Generasi milenial mempunyai ratapan tersendiri dengan keberadaan kertas. Kertas menjadi romantisme zaman yang mengandung kesedihan mendalam. Kertas, sebagaimana kita tahu masih menjadi dualisme berpikir untuk menyudahi memakai dan meneruskannya. Sebagai generasi yang serba separuh, generasi milenial mempunyai beban mendalam karena hidup dalam zaman peralihan. Peralihan dari penggunaan kertas kepada gadget, perubahan dari harus menyenangi kertas dan membenci penggunaan kertas.
Seperti kita tahu bahwa perubahan zaman memang kurang ajar karena memojokkan generasi ini dengan banyak tawaran teknologinya. Menjadi kerancuan karena kemudian generasi milenial harus bermuka dua untuk melihat kertas. Di satu sisi kertas merupakan kesenangan tersendiri karena dia mempunyai sejarah panjang yang mengantarkan generasi ini menuju perubahan dunia. Di sisi lain, generasi milenial harus berperang dalam penggunaan kertas.
Kertas, benda tipis yang dapat hanyut yuyut jika terkena air berbahan dasar pohon. Kita tahu berapa persen penggunaan kertas di dunia ini. Setidaknya dalam setahun, kertas akan digunakan dalam ujian-ujian baik skala regional maupun nasional. Tentu kita bisa bayangkan ada berapa banyak pohon yang harus ditebang untuk memenuhi kebutuhan ini. Meski telah mulai dilakukan ujian sistem komputer, nyatanya tidak dapat dilakukan secara masif di semua daerah. Akhirnya ujian kembali pada lembar-lembar kertas.
Ini hanya contoh kecil kenapa generasi milenial sangat akrab dengan kertas, ya karena ujiannya pun tidak luput dari kertas. Kemudian muncul jargon Save Earth yang menganalogikan alam sebagai sumber kehidupan dan terkhusus ialah pohon. Kita tahu, awal mula kehancuran alam adalah karena kurangnya perhitungan pemanfaatan sumberdaya alam dengan baik. Itulah mengapa kemudian muncul jargon penyelamatan bumi, yang juga masih dalam era pertumbuhan generasi milenial. Di sinilah kebimbangan generasi milenial muncul, bahwa dirinya harus menentukan sikap antara menggunakan ataupun menyudahi. Sistem tetap membuat kertas dipergunakan hampir di semua ranah kehidupan manusia.
Kemajuan zaman disusul pula dengan kemeriahan alat komunikasi modern yang menyediakan beragam fitur, termasuk buku elektronik. Sebenarnya ini salah satu upaya untuk mengurangi penggunaan kertas dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam hal buku bacaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa baik generasi milenial maupun generasi X juga belum bisa lepas dari kertas. Ini masalah nyaman dan ketidaknyamanan yang membawa pada satu gaya bahwa membaca itu lebih enak dengan memegang kertas secara langsung. Pernah suatu kali penggunaan buku-buku elektronik digalakkan, akan tetapi manusia kembali pada romantisme kertas. Seolah tidak ada satupun yang bisa menggantikan kertas.
Kertas menyimpan pesan romantis untuk selalu dicumbui, kita tidak pernah bisa benar-benar lepas dari benda satu ini. Peradaban seolah tidak bisa lahir jika kita atau suatu generasi tidak bisa menghasilkan karya (melalui) kertas. Ini hanya hipotesa awal yang masih perlu dibuktikan lagi. Namun kita bisa melihat banyak hal yang kemudian memengaruhi eksistensi kertas dalam peradaban. Pertama kita harus tahu bahwa sudah pasti kertas itu menjadi benda kapitalis yang rantai cukup kuat mengikat manusia. Kemudian muncullah ide untuk konservasi lingkungan terkhusus pepohonan dengan pola tebang pilih dan tanam.
Pola ini akan menjadi spektrum yang melingkupi generasi-generasi manusia selanjutnya. Tidak hanya kebimbangan pada generasi milenial saja, sebab kertas itu mampu menciptakan kekuatan dalam diri manusia. Kita bisa pahami lewat mereka-mereka yang mengoleksi ribuan buku yang – kalian tahu semua koleksi itu terbuat dari pohon. Bahwa pada intinya manusia tidak bisa lepas dari peradaban kertasnya yang mana membawanya pada masa-masa silam. Sekalipun muncul media lain, kertas tidak pernah bisa tergantikan. Bahkan konservasi alam sekalipun merupakan wujud manusia memuliakan kertas yang akan terus menerus diproduksi menemani perubahan zaman.[]
Manusia dan kerak-kerak bumi, sama bergeraknya. Hanya, manusia itu lebih absurd