Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sapardi Djoko Damono,1989
Baru saja seseorang menerima puisi tersebut dalam selembar kertas beserta amplopnya. Terselip beberapa foto dan tak lupa tanda tangan ‘salam rindu’. Sesaat, mata berkaca dan rasa senang pun menggebu begitu hangat di dada. Romantis walaupun klasik adalah kunci untuk membuat seseorang yang dicintai akan luluh. Bingung untuk menyusun kata-kata yang indah untuk diberikan, maka tulislah bait-bait puisi untuk disampaikan. Puisi menghadirkan kelembutan dan kasih sayang, kata-katanya menjelma bunyi indah yang membuat pembaca menyeka air mata, dan puisi bukan sekadar huruf, terdapat ‚akma yang hidup di dalamnya.
Puisi “Aku Ingin” karya penyair Indonesia, Sapardi Djoko Damono, berlatar belakang tahun 90-an dan masih eksis sampai kini. Tidak hanya kalangan 90-an yang menikmati puisi tersebut, tetapi ternyata generasi Z pun mengaguminya. Pernah suatu ketika saat istirahat di sekolah seorang teman bercerita. Ia dikirimi selembar puisi karya Eyang Sapardi—begitulah sapaan pencipta puisi “Aku Ingin”—entah dari siapa karena tak ada nama pengirimnya. Takjub oleh kata-kata yang dituliskan di dalam kertas, ia senyum-senyum sendiri seolah hatinya penuh dengan bunga bermekaran.
Eyang Sapardi melahirkan puisi ini dengan waktu cukup singkat. Bukan sebulan seminggu apalagi sehari, Eyang Sapardi menghabiskan sekitar 15 menit untuk puisi indah ini. Pada acara bertajuk ‘A Rare Conservation: Sapardi Djoko Damono-Joko Pinurbo’ di akun YouTube Asean Literary Festival pada 2016 lalu, Eyang Sapardi menjawab pertanyaan Najwa bahwa proses melahirkan puisi ini hanya 15 menit saja. Ia menambahkan, untuk penulisannya ia menggunakan tulisan tangan.
Sederhana
Menurut kalian, apa makna mencintaimu dengan sederhana? Andaikan sederhana bukan hal romantis, tidak mungkin ia hadir dan mengatakan ‘aku mencintaimu’. Sederhana bisa dimaknai dengan sebuah cara mudah dilakukan. Kenyataannya ‘mencintaimu’ itu tidak pernah sederhana. Kata ‘sederhana’ mempunya magis tersendiri bagi pembaca. Interpretasi pembaca berbeda-beda untuk mengungkapkan kata ini.
Pernahkah kalian ‘mencintai dengan sederhana’ kepada seseorang? Seberapa sederhana? Kesederhanaan sangat sulit dinilai. Entah karena sifatnya yang abstrak atau memang hanya bisa dilihat dari hati. Kesederhanaan berarti ketulusan, ia ada di dalamnya. Pada suatu kesederhanaan di situ ada ketulusan.
Kepada Alam
Bait pertama di baris ketiga kayu kepada api, ada apa dengan kayu dan api? Sehingga menghasilkan abu, mengapa sudah menjadi abu padahal belum sempat diucapkan? Jika kayu mencintai api, ia rela berakhir menjadi abu sebelum sempat berucap cinta. Betapa puisi ini membuat kita berpikir bahwa alam juga bisa jatuh cinta dengan caranya.
Alam seolah-olah menceritakan kepada umat manusia bahwa mencintai itu sungguh sederhana. Kayu berakhir menjadi abu agar api bisa merasakan ketulusan hati ‘seorang’ kayu. Lalu abu merupakan wujud cinta tanpa kata, itulah mengapa ia sangat mencintai api. Cara sederhana menghasilkan makna yang istimewa. Apakah kayu yang menjadi abu akhirnya kecewa tidak sempat mengucapkan cinta kepada api?
Hujan turun membasahi bumi. Langit gelap penuh emosi. Nikmat dari Tuhan kepada alam telah terpenuhi. Awan menjadi segar dan ketika hujan reda ia menjelma pelangi bewarna-warni. Bait kedua baris ketiga awan kepada hujan, sungguh cintakah awan kepada hujan? Berbeda dengan bait pertama, bait kedua memberikan nuansa alam penuh pengertian. Di mana hujan tidak akan pernah turun terus menerus dan pasti akan berhenti. Sedangkan awan pasti selalu menggantung di langit.
Awan memberi isyarat bahwa ia mencintai hujan tetapi belum sempat tersampaikan, hujan telah tiada dan reda. Kesederhanaan dalam mencintai tidak melulu soal ‘kode’ atau isyarat, bahwa cinta akan hadir dengan sendirinya dan memberikan warna yang indah. Seperti pelangi, ia dihasilkan oleh pengertian dan kasih ‘seorang’ hujan. Lalu apakah awan akan menunggu hujan kembali dan menyampaikan cintanya?
- Penulis adalah Mahasiswi UIN Wali Songo Semarang