Semenjak hari itu, aku membenci buku. Jilidan berlembar kertas membuatku kehilangan eloknya semesta. Pandanganku membaur bersama kabut dan embun pagi hari. Saat itulah aku menyadari aku akan mati. Aku buta huruf tatkala tulisan Bu Muyas bak Font Calibri itu tak lagi bisa kubaca.
Dokter tua yang puluhan tahun menghadapi pasien sakit mata, memvonisku miopi dan memintaku mengenakan kacamata. Aku meronta di depan cermin.
“Kau hanya membantuku melihat kekuranganku! Pecahlah!” Maka cermin pun lebih tidak terima mendengar cercaan penghinaanku.
Ditampilkannya lorong waktu masa lalu. Denting waktu merekam perbuatan kejiku. Sepuluh tahun silam, aku kelas lima SD, nakalku tanpa takut mengolok-olok Tuti si gadis udik berkacamata. “Tuti Susanti, anak rembes, orang setres.” Jika sudah demikian maka aku tertawa: ha ha ha.…lalu lari meninggalkannya.
Seolah dunia menghujani karma padaku. Kegemaranku menonton film dan membaca buku, menghilang ditelan keangkuhan lalu. Tiap kali aku menggauli DVD dan buku, mataku perih lalu tanpa kuhendaki malah menangis. Hingga aku memutuskan untuk vakum dari film dan mengurangi intesitas hobi baca.
Dua bulan setelah vonis itu, aku menjadi asing terhadap diri sendiri. Tanpa film dan buku, sama saja hidup tanpa cinta. Aku pun tak lagi kuat. Maka dengan sangat terpaksa, aku memakai kacamata kotak pemberian Ayah sebulan lalu. Kacamata warisan dari kakek yang kini telah bergelar almarhum.
Di depan cermin aku kembali menghadap. Kutemukan sosok diriku yang merasa pantas dengan kacamata berbingkai hitam besar ini. Aku tersenyum. Wanita cantik berdiri di hadapanku, dia tak lain adalah pantulan tubuhku. Cetar! Cermin sedikit retak, lima senti meter barangkali. Spontan mataku terpejam. Gelap. Sangat lama. Aku berada di kasur rumah sakit. Namun dengan sosok bayi berlumur darah wiladah. Ah, itu aku saat dilahirkan dari rahim seorang ibu. Wanita yang kata Ayah malaikat yang sudi mempertaruhkan nyawanya demi aku ada.
21 Mei 1998. Tepat saat Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden, aku dilahirkan. Rakyat berpesta, demikian juga Ayah. Kebencian Ayah terhadap posisi rakyat yang dimobilisasikan politik terbayar sudah. Tapi bukan berarti menghirup udara bebas nan bersih tanpa polusi, sebab penafian hak sebagai rakyat pada masa terdahulu.
Tanah kami dipaksa untuk diduduki. Pemerintah berdalih memakmurkan bumi dengan sistem irigasi. Tanah yang hendak kakek wariskan terpaksa diberikan. Mendukung pemerintah membangun Waduk Nipah. Namun tak ada kepastian imbalan setelah sekian tahun diimingi ganti. 25 September 1993, kakek menjadi korban tragedi berdarah.
Merah darah 1998 bercampur darah 1993. Amis melangit di sudut-sudut kamar. Sentimen kebencian menyeruak hasratku. Ingin sekali kupukul aparat yang anarki menembak kakekku, namun Ayah terburu datang menghentikanku lalu melepas kacamataku.
Aku menangis. Namun ada saja cara ayah menghiburku. Ayah menirukan Bung Hatta bersabda: “Rakyat bagi bangsa Indonesia adalah hal yang utama, sebab rakyat yang sebenarnya mempunyai kedaulatan dan kekuasaan. Rakyat juga jantung hati bangsa dan menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat bangsa. Dengan rakyat Indonesia akan mati dan dengan rakyat pula Indonesia akan tenggelam. Atau hidup matinya bangsa Indonesia betada pada semangat rakyatnya.”
Pada Ayah aku berkata, “Nasionalisme sekali Ayah ini. Pun sampai hafal sabda Bung Hatta. Lantas mengapa tak kau sematkan nama Hatta pada nama lengkapku? Mengapa kau pilih nama tokoh negara lain?”
Sehingga nama Jefferson menjadi kata terakhir di akta lahirku. Pada nama itu ada harapan yang diselipkan. Meskipun aku wanita, Ayah bercita-cita agar kelak aku menjadi pemimpin yang merakyat. Seperti Thomas Jefferson yang membangun negara di atas kekuatan rakyatnya dengan rumus Declaration of Independence.
Kurasa nama itu tak perlu, lagipula Indonesia ini juga negara dengan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Hanya saja saat ini wakil-wakilnya saja yang lebih berkuasa sehingga yang sejahtera mereka saja. Semoga negeri ini lekas sembuh merawat rakyat dan wakil rakyat. []