“Aku sangat membenci kebongan dan kepura-puraan, kau tau?” ucap Apta kepada lelaki di depannya.
Lelaki itu tak jadi menempelkan bibirnya ke pinggiran cangkir. Diletakkan cangkir itu. Suara benturan dengan alasnya tenggelam dalam geram. Kopi hitam tumpah sedikit.
“Apa maksudmu?”
“Bukan, aku hanya memberitahumu. Percayalah aku tak bermaksud sama sekali.” Apta tertawa. Mencoba mencairkan suasana.
Lelaki di depannya memasukkan jarinya ke gagang cangkir lagi. Kita semua tau tujuannya, memasukkan cairan hitam hangat ke dalam mulutnya.
“Em, baiklah.” Apta beranjak. Cangkir masih melayang-layang di depan leher lelaki itu.
“Syaki menyuruhku datang ke rumahnya, kita lanjut esok saja.” Tanpa menunggu tanggapan lelaki sampingku, Apta sudah berlalu.
Ia turunkan cangkir yang nyaris dua kali ia lumati. Tiing! suara cangkir nyaring menyentuh lembut alasnya. Dengan lembut pula lelaki ini berdiri. Raut mukanya tiba-tiba berubah, itu bukan raut muka sedang sedih ataupun bahagia. Kemudian ia pukuli meja kuat-kuat. Suara gebrakan nyaris tak terdengar, melebur dalam teriakannya, “KEPARA…AAT!!!”
Akhirnya cangkir kopi yang sama sekali belum ia lumati jatuh, menumpahkan cairan hitam hangat yang harusnya sudah meresap di lidah dan bersemayam di lambungnya. Cangkir kopiku menggelinding. kuperhatikan sekeliling, kami menjadi pusat pandangan geram seisi warung kopi. Ada yang mulai berdiri.
“30 menit lagi saja kau lanjutkan marahmu. Sekarang kita pergi dulu dari sini.” Ia mengikuti ajakanku. Meninggalkan beberapa receh uang di atas meja.
***
Udara lembab mulai pengap. Tak ada pikiran di kepalaku selain kejadian barusan. Apalagi di kepala lelaki ini.
Kokok ayam di pinggir jalan ragu-ragu. Memandangi kami lewat dengan rasa was-was. Kami pindah ke warung kopi lain yang lebih sepi, mengantisipsi kejadian yang sama.
Aku tau kejadian tadi tak dapat segera dilupakan, seperti kopi hitam yang tumpah di atas kertas putih. Aku tau pula lelaki ini marah bukan sebab Apta mengatakan ia membenci kebohongan dan kepura-puraan, tapi karena ia datangi rumah Syaki dan Syaki yang meminta. Bilang demikian di depan lelaki ini, bekas kekasih Syaki, aku yakin Apta tau dan sengaja akan hal. Bajing!
Dua jam sudah kami duduk. Ia sama sekali tak menyentuh kopinya. Aku tak peduli. Aku tak sudi pula membuka percakapan dengan orang lemah. Mungkin ia sedang memikirkan konsekuensi terburuk Apta datang ke rumah Syaki: Apta cumbui Syaki dan Syaki menikmati.
Orang-orang datang dan pergi, kami masih setia dengan kebekuan ini. Kuputuskan kembali ke kampus. Tak sudi juga aku menitipkan kalimat apapun.
Sore ini waktu seperti malas beranjak. Matahari menyusuri jalan raya dan hilang di ujung sana. Pandangan lelaki itu kosong, menuju satu arah dan tak berubah.
Aku menyapa satuan pengaman kampus di pos seperti biasa. Hari ini kampus masih sepi usai ujian akhir semester. Tapi aku yakin lebih sepi tatapan lelaki bersamaku tadi.
“Dimana lelaki itu?” sapa Apta padaku.
“Bajing! Kenapa kau disini, kau bilang…” kedua tanganku sudah berada di kerahnya. “Kau sengaja, Bajing!”
“Hei, hei, tenanglah, ini rencana Syaki.”
“Apa?”
“Kau goblok, jangan emosi dulu.”
Kulepaskan kerahnya, “Apa maksudmu?”
“Kau tak tau?” tanyanya.
“Kau jangan berbelit-belit, bajing!”
“Tanya pada Syaki, aku ogah bicara hal bocah ini, ia di dalam.”
Aku masuk kantor salah satu organisasi. Syaki duduk di dalam, memegang setangkai mawar lengkap dengan durinya. Aku hanya tau itu bukan kembang yang didapatnya dari membeli.
“Mana lelaki itu?” tanyanya langsung.
Seperti takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak menjawab. Ia mencoba membaca mataku. Seolah tau apa yang kupertanyakan.
“Hari ini ulang tahunnya.” Matanya menghindar. Malu.
***
“Bajing! Mengapa aku harus terlibat dalam kisah menjijikan ini!” Umpatku, beribu-ribu umpat di pikiran.
Aku mundur perlahan, keluar dari pintu. Mencoba tetap terlihat ramah.
“Kau tunggu saja disini, ia pasti akan datang.” Aku tetap mencoba menampakkan mukaku yang paling ramah.
“kantor itu sudah terjangkit virus-virus melankolis, bajing!” tak henti-henti aku memaki di jalan. Mencoba keluar agar tak terjangkit, sama sekali aku tak ingin berurusan dengan hal hal yang…asudahlah..
Aku hinggap di warung kopi lagi. Bukan dua tempat yang tadi. Tak ada Apta bajing dan lelaki lemah itu. Bahkan bekas bokong kurapannya-pun tak ada. Tenang dan syahdu. Tujuanku jelas: memikirkan cara keluar dari situasi ini.
***
Sekarang pukul sembilan malam. Dan aku mendapat beberapa pilihan. Pulang ke rumah sangat tidak mungkin, yang paling memungkinkan adalah menghibur diri mengunjungi posko KKN angkatan bawahku.
Angin dingin pegnungan dan sepi dan jalan yang tak memanjakan sudah tergambar di angan. Itu sangat lebih baik daripada berada di situasi abstrak macam ini.
Aku kembali ke kampus. Mengmbil beberappa barang yang memungkinkan membuat lebih nyaman perjalananku: jaket, helm, dua bungkus rokok yang kutaruh di atas lemari kantor tadi.
“Kau masih disini? Lelaki itu belum datang?” tanyaku pada Apta. Ia hembuskan asap dari mulut dan lubang hidung. Ia hisap rokok lagi. Ia hembuskan lagi. Tak berselera menjawab pertanyaanku.
Syaki masih di dalam. Menghibur diri membaca surat kabar. Kembang tergeletak di sebelahnya, bekas duri nampak jelas di telapak kanan tangannya. Aku tak peduli.
Aku memikirkan tujuan datang kembali kemari. Jaket sudah ku kenakan dan rokok sudah di kantong dan helm sudah di atas sepeda motor. Aku pura-pura tak buru-buru dan pura-pura tak mual dengan situasi ini. Tangan Apta melambai, “Aku minta rokokmu sebatang.”
Aku berikan sebungkus, berharap tak ada lagi kalimat apapun yang keluar dari mulutnya. Aku ingin segera hengkang. Meninggalkan Apta dan Syaki dan lelaki itu yang entah berada dimana. Aku harap esok atau lusa saat aku kembali, keadaan sudah lebih baik: aku dilupakan pernah berada dalam keadaan menjijikan ini.
***
Angin malam yang hitam di kampus terasa sangat nyaman saat ini. Bulan tetap diam dan awan-awan tak ada. Angin malam yang hitam di kampus menyelinap masuk ke dalam jaket, memeluk dadaku. Sebaian dari mereka menggoyangkan kaca helm ini yang sudah aus bagian porosnya.
Aku sudah melewati gerbang masuk. Yeah! Aku tak pernah se-lega ini selain berakku di pagi hari. Gas kutarik dalam-dalam. Angin malam yang hitam mulai mempererat pelukannya padaku.
Satu tikungan ku lewati. Dan di ujung sana adalah warung kopi ketika aku dan lelaki itu saat sore tadi. Dia masih disini! Tatapannya lebih kosong daripada isi dompet anak kos manapun. Ku pelankan lajuku, memerhatikan lelaki itu. Tapi aku lega, ia meminum kopinya. Dari jalan raya, nampak di depan lelaki itu gelas kaca dan tinggal seperempat isi.
Tunggu. Aku mengenal sesuatu yang ia sandarkan di kaki mejanya. Ya! Itu parang karatan yang berada di kontrakkan. Tapi sekarang sudah tak terlihat karatan sama sekali, mengkilat dan nampak tajam.
Aku makin pelankan sepeda motor, tapi angin malam yang hitam memelukku makin erat. Sesak dan dingin. Pikiranku makin kacau, dan aku kawatir. Harapanku berubah haluan seketika: esok atau lusa saat aku kembali taka da siapapun yang kehilangan nyawa karena parang itu.
Tatapannya bukan tatapan. Tak jarang perasaan menggelapkan. Aku ingin berhenti dan berbicara panjang lebar dengan lelaki itu, mengatakan semuanya. Angin malam yang hitam merembet menggenggam tanganku, kaku. Nampaknya membaca buku dan menulis sangat lebih baik dibanding semua keadaan yang makin abstrak ini.
Aku sudah berlalu. Meninggalkan lelaki itu dengan parang yang sudah terasah dan kampus dengan kejutan. Tatapan lelaki itu menular padaku. Bukan! Pikiran-pikiran rumit dan sangat banyak menggelapkan pandanganku, menjadikannya mirip mata lelaki tadi. Sampai klakson berat dan lampu jauh kendaraan di depanku memberi cahaya.[]
Meyakini berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menyamar sebagai manusia biasa.