Judul buku : Pendidikan Kaum Tertindas
Penulis : Paulo Freire
Penerjemah : F. Danuwinata
Penerbit : LP3ES
Tahun terbit : cetakan keenam (edisi revisi) 2008
Tebal : xxxvii + 221 hlm
Kita selama menempuh pendidikan secara sadar maupun tidak, interaksi antara guru dan murid dalam sekolah bisa jadi sebuah penindasan. Tak haya “penindasan” oleh guru kepada muridnya, penindasan juga terjadi antarmurid, seperti penindasan senior-junior di sekolah-sekolah. Parahnya, penindasan tetap terjadi sampai perguruan tinggi. Anehnya dendam bersabda, beberapa orang yang tertindas seringkali menjadi penindas untuk lainnya. Yah, mewarisi budaya tindas-menindas dengan dalih melatih mental. Sedangkan yang tertindas lainnya hanya bisa saba, mentok ya mengumpat, ironis dari sebuah ketakutan.
Penyataan ini bukan bualan belaka, sebab kenyataan ini ditunjukkan oleh Paulo Freire. Salah satu tokoh teoritikus pendidikan dari Brazil, ia menuangkan dalam buku Pedagogy of Oppresed atau Pendidikan Kaum Tertindas, merupakan buku Freire yang terbit pertama kalinya pada tahun 1970. Paulo Freire membahas bobroknya sistem pendidikan dan bagaimana seharunya pendidikan itu. Buku ini adalah hasil pengamatan selama enam tahun dalam pengasingan politik. Freire menganalisis peran penyadaran (conscientization) maupun dalam bentuk pendidikan yang benar-benar membebaskan, namun masih adanya perasaan “takut kebebasan” (fear of freedom).
Buku ini langsung dari perwakilan kaum pekerja dan masyarakat kelas menengah yang diamati secara langsung maupun tidak. Freire juga mempunyai harapan bagi pembaca buku ini “Kepercayaan saya kepada rakyat jelata, keyakinan saya kepada manusia dan pada pencipta sebuah dunia tempat manusia dapat lebih mudah mencintai sesamanya.”
Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” terdapat empat bab. Bab pertama menyampaikan mengenai Humanisasi (memanusiakan manusia) dan dehumanisasi (hilangnya harkat manusia). Freire menegaskan pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas karena usaha untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari bentuk penindasan dan ketertindasan.
Ketika fokus pada humanisasi, mau tidak mau humanisasi akan membawa dehumanisasi ikut sebagai bayangannya. Mengapa seperti itu? Karena kaum penindas sudah mendoktrin kaum tertindas. Menurut Freire, pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, “Pada tahap pertama, kaum penindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tadap kedua, di mana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan langgen” (hal 28). Jadi, dari dua tahap tersebut dapat disimpulkan pendidikan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Ini bisa terwujud dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan serta bisa membebaskan diri dari kaum penindas dan tidak menjadi penindas ketika berhasil menaklukkan kaum penindas.
Pada bab dua, Freire membahas tentang konsep pendidikan gaya bank dan pendidikan hadap masalah. Dalam proses belajar, murid-murid hanya mencatat, menghafal, dan mengulang sebuah pewarisan ilmu. Freire mengatakan, “Inilah konsep gaya bank, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan” (hal 52). Guru menjadi subjek yang mempunyai kuasa pengetahuan yang harus dibagikan kepada murid, sedangkan murid memiliki kewajiban harus menerima.
Pendidikan Gaya Bank
Bagaimana pendidikan gaya bank itu? Pendidikan dengan sistem pendidikan bercerita, guru membicarakan realitas seolah-olah terpisah satu sama lain dan dapat diramalkan. Pendidikan bercerita ini guru menjadi pencerita yang mengarahkan murid-muridnya untuk mencatat, menghafal dan mengulang apa isi pelajaran yang diceritakannya. Di dalam sistem ini, ciri khasnya adalah guru sebagai subjek dan murid sebagai objek.
Menurut Freire “Pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi “tabungan yang diterimanya” dihafal, dan diulang dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep gaya bank, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.” Dalam sistem pendidikan gaya bank, pengetahuan seperti sebuah anugerah yang diwariskan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa.
Pendidikan Hadap Masalah
Freire memberikan solusi untuk lepas dari sistem pendidikan “gaya bank”, yaitu dengan metode yang diberi nama “pendidikan hadap masalah”. “Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya pengalihan-pengalihan informasi. Dia merupakan sebuah situasi belajar di mana objek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari laku pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman-guru di satu sisi dan murid di sisi lain,” (hal 64). Sistem pendidikan hadap masalah itu sistem pendidikan yang dekat dengan realitas. Contohnya Indonesiakan negara agraris, seharusnya Indonesia lebih fokus terhadap persoalan agraris bukan pada pendidikan yang di luar Indonesia.
Sedangkan konsep hadap masalah masih belum berkembang di dalam sistem pendidikan Indonesia. Meskipun kurikulumnya sudah berganti K‑13, namun ego guru masih menganggap dirinya adalah penguasa kelas. Yah, murid dianggap sebuah benda dan gampang diatur. Para guru akan menggunakaan senjata norma kesopanan sebagai alat pengekang muridnya. Bila murid kurang memahami pelajaran akan dicap bodoh, bahkan bila murid agak melenceng sudah dianggap tidak punya sopan santun, kurang ajar, biadab, ataupun nakal. Meskipun kurikulum sudah berubah-ubah namun sistem pendidikan dan praksis pendidikannya tetap sama.
Dalam bab tiga, Freire menjelaskan mengenai dialog. “Jika dalam mengucapkan kata-katanya sendiri manusia dapat mengubah dunia dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai manusia” (hal 77). Dialog merupakan amunisi paling penting dalam sistem pendidikan hadap masalah.
Mengapa harus dialog? Karena hanya dialog yang mampu menuntut tercetusnya pemikiran kritis. Dengan adanya dialog, masih terdapat harapan. Bila harapan sudah tidak ada berarti terjadi kebisuan, penolakan terhadap dunia, serta sikap melarikan diri darinya. Harapan bukan berarti berpangku tangan dan menunggu, tetapi harapan sebagai penggerak perjuangan. Dialog akan terjadi bila terdapat rasa cinta, kerendahan hati, kenyakinan serta harapan.
Anti-Dialogika Dan Dialogika
Pada ujung bab, Freire membahas perbandingan anti-dialogika dan dialogika. Model pendidikan anti-dialogika selalu ditandai usaha menguasai manusia sedangkan, model pendidikan dialogika sellaui ditandai kerjasama. Model pendidikan anti-dialogika dikenal seperti penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, serta serangan budaya. Contohnya seperti mitos bahwa siapapun yang rajin bekerja dapat menjadi pengusaha, mitos bahwa pedagang kaki lima adalah sama dengan pemilik pabrik besar sebagai pengusaha, dan mitos mengenai persamaan derajat manusia. Ketika pertanyaan “ Tahukah kamu dengan siapa kamu berbicara?” masih berlaku di antara kita.
Sedangkan model pendidikan dalogika dikenal seperti kerja sama, persatuan untuk pembebasan, organisasi dan sintesis kebudayaan. Freire juga mengatakan untuk mewujudkan sistem model pendidikan seperti ini harus meninggalkan mitos-mitos yang dibangun kaum penindas. “Agar kaum tertindas dapat bersatu, mereka harus lebih dahulu memotong tali pusar magis dan mitos yang mengikat mereka dengan dunia penindasan.”
Dalam setiap sudut buku pendidikan kaum tertindas, kita dapat melihat wajah Indonesia, di mana celah pendidikan sehingga tidak berhasil menjadi alat pembebas. Sistem pendidikan di Indonesia hanya fokus pada kebutuhan industri. Mengapa demikian? karena Indonesia masih melanggengkan sistem pendidikan gaya bank, bukannya menyudahi malah menyuburkannya sesubur suburnya.
Freire dalam buku ini mengajak dari semua kalangan yang menganggap dirinya kaum intelektual, mengkritisi dan mewujudkan menjadi praksis pendidikan yang membebaskan. Buku ini mampu menghipnotis sampai-sampai tidak ketemu kekurangangnya.
Penulis: Amy Amelia
Editor: Nifa K. Fahmi
Tanya, Freire yang demikian apakah punya media sosial? Facebook dan Instagram, misalnya.