Kaca pec­ah di jen­dela sana dan jen­dela sini. Pin­tu tetap terkun­ci rap­at. Udara anyir di dalam hanya bisa kelu­ar melalui jen­dela yang kaca-kacanya pec­ah itu. Semua penghu­ni rumah dalam keadaan tak ter­lalu baik, baik posisi maupun kese­hatan­nya. Dua anak laki-lakinya, umurnya tak sam­pai sepu­luh mati den­gan tem­pu­rung kepala ham­pir pec­ah. Sang suaminya mati ter­tusuk den­gan mulut men­gan­ga dan mata melo­tot dan men­co­ba meng­ga­pai sang isteri. Isterinya mati ngangkang habis diperkosa.

Sebelum polisi datang, ada seo­rang pemu­da. Ben­gong melu­lu, meman­dan­gi ruan­gan dari kaca jen­dela yang pec­ah. Mulut­nya sama-sama ter­bu­ka mirip laki-laki yang mati, tapi tak sele­bar itu. Segera dia kem­bali ke kamar kost. Nyatanya pemu­da yang akan dike­nal seba­gai Apta itu adalah tetang­ga pemi­lik rumah yang telah lep­as nyawanya.

Kota ini memang demikian, ter­pen­cil dan jauh dari kera­ma­ian. Jalur darat den­gan medan yang aduhai mirip ram­but artis perem­puan yang itu, lama-lama memak­sa keti­dak­be­ta­han pema­sok keba­ha­giaan men­datan­gi kota terse­but, san­gat bergelom­bang dan tak rata.

Tak ada yang benar-benar peduli den­gan kema­t­ian sese­o­rang. Mati disi­ni tidak diang­gap seba­gai akhir hidup, tapi seba­gai awal kemu­ngk­i­nan hidup yang tidak ter­lalu kesusa­han. Masyarakat­nya tidak ter­lalu banyak, keadaan seper­ti memak­sa mere­ka mem­per­cayai bah­wa akan ada reinkarnasi.

Bukan tiap hari ada yang kehi­lan­gan nyawa, namun selalu ada dalam sem­i­ng­gu. Entah kela­paran, penyak­it kelamin, over­do­sis obat, atau sebab yang san­gat meny­er­amkan: frus­tasi meli­hat kekasi­h­nya ditiduri laki-laki yang lebih tua, lebih gen­dut, lebih kecil tor­pe­donya dan kekasih­mu hanya diam dan menangis saja saat digenjot.

Polisi selalu datang saat ada keja­di­an, ter­ma­suk hilangnya nyawa sese­o­rang. Mere­ka selalu tang­gap, menulis lapo­ran den­gan mimik yang menye­balkan. Tak ada tin­dak lan­jut apapun, semua pene­gak itu tak ter­tarik menge­tahui sebab keja­di­an sama sekali. Hanya menulis lapo­ran. Hanya itu.

Aro­ma kema­t­ian dan kepu­tusasaan yang amat mem­bosankan telah lekat di hidung tiap manu­sia yang den­gan sial­nya masih hidup di kota itu, lekat pula di tiap sudut dind­ing bekas kencin­gan pemabuk, sam­pai ter­ci­um aro­ma itu di kamar kos pemu­da yang akan kita ketahui berna­ma Apta.

Polisi ter­pak­sa men­cari-cari sebab sam­pai men­ga­da-ada sebab matinya sekelu­ar­ga itu. Kare­na jika tak diusung, masyarakat –yang sebe­narnya tau– curi­ga kepa­da polisi. “Per­am­pokan: Satu Kelu­ar­ga di Ban­tai, per­am­pok kabur” itu­lah yang nam­pak di hala­man depan koran pagi yang bakal jadi tem­pat kenc­ing anjing kudisan.

Sem­i­ng­gu lalu, Apta lah satu-sat­un­ya manu­sia yang masih bisa tersenyum di kota itu. Bukan kare­na makanan yang ia makan enak, makanan dis­ana mirip kacang polong. Tapi satu-sat­un­ya alasan adalah: kekasihnya.

Namun siang itu, Apta datang ke rumah gadis pujaan­nya. Berbicara beber­a­pa hal, menyam­paikan beber­a­pa hal. Sete­lah sele­sai ia pulang den­gan men­daratkan bibirnya di ken­ing gadis itu.

Malam­nya ia teringat sesu­atu yang pent­ing. Kege­lisa­han memak­sanya kem­bali ke kedia­man sang gadis. Ia pang­gili dari pin­tu depan, dijawab sang ibun­da bah­wa gadis itu tak mau men­e­mui. “iya-ya.. sudah larut, pukul 10 lebih” pikirnya.

Suara jawab­nya dari arah jen­dela, ia datan­gi, ingin menyam­paikan pesan pamit­nya. Apta sudah di depan jen­dela, dari pin­tu belakang kelu­ar laki-laki yang lebih tua –bukan ayah sang gadis. Lebih buncit. Ia jalan agak terge­sa sam­bil senyum yang memuakkan sam­bil tan­gan­nya beru­ru­san den­gan celana dan ikat ping­gang. Mere­ka berpa­pasan di depan jen­dela, tetap menam­pakkan senyum yang rasa-rasanya akan meledakkan isi kepala Apta, laki-laki buncit itu berka­ta, “jan­gan bilang sia­pa-sia­pa”, seo­lah-olah senyu­man­nya men­gatakan hal yang lain, “jika kau mau, masuk­lah ke dalam”.

Apta menoleh ke jen­dela. Dis­analah dim­u­lainya penyik­saan yang san­gat meny­er­amkan ter­hadap jiwanya. Ia lihat sang gadis tergele­tak diam, hanya mena­han tangis di atas ran­jang, sebab di samp­ingnya tidur dua adiknya. Laki-laki yang seo­lah-olah sudah ter­biasa datang, yang seper­ti memi­li­ki kuasa menyalurkan sper­ma di kelamin gadis man­a­pun! Sudah per­gi mungkin ke isterinya atau ke gadis lain.

Diber­sihkan cairan itu dari selangkan­gan sang gadis oleh ibun­ya. Dirapikan kem­bali pia­ma tidur sang gadis yang com­pang-camp­ing. Saat itu­lah Apta ter­paku, seisi kepalanya benar-benar meledak. Dan, saat itu juga, tak ada manu­sia yang tersenyum di kota itu.

***

5 hari sebelum pem­bunuhan satu kelu­ar­ga itu.

Apta dan perem­puan –dari sini ke bawah dise­but perem­puan, bukan gadis– itu men­jalankan kehidu­pan seper­ti biasa. Seo­lah-olah malam itu ia tak datang ke rumah perem­puan­nya, ataupun meli­hat sesu­atu yang menyen­tak kuat bagian dalam­nya. Hanya saja, tak ada senyum di wajah mere­ka berd­ua. Seo­lah-olah perem­puan­nya juga tau bah­wa dia meli­hat keja­di­an tadi lusa, namun mere­ka berd­ua diliputi rasa ingin menye­nangkan satu sama lain, walaupun den­gan kepura-puraan.

Lan­git dan tanah kota tak berna­ma makin abu-abu dan gelap. Wak­tu seakan-akan ogah singgah walau hanya untuk merubah keadaan. Sinar mata­hari tak dite­mui di atap-atap rumah, ataupun pun­cak gedung. Tak ada cahaya apapun, orang-orangnya menung­gu dijem­put malaikat pem­bawa arwah. Kehidu­pan sama sekali tak berjalan.

Sete­lah hari itu, mere­ka berd­ua –Apta dan perem­puan– tidak per­nah berte­mu. Aku merasa tak mam­pu men­gun­yah makanan lagi. Men­ja­di Apta, seper­tiku saat ini, bukan­lah hal yang  mudah. Apala­gi dalam posisi yang seru­mit ini dan keadaan sepa­ilit ini dan jiwa sebusuk ini dan shok yang tera­mat besar. Mem­bu­at Apta mem­ban­gunkan sesu­atu dalam dirinya. Sesu­atu yang jelas-jelas telah ter­tidur lama dan jika ter­ban­gun bukan­lah hal yang men­gasyikkan. Aku menulis ingatanku yang masih ter­sisa di otak yang lain. Otak sesu­atu yang baru saja terbangun.

***

Saat kelu­ar­ga itu mati, Apta bersak­si di hada­pan polisi bah­wa ia tidak bersalah. Tapi aku tau, Apta adalah dus­ta, ia berbo­hong, ialah yang telah menusuk-nusuk sang sua­mi, ia jugalah yang men­ga­han­tam kur­si kayu ke kepala anak-anak itu, dia juga yang mem­bu­at sang isteri mati men­gangkang kare­na jer­at tan­gan di leher. Bahkan aku ingat, ialah satu-sat­un­ya orang yang bera­da dis­ana. Aku juga ingat tiap detil kejadiaannya.

Sekarang, polisi, Apta, dan beber­a­pa tetang­ga bera­da di Tem­pat Keja­di­an Perkara. May­at yang memang harus­nya sudah dipin­dahkan itu hanya ter­sisa kapur putih, berben­tuk garis posisi may­at ter­akhir kali. Sayangnya garis putih itu tak bisa menggam­barkan mata melo­tot sang suami.

Salah satu tetang­ga kamar Apta ter­li­hat begi­tu gelisah cukup lama, sete­lah beber­a­pa kucu­ran keringat ia menud­ing kepa­da Apta, wajah­nya ter­arah kepa­da polisi yang sebe­narnya tidak peduli sia­pa pelakun­ya atau sebab kema­t­ian kelu­ar­ga itu.

Tan­pa tersenyum, pria tua itu makin beringas den­gan gelisah dan gemetar atas dirinya sendiri. Apta menat­ap bin­gung, men­ga­pa pula ia dituding. Sebelum kejang yang makin hebat, pria tua itu bert­e­ri­ak kepa­da polisi yang tak peduli, “APTA BERKEPRIBADIAN GANDA!!!”

Ah, menden­gar itu mataku ter­bu­ka, sekarang aku lega. Aku­lah Apta dan Apta adalah aku. Aku jadi ingat saat masih anak-anak, Aku tak sen­ga­ja men­jatuhkan pisau dan menan­cap di dada ibuku yang ter­tidur, aku juga tak sen­ga­ja men­cam­pur racun tikus ke dalam sara­pan adikku. Ayahku men­ja­di gila, ia suruh aku menye­wa kamar kos sendiri.[]

Meyaki­ni berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menya­mar seba­gai manu­sia biasa.