…?” Sya­ki tersenyum. Sya­ki mulai tertawa.[]

Meyaki­ni berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menya­mar seba­gai manu­sia biasa.