Pasca tragedi kebakaran Gudang Kembang Api tepatnya di Kosambi, Tangerang, Banten, pada 26 Oktober 2017, masih menyisakan luka pilu bagi warga sekitar. Seperti yang dilansir pada harian Kompas Rabu (1/11), setidaknya membuat Didi (55) masih terbayang bagaimana api membakar habis tubuh putrinya Siti Fatimah (15). Delapan Puluh Persen (80%) tubuhnya dipenuhi dengan luka bakar.
Pada saat peristiwa itu terjadi, Fatimah sedang melakoni tugasnya sebagai buruh kembang api pabrik PT. Panca Buana Cahaya Sukses. Melihat usianya yang masih terbilang usia dimana masanya masih harus mengenyam pendidikan. Ia terpaksa harus putus sekolah karena orangtuanya tidak ada biaya. Alhasil, ia menjadi buruh pabrik industri yang berkembang pesat di Kosambi.
Hampir keseluruhan anak-anak Kosambi harus putus sekolah karena lingkaran kemiskinan. Mereka harus putus sekolah kemudian bekerja sebagai buruh pabrik. Tergiurnya iming-iming upah Rp 55.000 per hari menjadikan mereka berhasrat tinggi untuk bekerja di pabrik. Kondisi seperti ini memaksa mereka untuk putus sekolah dan memilih mencari uang. Sehingga sedikitnya 49 nyawa manusia melayang dilahap api. Empat Puluh Persen (40%) adalah anak-anak yang masih dibawah umur.
Kosambi memang merupakan tempat dimana berbagai macam industri tumbuh. Setidaknya ada tujuh (7) industri di daerah Kosambi, antara lain PT Milano Marmer, PT Wira Mandiri Makmur, PT Mitra Rackindo Perkasa Gemilang, PT Permata Jaya, PT Star Dinamika Prima, PT Multindo Pratama Engineering, dan PT Hadinovasi Wiramandiri. Belum lagi perusahaan industri sejenis yang memproduksi barang.
Perusahaan industri memang tumbuh pesat di daerah Kosambi. Menurut pemerintah Tangerang Banten sebagaimana dilansir pada Kompas 30 Oktober 2017 lalu. Kecamatan Kosambi memang diperuntukkan sebagai kawasan industri. Namun, perkampungan warga sudah ada lebih dahulu daripada pabrik-pabrik yang didirikan. Akibatnya, warga hidup berdekatan dengan kawasan pabrik.
Warga Kecamatan Kosambi tinggal dengan jarak yang sangat dekat dengan pabrik. Tidak ada keamanan yang khusus bagi mereka apabila sewaktu-waktu pabrik mengalami kebakaran. Pabrik juga tidak memberikan jaminan keselamatan bagi para buruhnya. Sehingga, akibatnya mereka yang mengalami luka bakar tidak mendapat jaminan keselamatan seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Sampai saat ini polemik siapa yang bertanggungjawab atas kejadian itu masih belum diketahui. Bahkan penderitaan mengenai Kosambi terus-menerus menjadi sorotan. Dimana negara pada situasi seperti ini? Sebagai penyelenggara negara dari sebuah negara, setidaknya ada yang mengambil posisi disaat yang lain bungkam untuk bertanggungjawab. Setidaknya negara hadir bagi mereka yang menjadi korban dan kehilangan sanak-saudaranya.
Menurut Rita Pranawati selaku Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) sebagaimana diungkapkan pada harian Kompas menyatakan bahwa, anak-anak seharusnya mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun. Negara bertanggungjawab terhadap pemenuhan hak anak atas pendidikan dasar tersebut.
Rita menerangkan dalam kasus ini negara seharusnya hadir untuk membantu anak-anak yang putus sekolah. Anggaran pendidikan sebesar dua puluh persen (20%) seharusnya mampu menjangkau semua anak untuk mendapatkan hak atas pendidikan.
Memang kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan orangtua yang harus mengikutkan anak dalam keluarga untuk bekerja. Kesulitan ekonomi yang menjerat, menjadikan anak mau tidak mau harus putus sekolah. Dalam diri seorang anak yang peduli pada kondisi orangtuanya, pasti akan muncul rasa iba. Dimana ini mengharuskan anak untuk ikut terjun mencari rupiah.
Pesatnya industri yang tumbuh di Kosambi, menjadikan mereka ladang untuk sesuap rupiah. Tanpa pikir panjang asal ada pemasukan menjadi alasan. Bekerja tanpa ada jaminan keselamatan, asal masih bisa jaga-jaga. Hidup selalu dibayangi kekhawatiran apabila suatu saat bahaya kebakaran bisa saja sewaktu-waktu merenggut nyawa. Tidak ada pilihan lain untuk keluar dari jerat kemiskinan. Apa yang ada di depan mata itulah yang harus segera diambil, dan perut harus segera diisi.
Tragedi ini setidaknya harus membuka mata hati kita semua warga Indonesia, bahwa pentingnya membangun kesadaran akan kewajiban negara untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Indonesia memang berada pada posisi yang terjepit. Di satu sisi, Indonesia harus menggerakkan semangat bisnis bagi warganya karena mengingat Indonesia masuk dalam kawasan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dimana era ini warga asing bebas masuk dalam persaingan ekonomi. sehingga menjadikan Indonesia harus lebih giat mengembangkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Disisi lain, banyaknya bisnis bahkan banyaknya industri yang berdiri sedikitnya rentan terhadap pelanggaran HAM. Minimnya pemberian jaminan keselamatan dan perlindungan pekerja, tidak transparan, ketidaksesuaian tata ruang atau lokasi usaha, dan kurangnya mekanisme menghormati hak-hak pekerja menjadikan perlu adanya penganalisaan kelayakan berdirinya usaha bisnis.
Tragedi ini setidaknya menimbulkan sejuta pertanyaan. Mengapa sebuah pabrik mercon bisa diijinkan berdiri dipemukiman yang padat? Apabila sudah mendapat izin, termasuk izin apa yang dipegang dan siapa yang mengizinkan dan bagaimana proses perizinannya?
Lantas untuk pekerja, bagaimana dengan prosedur keselamatan dan perlindungan pekerjanya? Apakah ada pengawasan dari dinas terkait dan bagainana laporannya? Apakah perusahaan telah melakukan mekanisme keselamatan pekerjanya?
Tragedi Kosambi, seharusnya menjadikan kita untuk jeli kembali melihat fenomena yang terjadi. Persoalan buruh memang tidak pernah ada habisnya. Ini merupakan PR bagi negara sekaligus pemodal. Untuk lebih bisa menjadikan pelajaran kedepan sebelum mengambil keputusan. Persoalan buruh di negeri ini seharusnya bukan lagi menjadi perdebatan, tetapi kesesuaian implementasi. []
penyuka sastra, traveling, berkhayal, penggemar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).