Sore itu den­gan raut muka temonyo Zul­fikar duduk mer­apetkan pung­gungnya di tepi­an meja ker­ja. Suasana tidak ter­lalu gelap, men­dung nyingkir alus meli­hat Zul­fikar murung. Sebelum­nya ia telah beru­cap pada kawan-kawan di sampingnya.

Aku kan­gen emak, kepin­gin pulang.” Ucap Zul.

Kawan-kawan­nya diam saja tidak menang­gapi ome­lan Zul. Mere­ka tahu si Zul pasti akan merengek minta dip­in­ja­mi motor. Sebab mere­ka semua juga akan pulang. Zul makin mem­o­ny­ongkan mulut­nya tan­da kepalanya mulai akan mele­tus. Kemu­di­an Zul merengek pada mbaknya, “Mbak, pin­ja­mi aku motor. Mau pulang.”

Mbak Naim mem­balas, “Ya itu Zul, bawa aja gausah rewel minta per­men yo.”

Nggak ya, aku lebih suka cilok Probol­ing­go.” Balas Zul pada mbaknya.

Den­gan muka sum­ringah Zul berge­gas menge­masi barang-barangnya dan mulai ber­jalan kelu­ar ruan­gan. Belum sepersekian detik Zul balik masuk lagi, mem­bu­ka lemari kayu cok­lat, mengam­bil beber­a­pa buku dan baru melangkah keluar.

Sam­bil mem­anasi motor dia teri­ak, “Su, helm mu tak pin­jem.” Melam­bai pada Sam­su kawan­nya yang sejak tadi duduk diam di depan kom­put­er jinjing.

Tan­pa menoleh Sam­su hanya mengangguk.

***

Sem­i­ng­gu sebelum keja­di­an temonyo sen­ja itu, Zul dan kawan-kawan­nya melakukan aksi di luar kota. Mere­ka menun­tut pemer­in­tah kota Y untuk tidak men­jual tanah raky­at guna mem­ban­gun pabrik-pabrik perusak lingkun­gan. Mere­ka long march  dari kota T menu­ju kota Y. Per­jalanan yang tidak singkat bahkan memakan wak­tu ham­pir sem­i­ng­gu untuk men­ca­pai kota Y.

Sam­pai di bal­ai kota mere­ka melakukan aksi den­gan orasi di depan kan­tor wali kota Y. Aksi ini gabun­gan selu­ruh aktivis kota Y dan kota T. Mere­ka begi­tu kom­pak sam­pai-sam­pai mau men­em­puh jarak yang sebe­narnya amat san­gat jauh. Sol­i­dar­i­tas yang mem­bu­at mere­ka rela ber­jalan kaki sejauh dua ratus mil demi men­da­p­atkan sim­pati pemer­in­tah kota. Menye­but diri wak­il raky­at den­gan seman­gat mengge­bu-gebu mere­ka getol orasi meng­harap pemer­in­tah kota Y mau turun ke jalan dan berdia­log den­gan mereka.

Zul, Zul­fikar kau datang juga men­dukung kami.” Ucap seo­rang laki-laki beru­mur dua puluhan sem­bari merangkul Zul.

Zul menim­pal, “Ten­tu saja, atas nama raky­at dan ketertin­dasan aku tidak akan mau meny­er­ah. Kita harus sepenuh­nya bersuara atas nama raky­at bung. Bukankah begitu?”

Lela­ki itu men­jawab, “Ten­tu saja Zul, kau yang kami tung­gu-tung­gu dalam aksi ini.”

Hari itu Zul mem­bawa ser­a­tu­san masa untuk ikut ser­ta melakukan aksi. Beber­a­pa hari ia dan kawan-kawan­nya tidur di emper­an-emper­an toko depan bal­ai kota Y. Sedik­it bekal tidak masalah buat mere­ka sebab raky­at lebih pent­ing. Baginya jiwa dan raga telah sepenuh­nya milik raky­at. Bahkan atas nama ketertin­dasan Zul rela mangkir dari ruang kuli­ah dan berpanas-panas ria di pelataran bal­ai kota Y.

Tiga hari tiga malam melakukan aksi akhirnya mem­buahkan hasil. Wali kota Y mau berdia­log den­gan kor­lap mere­ka. Kepu­tu­san dia­log itu akan diba­cakan usai Dhuhur siang itu. Para aktivis harap-harap cemas menung­gui di depan pagar bal­ai kota Y. Begi­tu juga den­gan Zul­fikar, dirinya opti­mis akan menang. Lima belas menit kemu­di­an kor­lap ber­jalan kelu­ar dari gedung bal­ai kota Y. Ber­jalan menu­ju tem­pat Zul dan mem­in­jam pengeras suara ditan­gan Zulfikar.

Hasil dia­log den­gan wali kota Y akan saya bacakan. Mere­ka memu­tuskan mengab­ulkan per­mintaan kita kawan-kawan untuk tidak men­jual tanah raky­at, tidak men­jual tanah demi pabrik-pabrik dan gedung-gedung pen­cakar lan­git. Kita menang kawan-kawan. Hidup raky­at! Hidup raky­at! Hidup demokrasi!” ucap kor­lap itu.

Diirin­gi pec­ah­nya sorak sorai baha­gia dari wajah mas­ing-mas­ing aktivis. Juga lagu darah juang yang spon­tan dinyanyikan ratu­san sim­pati­san aksi itu. Tidak terke­cuali Zul, dia tersenyum puas bisa mem­bela rakyat.

***

Sete­lah kelu­ar dari ger­bang kam­pus­nya Zul berbe­lok kear­ah SPBU dan men­gantri. Tidak lupa ia berkir­im pesan pada emaknya.

Mak, aku mau pulang.” Tulis­nya di pesan pendek.

Usai mengisi bahan bakar tele­pon genggam di sakun­ya berge­tar. Ia mero­goh saku celananya, “Z” hanya huruf itu bal­asan yang dit­ulis emak untuk menyam­but kepu­lan­gan­nya. Iya tahu, emak memang cuek tidak mau terus terang jika sedang kan­gen den­gan Zul.

Sep­a­n­jang per­jalanan pulang Zul her­an, banyak peruba­han pada jalanan pan­jang menu­ju rumah­nya. Ia tidak menyang­ka aspal sep­a­n­jang lebih dari lima kilo­me­ter ini banyak yang rusak bahkan sudah dita­m­bal sana sini secara man­u­al oleh war­ganya. Bisa jadi hujan yang ter­ja­di terus-menerus ikut andil merusaknya.

Ia hanya mende­sah, mem­bayangkan aksi yang sela­ma ini ia dan kawan-kawan­nya lakukan. Zul paham betul mere­ka selalu melakukan aksi di luar kota. Sedik­it­pun tidak per­nah menyen­tuh kota T, kotanya sendiri. Sam­pai di perem­patan kota Zul makin kaget kare­na telah berdiri swalayan besar yang ten­tu saja milik antek-antek Kap­i­tal­is. Ide­olo­gi Zul tiba-tiba tumpah ruah tak karu­an. Ia mengutu­ki diri dan mengumpat sep­a­n­jang jalan. Zul menyumpah ser­a­pah bupati kota T yang per­nah mem­bikin jan­ji-jan­ji man­is tidak akan mem­bu­at swalayan besar di kotanya.

Zul meng­gu­mam, “Dasar omong besar, man­is-man­is kalau di depan. Di belakang dia ser­ahkan juga kotanya pada pemodal. Dasar Anjing. Dia jatuh juga dihada­pan uang.”

Motornya mulai berg­er­ak menu­ju daer­ah pedesaan. Ini jalanan masuk desa yang mele­wati pabrik ker­tas S. Dalam hati lagi-lagi Zul mengumpati jalanan rusak yang sama sekali tidak dibenahi sejak dua bulan lalu dirinya lewati.

Apa tim­bal balik pabrik sialan ini pada desa, jika jalanan saja tidak mau mer­awat.” Desahnya.

Sep­a­n­jang jalan mulai ter­den­gar suara adzan berku­man­dang, menan­dakan wak­tu berbu­ka tiba. Zul den­gan muka bersungut-sungut­nya tidak mempedu­likan suara itu. Perut­nya juga tidak mer­adang minta makan, ia hanya haus. Kecepatan motor ia tam­bah supaya cepat sam­pai rumah. Sete­lah berbe­lok kanan dan lurus sejauh lima ratu meter Zul sam­pai di depan rumah tua yang tem­bok kirinya bekas dibongkar. Rumah mod­el lama den­gan gaya tahun enam­pu­luhan yang bahkan cat­nya tidak lagi ter­li­hat putih. Ia parkir motornya di depan rumah itu sam­bil melirik jam yang jarum­nya sudah bera­da di angka enam.

Ah, pasti emak bikin es sirup kesukaanku.” Ucap Zul seu­sai menarik kun­ci motornya.

Ber­jalan menu­ju pin­tu kayu bercat biru muda yang ham­pir pudar. Ia ketuk pin­tu beber­a­pa kali, dan emaknya muncul.

Kau sendiri­an Zul?” tanya emak.

Iya mak, aku mau ngi­nap rumah. Kan­gen si codot.” Zul men­jawab sam­bil senyum.

Ya sudah, si codot lagi makan ikan asin kesukaan­nya. Kamu mau ngi­nap bera­pa hari di rumah?” emaknya bertanya lagi.

Sehari saja mak, besok aku balik kam­pus lagi. Ada uru­san.” Tim­pal Zul.

Per­caka­pan ibu dan anak yang selalu berakhir mengam­bang. Zul masuk ruan­gan kecil yang di dalam­nya hanya ada lemari susun berwar­na biru tua dan sebuah dipan bam­bu yang sedik­it reot. Zul buang tas­nya di atas dipan kemu­di­an ber­jalan keluar.

Tan­pa suara Zul makan kemu­di­an beren­cana man­di. Zul pak­sa kaki malas­nya menu­ju kamar man­di yang letaknya di belakang rumah. Sedik­it bergidik kare­na hari sudah gelap, tan­pa cahaya lam­pu Zul mulai man­di. Din­gin angin malam dan suara jangkrik mene­nangkan kepalanya yang sedari per­jalanan pulang tadi sudah meletup-letup.

Zul tolah toleh ke belakang kamar man­di yang memang tidak bisa ditut­up rap­at kare­na dind­ingnya hanya set­ing­gi bahun­ya. Ia pan­dan­gi seke­lil­ing dan mulai merasa curi­ga. Pagar kayu pem­bat­as tanah milik kelu­ar­ganya dan tetang­ganya rata den­gan tanah. Pohon-pohon jati yang beber­a­pa tahun ke kebe­lakang ditanam emaknya juga ting­gal seba­gian. Suasana men­ja­di san­gat asing dita­m­bah gun­dukan pasir yang lumayan banyak ham­pir menut­up sebidang tanah itu. Zul hanya berpikir pasti emaknya mau mem­ban­gun sesuatu.

Zul abaikan perasaan curi­g­anya seje­nak dan kelu­ar kamar man­di. Zul ten­gok bilik bam­bu kecil belakang rumah­nya yang hanya disi­nari cahaya lam­pu lima watt itu. Di dalam­nya seo­rang laki-laki paruh baya duduk di dipan bam­bu menat­ap­nya kosong. Mata Zul dan lela­ki itu beradu, tapi kemu­di­an Zul berlalu tan­pa men­gelu­arkan sep­a­tah kat­a­pun. Masuk ke dalam rumah ia mulai mem­bu­ka per­caka­pan den­gan emaknya.

Mak, kena­pa pagar batas tanah kita den­gan tetang­ga rata? Kem­ana pula pohon jati kita seba­gian?” tanya Zul.

Emaknya meman­dan­gi Zul seje­nak lalu berka­ta, “Zul, apa kamu tidak tahu? Tanah samp­ing rumah kita ini sudah dijual oleh paman­mu, dia juga yang men­jual seba­gian pohon jati. Semua hal itu milik paman­mu. Tidak ter­sisa apa-apa kecuali kebun cabe dan rumah ini.”

Sedik­it tidak per­caya, Zul duduk di depan ibun­ya. Menat­ap dalam-dalam perem­puan paruh baya yang telah lama dis­ak­i­ti laki-laki di balik bilik belakang rumah. Kemu­di­an berka­ta lagi,

Lalu mau bikin apa paman den­gan men­jual semuanya. Mak, kamar man­di kita ada di tanah itu” ucap Zul lagi.

Emaknya diam.

***

Esoknya Zul ban­gun pukul 08.00 pagi. Mukanya masih penuh keti­dakper­cayaan dan makin temonyo. Dia mau ke kakus. Kakus ini ter­letak di belakang kebun di belakang kamar mandinya. Zul mele­wati kebun cabe dan kangkung milik emaknya yang dike­lilin­gi pohon ran­du. Tepat di bawah pohon ran­du pal­ing ujung, dis­analah berse­mayam kakus itu.

Saat di depan penut­up kakus Zul­fikar diam. Kemu­di­an berba­lik arah menu­ju dapur dimana emaknya bera­da. Di depan pin­tu dapur Zul ter­diam lagi, kemu­di­an mulai bicara.

Mak, kena­pa kakus kita ter­tut­up tanah? Lalu aku berak dimana?” Tam­pak pan­dan­gan Zul mulai murka.

Emaknya men­jawab den­gan raut muka datar tan­pa mimik baha­gia ataupun sedih.

Zul, kamu bisa berak dis­ana kemu­di­an tutupi tin­ja­mu den­gan tanah di samping-sampingnya.”

Aku dan bapak­mu sudah melakukan­nya dua bulan ter­akhir. Kita belum akan ban­gun kakus baru, tanah sudah dijual. Cepat atau lam­bat kakus itu akan ditut­up ban­gu­nan megah.” Tam­bah emaknya lagi.

Tidak ada jawa­ban yang kelu­ar dari mulut Zul. Zul hanya melangkah masuk kamarnya dan mem­bant­i­ng pin­tu. Hati Zul remuk, piki­ran­nya kacau bal­au, tidak ada pem­be­laan yang bisa Zul berikan.

Apa aku sudah jadi sam­pah raky­at? Yang jauh-jauh aku bela semen­tara rumahku han­cur begi­ni beran­takan. Zul, Zul, Zul, kau Pabu.” Umpat­nya lir­ih pada dirinya sendiri.

Manu­sia dan ker­ak-ker­ak bumi, sama berg­er­aknya. Hanya, manu­sia itu lebih absurd