Dua kali puasa, dua kali lebaran…
Corona gak hilang-hilang, apa lupa jalan pulang?
Sejak diumumkan tiba di Indonesia pada awal tahun 2020, corona bukannya takut dan merasa kapok dengan caci, maki, dan cemoohan warga +62. Namun, malah santai dan betah berada di Indonesia. Hal tersebut terbukti bahwa corona sudah dua tahun lebih tinggal di negeri ini. Bahkan ia sudah bertamasya dan keliling-liling kota dari mulai ujung barat sampai ujung timur Indonesia. Sangat disayangkan kedatangan corona ke negara ini tidaklah membantu perekonomian masyarakat di kota yang disinggahi, justru sebabkan penutupan dan pembatasan yang kerugian. Oleh karenanya, masyarakat bukannya untung tapi malah buntung.
Dikutip dari the Center for Systems Science and Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University (JHU) Data dan Our World in Data, pada bulan Juli 2021 setidaknya sudah ada 2,49 Juta orang yang terpapar virus corona, dan sekitar 65 ribu di dari negeri antaranya meninggal dunia. Sebenarnya, banyak sekali orang yang ingin mengusir corona ini. Sayangnya dirasa sulit oleh beberapa pihak, dan masyarakat malah disuruh hidup berdampingan dengan corona.
Hidup berdampingan dengan corona itu dalam artian kita harus bisa menerima dan beradaptasi dengan keberadaan corona. Sehingga, nantinya sewaktu-waktu ia mau menyerang dan marah maka kita sudah punya senjata untuk meredam bahkan melawannya. Perlu diingat kembali, bahwa corona itu bukanlah sesuatu yang bisa kita ajak main-main, ia bisa menyerang dari mana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, supaya meminimalkan serangan yang dilakukan oleh corona pemerintah memberlakukan pembatasan-pembatasan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, mulai dari sektor perekonomian sampai keagamaan.
Dalam sektor keagamaan, pemerintah memberlakukan pembatasan terhadap kegiatan-kegiatan yang mengundang kerumun, seperti penutupan sementara masjid dan imbauan untuk melakukan ibadah di rumah saja. Keputusan pemerintah tersebut tidak langsung diterima oleh masyarakat begitu saja, melainkan malah memunculkan beberapa konflik dan perdebatan antara berbagai pihak. Ada yang menyatakan bahwa corona hanyalah rekayasa yang dibuat manusia. Ada pula yang lantang menganggap pemerintah dan pembuat kebijakan adalah orang yang tidak takut dengan Tuhan apabila tempat ibadah ditutup dan kegiatan keagamaan dilarang.
Apakah mungkin sebuah kebijakan dari pemerintah dan juga fatwa dari beberapa ulama yang sudah pasti memiliki kompetensi dan kredibilitas tidak memikirkan dalam-dalam dan tanpa dasar? Bukankah kebijakan tersebut justru bukti bahwa pemerintah dan para ulama itu masih takut kepada Allah? Sebab dengan tanggung jawabnya yang besar terhadap masyarakat dan umat, mereka mengutamakan keselamatan dan kehidupan masyarakat yang dipimpinnya.
Sebenarnya, kemunculan perbedaan adalah hal yang biasa. Sebab pada dasarnya, setiap kali melihat perbedaan, maka sejatinya adalah proses belajar sudut pandang yang baru.
Memutus dan mencegah segala macam bentuk kerusakan yang ada itu adalah tujuan dan fokus utama kebijakan yang dibuat saat ini. Bukankah dalam kaidah pengambilan atau penentuan hukum Islam dijelaskan bahwa dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, yaitu menolak atau menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada melakukan kebaikan? Bukankah kebijakan dari pemerintah dan fatwa para ulama sudah sesuai dengan kaidah fiqih yang mana mengamanatkan tashorruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah, kebijakan dari seorang pemimpin kepada rakyatnya haruslah dikaitkan dengan kemaslahatan? Sebenarnya pembatasan kegiatan keagamaan bukan alasan kita menjadi tidak bisa beribadah sama sekali. Kita masih bisa melakukan aktivitas seperti berdizikir, membaca Al-Quran, dan kegiatan keagamaan lain di rumah. Bahkan ibadah-ibadah yang bersifat fardiyah atau individu itu bisa lebih sempurna apabila ditambah dengan ibadah-ibadah sosial. Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan untuk kita saling hina dan saling bertengkar masalah kebijakan. Kalau masyarakat terus bertengkar dan mempermasalahkan sebuah kebijakan, justru corona yang senang, ia merasa berhasil telah memecah belah bangsa Indonesia dengan pemaksaan pemahaman atau sudut pandang mereka kepada orang lain.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Penulis: Trias Fatih Mubaidilla
Redaktur: Natasya