Namaku Srikandi, itu saja. Aku hanyalah gadis kumal yang sedang menentang hidup. Aku terlahir di lingkungan yang sama sekali tak menganggap penting sekolah. Sudah syukur tamat Sekolah Dasar (SD), karena kebanyakan dari kami putus sekolah di tahun ketiga. Ekonomi tetap menjadi alasan nomor satu. Selebihnya memang banyak yang tak berniat untuk menuntut ilmu. Warga di sini memang paling giat bekerja, bahkan anak kecil sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Positif? Tidak selalu, karena kebanyakan lelaki mencari uang untuk dihabiskan di rumah bordil Baba Liung. Judi, miras, dan perempuan, hanya untuk itu mereka berkeringat di siang hari-seperti ayahku-.
Aku dan Andi-adikku- menyebutnya rumah bekicot. Bercangkang keras karena tak bisa ditembus pihak hukum dan berlendir, membuat jijik. Bangunan milik Baba Liung ini adalah yang terbesar dan ramai dikunjungi. Maka, jika kau adalah perempuan yang butuh uang cepat, selama masih bisa mendesah dan bergoyang, Baba Liung selalu membuka lowongan.
Apa aku bagian dari mereka? Seharusnya iya. Anak seorang pemabuk yang istrinya kabur untuk menjadi simpanan pejabat, aku hampir seperti mereka. Cuma bisa berdoa tanpa tahu siapa yang dimintai doa, hanya hidup sebatas kesenangan duniawi dan putus sekolah. Hampir! Hingga temanku memberiku sedikit bara dan meniupnya, maka hidupku menjadi lebih panas dari tungku penempa besi untuk sebuah cita-cita, sarjana hukum.
Maka tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) aku ingin ikut kuliah di kota besar dengan temanku untuk menjadi sarjana hukum pertama di Tanah Daun dan menggulingkan tahta Baba Liung. Hanya, bila Tuhannya Sean berkehendak.
Sejak kelas 4 SD, aku sudah digadaikan ayahku untuk melunasi utangnya pada Baba Liung. “Tamat sekolah, Srikandi harus kau serahkan, ”Ucapnya saat ia datang bersama belasan tukang pukul sebab ayah yang sering berutang tanpa pernah membayarnya. Apa ayah akan tega menyerahkanku? Jawabannya iya. Tak peduli aku mau atau tidak, ayah akan menyerahkanku padanya. Dia ayah yang buruk, sudah kubilang itu. Maka sekolah hanya masalahku, ayah tak mau bersusah ikut membiayai.
Setelah itu, aku menceritakan masalahku pada Sean. Kalau akhirnya aku diboyong ke rumah bekicot itu, mengapa harus susah sekolah?
“Sri, sekolah memang tak terlalu penting, tapi pendidikan harus kita miliki. Kalau tak sekolah, bagaimana kita mau menjadi orang yang berpendidikan? Minimal untuk menjadi orang sukses harus sekolah, Sri”, katanya saat itu.
“Albert Einstein gak sekolah, Yan,” sanggahku.
“Dia punya ibu yang hebat, Sri. Beda sama kita. Mau kamu diajari main togel ayahmu? enggak, kan? makanya semangat sekolah. Katanya mau kuliah di kota besar sama aku?”
Aku bekerja apapun untuk sekolah. Tukang cuci piring? Pramusaji? Bahkan ikut bengkel tambal ban aku pernah. Dan saat di SMA aku bisa bernapas lega karena mendapat beasiswa. Kadang aku membenci hidupku, dan Sean dengan seribu motivasinya mengembalikan gairah itu.
“Mbak, dicari ayah,”Aku menganguk, Andi bergegas keluar. Ayah mungkin sudah tahu semester ini aku tidak mendapat keringanan penuh. Peringkatku tergeser. Aku segera mencari ayahku, kalau nanti-nanti bisa kena tempeleng. Aku menemukan ayahku berbaring di sofa yang lusuh. Lihatlah, wajahnya pucat dan bau alkohol menguar dari tubuh kurusnya.
“Gimana? Mau ke Baba Liung sekarang?,” ucapnya sembari terkekeh.
“Sri masih bisa kerja, Yah. Nggak usah pusing mikirin uang sekolah Sri.”-Memang tak memikirkan-
“Haha, kamu mirip sekali dengan ibumu, nyonya sok bahagia itu. Kalau sudah lelah bilang ayah, biar langsung ayah antar ke Baba Liung”, ayah beranjak, tawanya masih terdengar bahkan setelah ayah melewati pintu depan.
“Aku nggak akan biarin ayah bawa Mbak Sri, mbak nggakusah takut!,” kulihat Andi muncul dari balik lemari. Aku tertawa kecil.
“Gayamu sok, Ndi! Sekolah yang bener dulu, baru ikut ngurusin Mbak! Kamu saja baru dikasih wajah sangar tukang pukul aja langsung lari kok malah sok jadi jagoan,”Aku tertawa saat mukanya masam dan cemberut. Pasalnya, Andi baru saja dapat jitakan dari tukang pukul Baba Liung dan tak mau kemana-mana hingga tiga hari. Tawaku makin keras kala kakinya tergelincir sepatu sendiri, Andi misuh-misuh di depan sana. Aku teringat ucapan ayah tadi, “Nyonya sok bahagia?,” Nyatanya ibu bahagia di sana. Dari pada jadi istri pemabuk mendingan jadi simpanan pejabat, kan? Aku mengganti seragam, sepertinya harus bekerja lebih ekstra.
Aku bekerja di rumah jahit Ibu Herta, kerjanya sepulang sekolah sampai jam sepuluh malam. Gajinya memang tak seberapa, tapi kalau bekerja dengan baik Bu Herta sering memberi bonus. Bekerja begini membuatku punya banyak pengalaman dan kemampuan. Apa aku lebih baik bekerja saja? Tidak, tujuanku mencari uang untuk sekolah. Kalau sekadar mencari uang, bekerja di rumah bekicot pun lebih cepat hasilnya. Tapi aku tahu, itu tidak boleh.
Masyarakat di sini tak peduli dengan agama. Agama hanya status. Ibadah? Mana pernah. Bahkan berdoa saja tak tahu pada siapa. Termasuk aku. Aku hanya tahu aku berdoa pada Tuhannya Sean, karena Sean lahir di keluarga muslim yang taat. Ayahnya yang selalu mengimami masjid ‑yang cuma satu di tempat kami-. Ibunya seorang guru dan semua anggota keluarga perempuan memakai kerudung. Maka aku mengenal agama seperti yang ditampakkan keluarga Sean. Aku berdoa pada Tuhannya Sean, karena aku tak percaya selain dari kepercayaan Sean. Maka jangan anggap aku orang baik, karena orang baik selalu tahu siapa Tuhannya, sedang aku tidak.
Aku tak sendirian, aku masih punya Andi, aku masih punya ayah-meski dia yang membuatku begini-.Aku masih punya teman-teman dan aku masih punya Tuhan yang saban hari kupintai doa. Hari ini Baba Liung menjemputku, untuk mengambil janji ayah yang akan menyerahkan putrinya. Takut? Tidak, hanya saja, ada mimpi yang harus dikejar dan itu tidak bisa jika aku jadi anggota rumah bekicot itu.
“Mbak jangan mau dibawa kesana!,” Andi berusaha menyembunyikan tubuhku. Bila dipikir sekali lagi, aku tak apa, aku tidak sedepresi itu bila menjadi salah satu wanita berlendir di sana. Hanya, apa dosa orang tuaku sebesar itu sampai begini jadinya? Aku meringis melihat Andi teriak-teriak, aku bahkan bisa merasakan hawa panas menguar dari tubuhnya. Remaja tanggung itu sudah besar, tinggi menjulang dengan otot-otot yang diwariskan oleh karung-karung pasar. Seorang tukang pukul maju melawan Andi. Bodoh! Andi tetaplah adik kecilku yang sok pahlawan. Tapi bodohnya kelewatan! Satu bogem ia berikan dan mendapat lima bogem, tiga tempelengan dan satu tendangan kala tubuhnya ambruk diserang dua tukang pukul sekaligus. Dua tukang pukul lainnya mendekatiku.
“Mbak lari!,” teriak Andi dan belasan tendangan mampir di tubuhnya. Dua orang tadi menarikku paksa.
“Aku jalan sendiri!” kusentak tangan mereka, Andi terus berteriak, dia benar-benar hancur. Aku menghampirinya.
“Sudah dibilang nggak usah macam-macam! Ngeyel kamu! Belajar yang bener, sekolah yang tinggi! Jangan kayak ayah!” Andi menggeleng, aku menjitaknya.
“Biar aku yang ikut kalian!” Andi tiba-tiba bangun dan unjuk jari, “aku mau jadi tukang pukul kalian selamanya asal jangan bawa Mbak Sri!” aku langsung membekap mulutnya.
“Nggak begini Andi, biarin Mbak ikut mereka, kamu di sini bantu Mbak dengan belajar yang bener, kerja lalu tebus Mbak. Bukan kamu malah ngajuin diri kayak gini!” Andi menggeleng dan aku ditarik tukang pukul Baba Liung. Ah, memang begini akhirnya. Tidak ada lagi sekolah, tidak ada lagi Sean, yang ada hanya lelaki hidung belang, miras dan judi. Oh, Tuhannya Sean, apa benar aku akan menjadi bagian dari mereka? Tak perlu tergesa Sri, aku menatap Andi penuh harap, semoga ia bisa berpikir pintar. Aku menoleh pada ayah, matanya merah terlihat sayu. Inikah yang ayah inginkan sejak ibu pergi? Jangan menyesal ayah, seburuk apa pun yang kau beri padaku, setidaknya aku masih mau memanggilmu ayah.
Kalian tahu apa yang terjadi setelahnya? Lima tahun, lima tahun aku menjadi ‘wanita berlendir’ di sana. Lima tahun sampai akhirnya aku bisa terlepas-meski tak sepenuhnya-. Tak kuceritakan di sini karena itu adalah hari-hari yang panjang. Di mana penghianatan, tipu daya dan kebohongan dunia membebaskanku. Tapi apa baiknya terbebas setelah kau dibohongi oleh orang yang paling kau percaya? Aku kabur, tak kuasa menerima takdir. Aku kabur, pergi ke kota besar, yang kucari hanya satu, sarjana hukum, alasanku untuk tetap hidup setelah Andi tak lagi bisa kupercaya.
Universitas Patih Putih, satu-satunya universitas di pulau ini. Jaraknya puluhan kilo dan aku akan ke sana. Aku akan sekolah di sana dan bila mereka tak mau menerimaku, maka kupaksa sampai mereka berkata ‘iya’.
Benar saja, aku ditolak, tak ada jalur masuk yang bisa menerimaku. Kemudian kupaksa kaki mencari rumah Kepala Pad O, pemilik universitas. Kuceritakan dengan singkat. Aku datang, disambut baik oleh sang istri, diberi makan dan aku mengutarakan maksudku. Kepala Pad O tertawa, katanya mengingatkan tentang seorang lagi di masa lalu yang juga memaksanya. Aku mengusulkan dan beliau setuju. Esok harinya, aku menjalani tes pribadi. Seperti usulku, aku akan mengerjakan soal dari pagi sampai sore. Pertama aku diberi dua lembar soal, ketika selembar selesai dan kukumpulkan, aku diberi lembar lain, begitu hingga senja.
“Masuklah ke ruangan itu, di sana ada orang yang akan menentukan diterima tidaknya kamu.” Ucapnya menunjukkan ruangan berpintu putih.
Aku masuk, sungguh terkejut saat kulihat Sean di sana. Kemudian aku teringat ucapan Kepala Pad O. Seorang murid yang juga mengerjakan soal ini dan ia menjadi lulusan terbaik sepanjang sejarah. Seankah orang itu?
“Bagaimana Sean?” aku menoleh pada Kepala Pad O dibelakangku. Sean menggeleng.
“Dia tidak mengerjakan pertanyaan terakhir.” Ucapnya menatapku tajam. Memang tak kukerjakan, pertanyaan ceritakan siapa dirimu. Memang siapa aku? Bukan siapa-siapa.
“Kenapa?” Kepala Pad O bertanya padaku, aku hanya diam. “Kau tahu, Sean mengerjakan soal yang kau kerjakan tadi dan salah semua, kecuali pertanyaan terakhir, itu yang membuatnya bisa kuliah di sini. Kau tahu apa yang diceritakannya? Yaitu temannya yang bernama Srikandi, ceritanya membuatku terharu. Sean bisa masuk karena cerita hidupmu, maka apakah kau akan kutolak?” aku menatap Sean, meminta penjelasan. Sedari awal memang aku tak berkata siapa aku dan dari mana asalku. Mana mungkin aku bercerita aku adalah Srikandi dari Tanah Daun sedang aku telah terkenal sebagai pelacur nomor satu? Aku masih punya malu.
“Pak Pad, seperti yang telah kita sepakati, saya yang menentukan. Maka izinkan saya bertanya padanya satu pertanyaan saja, jawabannya yang akan menentukan.” Sean berjalan mendekat padaku.
“Kepada siapa kamu berdoa Sri?” aku terdiam enggan menjawab.
“Aku nggak berdoa pada siapa pun,” kutatap sekeliling, Kepala Pad O hanya diam.
“Benarkah? Setidaknya untuk masalah ini kamu menaruh harap, bukan?”
Aku mengalah, “Tuhannya Sean, aku berdoa pada Tuhannya Sean.” Aku menunduk saat mengatakannya. Apa hebatnya orang yang masalah Tuhan pun ia ikut-ikutan?
Sean menganguk, aku diberi selamat dan dua tahun kemudian, aku menjadi sarjana hukum terbaik sepanjang sejarah Universitas Patih Putih dan Tanah Daun.
Aku pernah membenci hidupku dan bagian terbaiknya adalah penerimaan terbaik atas hidup yang diajarkan Sean padaku. Menjadi sarjana hukum adalah napasku, maka ketersampaiannya tak membuatku mati. Setiap hidup, mimpi, dan cinta harus usahakan sekerasnya. Cita-citalah yang membuatku semangat dan sekolah, seperti yang dikatakan Sean, memang tak begitu penting tapi jelas aku mendapat pendidikan hidup dari sekolah.
Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Penulis: Maila Kholisotul Amalia
Redaktur: Natasya