“Perambahan sawit menjadi ancaman bagi hewan langka. Hingga saat ini, perambahan tersebut masih sering terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Dalam perkara ekspansi perkebunan sawit menunjukan bagaimana pendefinisian kedudukan hewan sebatas sumber daya.”
Pembukaan dan perambahan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit semakin marak terjadi di kawasan konservasi suaka margasatwa. Perambahan tersebut menyebabkan habitat hewan terganggu, hilangnya ruang kehidupan bagi hewan, dan ekspansi perkebunan sawit yang tak terkendali berpotensi memunculkan gangguan terhadap ihwal kehidupan hewan itu sendiri.
Persepsi tersebut tidak lain terjadi karena negara yang terkesan menganggap enteng dugaan keterlibatan perusahaann besar dalam ekspansi sawit dan kurangnya pengawasan yang berujung pada terancamnya peri kehidupan hewan.
Kasus terbaru tahun 2021 mengenai perambahan Sawit dapat dilihat dari pantauan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh. Tampak sejumlah titik lahan di kawasan Hutan Lindung Suaka Margasatwa Rawa Singkil, di Gampong Lhok Raya, Kecamatan Trumon Tengah, Aceh Selatan, dibuka kembali dengan cara dibakar.
Padahal, di kawasan tersebut telah didirikan plang larangan membuka lahan dan menebang pohon di wilayah konservasi yang dipasang di Balai Konsevasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.
Awalnya, kawasan ini yang memiliki luas kurang dari 81.000 hektar itu merupakan sebuah kawasan lindung. Namun, seiring berjalannya waktu kawasan tersebut secara masif terus dirambah dan beralih fungsi menjadi kebun sawit sawit.
Dikarenakan banyaknya perambahan yang terjadi di pulau Sumatera tersebut, menurut Analilis Bukitbarisan Sumatra Tiger Rangers (BSTR), menunjukan beberapa hutan di Sumatera Utara mengalami kerusakan, antara lain di hutan Labuhan Batu Utara, dan Padang Lawas Utara.
Alokasi Penggunaan Lain (APL) pada hutan lindung menjadi penyebab kerusakan hutan di lokasi tersebut. Seperti pada kawasan habitan harimau Sumatra terbesar di Labuhan Batu dan Labuhan Batu Utara, dengan pemegang HGU lebih 10 perusahaan.
Terpantau di hutan rusak ditemukan hewan langka yang dilindungi, seperti 12 harimau sumatera remaja. Ada juga burung kuwaw, kucing emas, dan tapir, yang berada di luar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Apabila kasus-kasus perambahan seperti yang terjadi di Sumatera Utara tersebut dibiarkan, tentunya akan memungkinkan muncul kasus-kasus serupa yang menganggap enteng perambahan. Sehingga, perlu untuk mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang melakukan perambahan hutan lindung yang berdampak pada ketidakseimbangan lingkungan.
Berubahnya fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, tentunya semakin menyulitkan kehidupan bagi hewan langka, sehingga banyak yang harus dikritisi mulai dari hukuman rendah hingga tak maksimalnya perlindungan hewan ini. Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990, terbukti lemah dalam memberikan perlindungan keragaman hayati di Indonesia.
Dampak Perambahan Sawit pada Hewan Langka
Negaraa yang terkesan gampangan dalam memberikan izin perkebunan kelapa sawit tampaknya justru tidak memberikan hak dasar yang harus dimiliki hewan, yakni hak untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Perambahan sawit pada habitat hewan langka menyebabkan hewan kehilangan tempat tinggal dan harus mencari makan di luar habitatnya. Akibatnya, mereka masuk ke ruang kehidupan manusia, jadi munculah gesekan pemenuhan human rights dan animal rights.
Dampak serius dari perambahan sawit, yaitu telah menghilangkan hak hewan untuk mendapatkan makanan langsung dari habitatnya. Perkebunan kelapa sawit menimbulkan ancaman bagi hewan langka, termasuk contohnya orangutan. Berada di kawasan lindung yang tentu saja lebih mudah untuk dikunjungi oleh primata tersebut.
Frekuensi konflik pun kian meningkat, data dari Pusat Perlindungan Orangutan menunjukkan setidaknya 1.500 orangutan mati di tahun 2006 akibat serangan yang disengaja oleh pekerja perkebunan dan hilangnya habitat. Hal ini terjadi karena batas antara kawasan konsesi dan kawasan konservasi seringkali hanya kanal atau sungai kecil yang mana orangutan sangat mudah melewatinya.
Upaya menyalahkan perilaku satwa tersebut sebenarnya dilakukan oleh pihak peternakan dan warga setempat, bahwa hewan liar yang merugikan layak dianggap sebagai hama. Rusaknya habitan seperti pada kasus orangutan menyebabkan citra negatif hewan mulai memenuhi haknya, mereka terpaksa masuk ke perkebunan kelapa sawit untuk mencari makan.
Konflik-konflik antara perkebunan sawit dengan orangutan tidak bisa mentah-mentah diterima. Kenyataannya, orangutan hanya singgah ke perkebunan sawit karena ada masalah di habitat aslinya.
Selain itu, hilangnya habitat bagi hewan langka juga berdampak pada tingkat rentan kepunahan yang tinggi. Selayaknya manusia yang membutuhkan tempat tinggal, tumbuhan dan hewan pun sama.
Tidak menutup kemungkinan hilangnya habitat akan membuat hewan terpaksa melakukan migrasi dan terusir dari tempat tinggalnya. Sebagian besar hewan tidak akan selamat dalam proses adaptasi sehingga mengalami kematian dini.
Perlu Ambisius
Ambisi manusia yang ingin memiliki namun tidak memperdulikan habitat asal populasi hewan langka dalam perambahan sawit, dapat mengancam kepunahan dari hewan langka. Kepunahan ini dapat dicegah dengan menetapkan perlindungan hukum terhadap perlindungan hewan langka.
Pencegahan ini dilakukan agar hewan langka tidak menjadi punah dan hanya menjadi cerita bagi anak cucu kita nantinya. Menjaga kelestarian alam bersama tentu dapat menghindari punahnya hewan langka dan menjaga ekosistem yang ada, serta mencegah kerusakan lingkungan disebabkan oleh perbuatan manusia ataupun alam itu sendiri.
Berbagai kegiatan seperti penyuluhan, perlindungan, dan patrol kawasan, sekiranya perlu dilakukan sebagai upanya penanggulangan adanya perambahan sawit yang berdampak pada ruang hidup hewan langka.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 48/Menhut- II/2008 Tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa, terjadi karena ancaman dan gangguan akan tidak seimbangnya ekosistem akibat kerusakan hutan dalam sejumlah interaksi negatif antara manusia dan hewan, baik langsung maupun tidak langsung.
Pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Pasal 1 Ayat 10, “kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.”
Selanjutnya, pada Pasal 19 Ayat 1 menerangkan bahwa perubahan terhadap keutuhan suaka alam meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli, bisa berujung pada pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Jadi, penting untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut guna menanggulangi terjadinya penghapusan hak pada hewan. Melalui pengawasan, sudah pasti masyarakat berperan penting dalam upaya mencegah perambahan sawit terjadi. Selain itu, hendaknya masyarakt juga ikut serta menjaga ekosistem dan mengurangi konflik antara hewan dengan manusia, sebagaimana hakikat baik makhluk Tuhan untuk hidup berdampingan.
Penulis: Imas
Editor: Ulum