Udara mencekik kerongkon­gan­nya. Tem­pat persem­bun­yian gadis itu seper­ti neraka.
“Brengsek!” umpat Profesor.

Tabung reak­si mele­tup­kan gelem­bung jing­ga dan meny­ibakkan aro­ma busuk. Lalu lela­ki itu meng­gan­ti­nya den­gan tabung reak­si yang lain. Ania menga­mati den­gan gugup. Celah lemari mem­per­li­hatkan bagaimana Pro­fe­sor melu­ap­kan ama­rah ter­hadap cairan jing­ga tersebut.

Kau tamat,” gumam Ania. Pro­fe­sor menangis.

Gadis itu mem­bu­ka lemari. Dia berlari, lalu bersan­dar di antara rak dan refrig­er­a­tor. Dia merekam semua di ponsel.
“Tidak!” Pekik Pro­fe­sor. Lela­ki itu melem­par tabung ke selu­ruh ruan­gan. Satu-dua-tiga-empat-lima-enam-tujuh-tujuh-tujuh, pec­a­han tabung bergem­risik di telin­ganya. “Tujuh?” katanya lir­ih. Jan­tungnya berdeguk ken­cang. Cairan jing­ga tumpah dan merem­bes di pangkuan­nya. Ania melem­par tabung ketu­juh ke sisi yang lain. Namun dia ter­lam­bat. Pro­fe­sor menyadari kehadi­ran­nya disana.

Tujuh?” kata Pro­fe­sor sekali lagi.

Ania merasakan dadanya semakin sesak. Nafas­nya mem­bu­ru. Gadis itu mer­a­p­atkan tubuh­nya ke dinding.
“Tabung ketu­juh telah men­e­mukan­mu,” cele­tuk Profesor.

*****

Aku merasakan angin mele­wati tubuhku. Sen­sasi luar biasa keti­ka kau berdiri di sebuah tiang listrik. Bagiku malam ter­li­hat sama, tapi terasa berbe­da. Sekarang tubuhku telah berubah dan aku bukan manu­sia. Cakar di jariku tum­buh sem­pur­na. Kulitku kelabu dan ram­butku sel­egam periuk.

Kakiku melom­pat di tiang listrik ke tiang lain­nya. Lima puluh meter adalah kisaran jarak ter­pen­dek untukku. Batinku terus memikirkan peruba­han men­gerikan ini. Gadis itu menyadari sia­pa aku dan dia men­gatakan aku sedang sakit.

Ban­gu­nan pen­cakar lan­git berderet di pola perse­gi. Aku menyadari beber­a­pa ruan­gan telah menyala. Aku melom­pat ke dind­ing. Merangkak den­gan kaki dan tan­ganku hing­ga lan­tai tertinggi.

Kemu­di­an aku meli­hat­nya berlari di lorong. Dia terpojok.

Iblis, Tuhan akan menghukum­mu!” pekiknya. Ania menekan luka di bahun­ya, tapi darah merem­bes melalui ker­ah terse­but. Dia berlari ke jen­dela. “Kau pasti dihukum,” gadis berka­ca­ma­ta itu men­gan­cam Profesor.

Omong kosong,” Pro­fe­sor tertawa. Dia mendekatinya den­gan sebuah pisau. “Kau mati sekarang.”

Ania menelan ludah­nya dan berka­ta, “Biarpun ya, maka orang lain­lah yang akan men­guak sia­pa kau sebenarnya.”
Ania men­guatkan batin­nya dan berlari ke arah profesor.

*****

Makhluk itu men­ja­di pem­bat­as antara ked­u­anya. Lalu men­cakar jari lela­ki tersebut.

Pro­fe­sor men­jer­it. Pisau yang digenggam­nya jatuh bersama ke-empat jarinya.

Kau tidak seharus­nya melukai wani­ta,” ungkap­nya. Kulit kelabun­ya berpen­dar melalui sinar lam­pu. Makhluk terse­but mem­ba­likkan tubuh­nya dan menga­mati Ania. Matanya hijau dan sebuah tan­duk kecil tum­buh diantara ked­ua matanya.

Ania menga­matinya sesaat. Kemu­di­an mem­beranikan dirinya. “Sia­pa kau?”

Makhluk itu terdiam.

Kau san­gat mirip den­gan sese­o­rang yang kuke­nal,” tam­bah Ania.

Aku pikir tidak akan ada yang mirip den­ganku. Jadi, apakah manu­sia memi­li­ki cakar pem­bunuh seper­tiku?” dia menun­jukkan cakar sep­a­n­jang kel­ingk­ing manu­sia dewasa.

Ruan­gan hen­ing. Tidak seo­rang­pun bicara kecuali suara rin­ti­han Profesor.

Tidak.” Ania mem­u­lai kali­mat­nya. “Tapi, aku tidak melu­pakan wajah itu. Meskipun kau memi­li­ki tubuh berbe­da, tapi lekuk wajah sese­o­rang teta­plah sama.” Ania men­gangkat dagun­ya. “Tulang teta­plah tulang dan tengko­rak tidak­lah tum­buh keti­ka dewasa.”

Tat­a­pan makhluk itu tajam dan dingin.

Apakah ini kau?”

Kukatakan sebaiknya kau per­gi.” Akhirnya makhluk terse­but kem­bali bicara. Lalu, dia berlari ke lorong.

*****

Mata­hari bersi­nar. Hiruk pikuk kota mel­ingkupi sebuah kon­trakan seder­hana di antara makam dan sungai.
“Den­gar!” sahut­nya. “Tidak ada buk­ti seper­ti yang kau mak­sud,” Sil­fi berusa­ha menyakinkan Ania. “Lab­o­ra­to­ri­um kosong. Tidak ada darah ataupun jari Pro­fe­sor di gedung tersebut.”

Ania menga­mati pon­sel mili­iknya. Ben­da terse­but pec­ah dan tete­san darah men­em­pel dis­ana. Dia merasakan nyeri keti­ka dia berg­er­ak. Lalu, “Sese­o­rang telah mengam­bil kar­tu mem­o­ri ponselku.”

Apa mak­sud­mu?”

Selepas pro­fe­sor menusuk bahuku aku berlari ke lorong,” jelas Ania. “Lalu jen­dela, dan melem­par pon­selku kelu­ar. Kupikir aku akan menye­la­matkan reka­man itu jika aku mem­buang pon­selku.” Kali­mat­nya ter­hen­ti dan dia kem­bali berka­ta, “Kemu­di­an makhluk itu datang. Keti­ka dia per­gi aku berusa­ha menge­jarnya.” lan­jut­nya. “Tapi aku tidak men­e­mukan jejak ata­pun dia. Lalu aku memu­tuskan mengam­bil pon­selku dan aku menyadari sese­o­rang telah mengam­bil kar­tu mem­o­ri tersebut.”

Aku yakin kau sedang berhalusi­nasi,” Sil­fi menarik selimut ke pangkuan gadis yang lain. “Sebaiknya kau tidur kembali.”

Tidak. Sese­o­rang dis­ana selain aku,” terang Ania. “Dia berusa­ha menghi­langkan buk­ti ter­hadap Pro­fe­sor Wiratma.”

Aku tidak akan menden­gar celotehmu.”

Pin­tu kamar berderik. Seo­rang lela­ki tersenyum kony­ol dan menun­jukkan bingk­isan seder­hana. “Aku datang!” katanya gem­bi­ra. “Kuden­gar kau men­gala­mi kecelakaan.”

Ania segera bangk­it. Dia menggenggam tan­gan lela­ki itu. “Kem­ana kau semalam?” tanyanya.

Arif merasa kikuk. Dia menga­mati Sil­fi dan menggeleng.

Dimana kau semalam?”

Arif merasa ragu.

Dimana?”

Semalam aku dan Sil­fi bera­da di cafe.” Arif men­jawab per­tanyaan tersebut.

Ania menga­mati saha­bat karib­nya. “Benarkah, Silfi?”

Sil­fi mem­balas den­gan anggukan kecil.

Apa kau meli­hatku?” Telisik Arif. Lela­ki semam­pai itu menyadari sesu­atu yang salah terjadi.

Tidak,” balas Ania. “Hanya saja aku berte­mu sesu­atu yang mirip denganmu.”

Arif dan Sil­fi bergem­ing. Mere­ka menat­ap dalam ketidaktahuan.

Apapun dia, aku yakin bukan­lah pembunuh.”

Sia­pa dia?” tanya Arif.

Dia adalah penye­la­matku dan aku menye­but­nya Ariman.”

Ari-man?” Sil­fi melu­ap­kan keti­dakper­cayaan tersebut.

Ania men­gang­guk. Lalu men­gelus wajah lela­ki dihada­pan­nya. “Dia pahlawan, Arif. Dia seper­timu.” Pipi gadis itu merona. “Maaf telah mengam­bil nama­mu seba­gai namanya. Kurasa itu peng­hor­matan besar untukmu.”

Namaku Arif,” tegas lela­ki itu.

Kemu­di­an Ania mem­balas, “Pahlawan tidak mem­bu­tuhkan ‘f’ di hidupnya.”

Bersam­bung…

Tung­gu kelan­ju­tan­nya Sab­tu depan…

-