Ssssssttt…

Semi­lir angin mem­bisik relung hatiku

Berkeme­lut, bert­e­ri­ak padaku

Wahai, manu­sia!”

Jiwaku berde­sir mendengarnya

Dicu­rahkan­nya prob­lemati­ka dunia

Memak­saku untuk mem­bu­ka mata

Lihat saudara-saudara­mu!”

Tam­pak jiwa-jiwa ten­gah mer­in­tih lara

Kesak­i­tan den­gan wajah berpura-pura

Menipu diri tuk ter­li­hat tak apa-apa

Lalu, alam kem­bali berisik

Lihat saudara­mu yang lain!”

Kuli­hat mere­ka yang sibuk mem­ban­gun sur­ga dunia

Tak peduli akan kese­im­ban­gan ekosistemnya

Gunung plon­tos, sun­gai keruh

Lim­bah dan polusi merajalela

Alam menangis

Rin­tik air bertam­bah deras

Dataran ting­gi tak kuasa mem­ben­dung tangisnya

Dan, na’as

Air bah datang menelan desa

Manu­sia berlari mengungsi

Gedung bert­ingkat yang mere­ka elu-elukan,

Kem­bali men­ja­di puing-puing material

Ssssssttt…

Udara berg­er­ak men­em­bus jiwaku lagi

Lihat sek­i­tar­mu!”

Nam­pak sam­pah bertebaran

Polusi udara jua mencekam

Oh, tidak!

Aku tak ingin pemi­lik alam murka

Sadark­an saudara-saudaramu!

Der­a­jat mereka

Dan, tang­gung jawab mereka!

Seba­gai khal­i­fah penjaga 

Di Bumi tem­pat mere­ka berdiri

Penulis: Sahas­rara Sufi Wirid Aswa­musi
Edi­tor: Nurul