Ten­gah malam para makhluk Tuhan ter­bar­ing mer­a­jut mimpi. Ada kehidu­pan lain yang men­jalankan tugas­nya untuk mengek­sekusi. Jam dua belas malam sel Erdo­gan dige­dor-gedor, tan­da bah­wa dia harus segera dis­eret ke ruan­gan yang pen­gap, segalanya ser­ba ter­tut­up tidak ada ven­ti­lasi udara. Ter­den­gar gesekan suara yang meny­eret sesosok manu­sia yang sudah tak berg­er­ak. Dirinya menger­ti ia dibawa kesi­ni untuk meng­gan­tikan ter­p­i­dana mati yang baru saja dieksekusi.

Beber­a­pa sipir menyam­but kedatan­gan Erdo­gan, mengikat tubuh Erdo­gan den­gan kuat dan menyumpal mulut Erdo­gan tak luput kepalanya yang ditut­up den­gan kain yang ser­ing digu­nakan untuk para ter­p­i­dana eksekusi mati. Upacara awal dim­u­lai. Sebatang besi menyala dilekatkan ke dada bagian depan, dada bagian belakang, ked­ua tan­gan, ser­ta dile­her dan tengkuk. Desis dan bau dag­ing ter­bakar menyusup ke semua bagian ruan­gan, dan Erdo­gan tidak mungkin bert­e­ri­ak mena­han rasa sak­it kare­na mulut­nya telah dis­umpal dan tubuh­nya telah diikat kuat-kuat den­gan tali khusus.

Lalu, den­gan cara bijak­sana, seo­rang sipir men­gatakan, ter­p­i­dana mati mem­pun­yai hak untuk menen­tukkan cara huku­man sesuai pil­i­han­nya sendiri. Hukum gan­tung boleh, tem­bak boleh. Tapi yang pal­ing enak dipan­dang adalah eksekusi den­gan listrik tegan­gan ting­gi. Sete­lah tombol dipencet, tubuh ter­p­i­dana mati berubah men­ja­di terang ben­derang, lalu dari ujung kepalanya muncul­lah cahaya indah, tan­da bah­wa nyawa telah mele­sat mening­galkan tubuh yang gosong.

Erdo­gan kemu­di­an dilem­par ke sel dan diberi bekal satu kaleng ikan kecil-kecil. Jelas­nya, di area eksekusi banyak tikus yang berke­liaran tan­pa mak­sud untuk meng­gang­gu, hanya minta diberi makan.

Melalui jen­dela Erdo­gan meli­hat sebuah lapan­gan dike­lilin­gi tem­bok yang dilin­dun­gi oleh kawat berduri berpi­jar-pijar kare­na ada muatan listriknya. Eksekusi selalu dilakukan antara jam satu dan tiga dini hari, di bawah pohon beringin tua, dan semua alat eksekusi terse­dia di sebuah gudang bercat hitam.

Pukul 3 dini hari itu, Erdo­gan meli­hat lam­pu-lam­pu besar di lapan­gan eksekusi dinyalakan, sebuah tiang gan­tung dipasang, dan berderet-deret kur­si di pang­gung kehor­matan diber­sihkan. Kira-kira pukul seten­gah 4 beber­a­pa orang pent­ing masuk, diper­si­lahkan duduk di kur­si-kur­si di pang­gung kehormatan.

Tan­pa ada pida­to dari ter­p­i­dana mati berba­ju hitam dilapisi jaket bewar­na lun­tur digir­ing ke pang­gung ting­gi, bor­gol tan­gan­nya dilepas, lalu tan­gan­nya diikat ke belakang, begi­tu juga kakinya, kemu­di­an diikat den­gan kuat seper­ti baja dil­ingkarkan dari mulai leher sam­pai ke tubuhnya.

Baru­lah pada saat itu seeso­rang yang tam­pak san­gat berwibawa bert­e­ri­ak keras, ”Pengkhi­anat pan­tas untuk mati!”

Den­gan men­dadak pin­tu jebakan ter­bu­ka, hen­takkan keras men­jer­at leher ter­p­i­dana mati, dan mele­satkan tubuh­nya ke atas.

Sete­lah tubuh­nya ditu­runk­an, dua orang turun dari pang­gung kehor­matan, memerik­sa tubuh ter­p­i­dana mati, lalu men­ga­cungkan jem­pol ter­ba­lik, menan­dakan bah­wa jan­tung ter­p­i­dana mati masih berdegup mes­ki lemah. Seo­rang laki-laki den­gan gagah turun dari pang­gung men­cabut pis­tol, men­em­pelkan­nya pada pelip­is ter­p­i­dana mati, lalu menarik pelatuknya. Dua orang mendekat lagi, memerik­sa tubuh, kemu­di­an men­gan­cungkan jem­pol ke atas.

Lira tidak tam­pak di pang­gung kehor­matan: mungkin sudah mati, mungkin juga masih hidup dan terus berusa­ha menyengsarakan Erdogan.

Erdo­gan dan Lira lahir dari bib­it ayah yang sama, dan kelu­ar dari kan­dun­gan ibu yang sama. Tapi Erdo­gan tidak tahu men­ga­pa ayah dan ibun­ya selalu meme­nangkan Lira dan menuduh Erdo­gan seba­gai pihak yang salah dan pan­tas dihukum. Bukan kare­na Lira tiga tahun lebih tua, tapi entah kenapa.

Sete­lah lulus seko­lah atas Lira diper­si­lahkan untuk masuk ke uni­ver­si­tas, tapi sete­lah Erdo­gan lulus seko­lah setara den­gan Lira, ayah dan ibun­ya menyu­ruh Erdo­gan untuk men­cari peker­jaan. Sejak kecil Erdo­gan sudah ter­biasa mem­ber­sihkan rumah, mulai dari men­cu­ci pir­ing, menya­pu dan menge­pel lan­tai, sam­pai den­gan mena­ta perkarangan, dan mer­awat burung, kuc­ing, ser­ta anjing peli­haraan. Erdo­gan juga sudah ter­biasa merasakan keke­jian Lira: memec­ahkan pir­ing, sangkar burung dibu­ka, memakai sep­a­tu kotor hilir mudik di lan­tai yang sudah diber­sihkan Erdo­gan,  dan mem­bu­at Erdo­gan harus bertang­gung­jawab, dan entah apa lagi.

Dan sete­lah lulus seko­lah atas, dan terny­a­ta men­cari peker­jaan sukar, beban pen­der­i­taan Erdo­gan bertam­bah dan berli­pat-lipat, demikian pula hukumannya.

Keti­ka ayah mere­ka mening­gal dalam kece­lakaan lalu lin­tas, den­gan nada gusar Lira menuduh Erdo­gan sen­ga­ja mem­bu­at mobil ayah­nya sukar dik­endarai, dan erdo­gan harus betang­gung jawab. Begi­tu juga keti­ka ibun­ya mening­gal kare­na seran­gan jan­tung, Lira menuduh Erdo­gan sen­ga­ja mem­bu­at ibu marah sehing­ga ibun­ya tidak mam­pu men­gontrol emosinya men­jadikan­nya seran­gan jantung.

Sete­lah mere­ka men­ja­di yatim piatu, Erdo­gan menawarkan diri untuk pin­dah rumah, men­cari penghidu­pan sendiri.

Saya tahu kamu tidak per­nah menc­in­tai saya, Erdo­gan. Makanya kamu mau mening­galkan saya sendirian.”

Bukankah Kak Lira kakak kan­dung saya? Apakah pengab­di­an saya tidak menun­jukkan cin­ta dan rasa hor­mat saya?”

Kalau kamu per­gi, sia­pa yang akan mer­awat saya? sia­pa yang akan men­gu­rus rumah ini?”

Erdo­gan men­galah, tidak jadi mening­galkan rumah.

Dan Erdo­gan her­an, sudah sekian lama Lira kuli­ah, tapi belum juga lulus. Lira suka per­gi sam­pai berhari-hari, dan kalau pulang bau tubuh­nya selalu menyen­gat. Semen­tara itu, beber­a­pa tamu den­gan tam­pang tidak karu­an dan bersikap kurang ajar ser­ing men­gun­jun­gi Lira, biasanya lep­as ten­gah malam.

Ser­ing Erdo­gan menden­gar mere­ka bert­e­ri­ak den­gan kasar: ”Kamu itu Cuma pem­ban­tu, gak per­lu ikut cam­pur majikan. Tem­pat yang pan­tas buat orang bau kayak kamu di dapur!”

Kadang-kadang mere­ka juga berbin­cang penuh seman­gat untuk men­dudu­ki sta­si­un tele­visi dan sta­si­un radio. Bau rokok dan minu­man keras meng­ham­bur dari ruang perte­muan. Semua ter­ja­di lep­as ten­gah malam, dan sebelum­nya, Lira menyu­ruh Erdo­gan tidur lebih awal, lalu, pada pagi harinya Erdo­gan harus mem­ber­sihkan ruangan.

Lira biasa ban­gun siang, man­di, bersolek, dan kadang-kadang menyu­ruh Erdo­gan untuk per­gi dan jan­gan pulang sebelum malam. Dan keti­ka Erdo­gan pulang malam, semua beran­takan, dan bau menyen­gat dan men­ji­jikkan kadang-kadang mem­bu­at Erdo­gan muntah.

Lama kela­maan Erdo­gan tahu, Lira mem­pun­yai kege­maraan men­ji­jikkan, yaitu mema­sukkan pengemis, gelan­dan­gan, dan pemu­lung, untuk menikmati tubuh dan bau mere­ka. Diam-diam Lira menyem­bun­yikan baju mere­ka, di antaranya ditaruh di bawah bantal.

Kare­na sudah tidak tahan, Erdo­gan ter­pak­sa ming­gat den­gan mening­galkan surat beta­pa dia menc­in­tai dan meng­hor­mati Lira, dan jan­ji pada suatu saat nan­ti akan kem­bali. kare­na sete­lah ayah dan ibun­ya mening­gal Lira melarang Erdo­gan men­cari peker­jaan, maka Erdo­gan pun men­ja­di pen­gang­gu­ran. Dalam surat itu Erdo­gan mem­o­hon maaf, ter­pak­sa men­cari uang untuk men­jalani hidup selan­jut­nya. Surat ditut­up: “Pada suatu saat pasti saya kembali.”

Di kedia­man barun­ya seti­ap malam Erdo­gan menangis, merasa berdosa ter­hadap Lira, dan dia merindukan Lira, kare­na memang dia mecin­tai dan meng­hor­mati Lira.

Ribuan maha­siswa dan anak muda dari berba­gai daer­ah berhasil menyelundup ke ibu kota, dan dalam seti­ap ben­trokkan seba­gian besar mere­ka men­ja­di may­at. Kacau tapi mak­mur: makanan, obat-obatan, peti mati dan mobil selalu datang, dis­um­bangkan oleh orang-orang kaya.

Erdo­gan yakin Lira ter­li­bat, kare­na itu dia pulang, lang­sung kerumah­nya. Kosong. Tidak ada tan­da-tan­da kehidu­pan. Rumah tetang­ga-tetang­ganya juga sepi. Kemu­di­an Erdo­gan meli­hat banyak ambu­lan menu­ju ke makam, diirin­gi lagu kebangsaan.

Sam­bil men­cari dari rumah sak­it satu ke rumah sak­it yang lain, ingatan Erdo­gan men­ge­nai keke­jian Lira mucul kem­bali: keti­ka kecil Lira ser­ing men­ga­jak Erdo­gan ke rumah pemo­tong hewan, ke lapan­gan adu anjing melawan babi, dan men­gen­dap-endap di rumah sak­it meng­in­tai orang-orang sekarat. Makin sen­gsara binatang dis­em­be­lih dan diadu, dan makin kesak­i­tan orang-orang yang harus mati tapi belum ikhlas mening­galkan dunia, selalu mem­beri rasa gem­bi­ra dan baha­gia pada Lira.

Di rumah sak­it keti­ga Erdo­gan meli­hat seo­rang perem­puan luka parah diangkut tan­du, dan den­gan jer­it tangis ser­ta rindu Erdo­gan berseru: ”Lira!” Den­gan isak tangis Erdo­gan berusa­ha men­gangkut tubuh Lira dan menciumnya.

Memang Lira lemas, dan darah kelu­ar dari sekian banyak bagian tubuh­nya, tapi begi­tu menden­gar jer­it Erdo­gan, apala­gi keti­ka Erdo­gan men­gangkat tubuh­nya dan men­ci­u­minya, Lira men­ja­di kuat, bangk­it, lalu bert­e­ri­ak den­gan penuh seman­gat: “Tangkap mata-mata ini! Polisi dan Ten­tara tahu segala ger­akan kita kare­na bajin­gan ini.”

Keti­ka mere­ka menangkap, menyik­sa, dan mem­bawa Erdo­gan ke pen­jara, Erdo­gan tidak berusa­ha melawan.

Ania

penyu­ka sas­tra, trav­el­ing, berkhay­al, pengge­mar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).