Sekali kamu mem­bu­at kepu­tu­san, alam semes­ta bek­er­ja sama untuk mewu­jud­kan­nya.” ‑Ralph Wal­do Emer­son, Esais, Dosen sekali­gus Penyair Kebangsaan Amerika.

Alam adalah real­i­tas yang luas dan san­gat pent­ing bagi kehidu­pan manu­sia. Ia ter­cip­ta untuk khal­i­fah bumi. Seba­gai pemimpin yang memi­li­ki kesadaran akan keber­lang­sun­gan hidup yang lebih pan­jang ‑mungkin bisa dipredik­si demikian- maka manu­sia ditun­tut untuk men­ja­ga dan melestarikan alam dan lingkun­gan sekitar.

Pun, aga­ma tak hanya men­ga­jarkan hubun­gan intens kepa­da Tuhan saja (hablum minal­lah), melainkan hubun­gan ter­hadap sesama manu­sia (hablum minan­nas) dan sesama makhluk, lingkun­gan, alam sek­i­tar, bahkan hewan ser­ta tum­buhan. Kese­im­ban­gan antara alam dan manu­sia yang hidup di dalam­nya san­gat­lah dibu­tuhkan demi ter­cip­tanya alam yang mak­mur, tan­pa eksplotasi.

Secara umum, kajian ten­tang ekolo­gi dalam Islam diru­muskan den­gan isti­lah fiqih bi’ah, yakni cabang dari ilmu fik­ih yang memer­in­ci ten­tang lingkun­gan. Jika mengka­ji ten­tang aga­ma, maka kita tak dap­at lep­as dari hal yang bersi­fat spir­it (jiwa, suk­ma, atau ruhaniyah). Dalam hal ini, kami menarik spir­i­tu­al­i­tas aga­ma pada ranah ekologi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indone­sia (KBBI), spir­i­tu­al­i­tas meru­pakan sum­ber moti­vasi dan emosi pen­car­i­an per­os­nal indi­vidu ter­hadap hal yang bersi­fat transeden­tal (Tuhan). Sedan­gkan ekolo­gi diam­bil dari dari kata Yunani, yaitu oikos (rumah tang­ga) dan logos (ilmu). Ekolo­gi meru­pakan sebuah ilmu yang mengka­ji ten­tang hubun­gan tim­bal balik antara semua makhluk hidup den­gan habi­tat tem­pat tinggalnya.

Di zaman mod­ern, kehidu­pan manu­sia semakin cang­gih. Ter­wu­jud den­gan berkem­bangnya teknolo­gi dan infor­masi. Sejalan den­gan itu, seharus­nya manu­sia semakin paham dan menger­ti beta­pa pent­ingnya alam untuk kelang­sun­gan kehidu­pan di bumi. Namun, real­i­tas yang ter­ja­di jus­tru berband­ing terbalik.

Entah apa yang telah mer­a­cu­ni otak manu­sia yang ser­akah dan suka mengek­sploitasi alam, tem­pat tinggal­nya? Apakah hanya demi kese­nan­gan sesaat? Uang melimpah? Kongka­likong den­gan perusa­haan tam­bang, perusa­haan saw­it den­gan cara meng­gusur tanah hutan adat? Apakah ini yang dina­makan memanu­si­akan alam?

Jika manu­sia saja ingin dan butuh untuk diberikan belas kasih, maka alam pun juga. Kare­na ia adalah real­i­tas habi­tat yang kita tem­pati. Kita tak menyadari bah­wa makhluk di bumi ini bukan sebatas manu­sia saja, makhluk lain, seper­ti binatang dan tum­buhan juga memer­lukan kehidupan.

Semakin hari manu­sia sudah tidak manu­si­awi lagi. Adanya proyek peng­galian tam­bang, pem­ban­gu­nan pabrik semen yang akan diren­canakan di sek­i­tar Pegu­nun­gan Dieng, perke­bunan saw­it di sek­i­tar hutan adat di Kali­man­tan ser­ta kasus seru­pa lain­nya. Demikian ini telah jelas dan men­ja­di buk­ti bah­wa manu­sia memang tamak dan ser­akah. Bisa dibi­lang telah kehi­lan­gan nurani dan naluri kemanusiaan.

Jika teman-teman per­nah meli­hat beber­a­pa film doku­menter yang dis­u­tradarai oleh Dhand­hy Lak­sono, seper­ti Sexy Killers, Our Moth­er­lands, The Mahuzes, Kini­pan, ser­ta beber­a­pa film doku­menter lain­nya. Beber­a­pa film itu mem­berikan gam­baran akan keser­aka­han manusia.

Saya ambil satu con­toh dalam film Kini­pan. Pemer­in­tah yang notabene harus melin­dun­gi negaranya sendiri, jus­tru berusa­ha untuk merusak alam­nya demi keun­tun­gan indi­vidu. Mere­ka bek­er­jasama den­gan pihak pabrik saw­it untuk mem­per­lu­as dan mem­ban­gun perke­bunan saw­it di sek­i­tar hutan Adat Kalimantan.

Pada­hal, hutan men­ja­di salah satu sum­ber penyokong kehidu­pan flo­ra dan fau­na, kehidu­pan makhluk hidup. Keti­ka hutan rusak, maka sudah sewa­jarnya pemer­in­tah sadar untuk memulihkan­nya. Naas, pemer­in­tah tak mem­berikan man­dat dan amanat itu kepa­da masyarakat adat dan kop­erasi mis­al­nya, malah mem­berikan proyek terse­but kepa­da perusahaan.

Den­gan mem­berikan proyek terse­but kepa­da perusa­haan, maka pemer­in­tah bisa menarik pajak dan akhirnya dap­at mem­berikan keun­tun­gan balik kepa­da pemer­in­tah. Menden­gar hal ini, penulis berkes­im­pu­lan bah­wa alam yang ada ini akan semakin rusak. Dal­ih adanya restorasi maupun rekla­masi tak mem­berikan hasil yang memuaskan. Bukan­nya memulihkan keadaan alam seper­ti sem­u­la, mere­ka malah merusak hutan demi orang-orang yang berke­pentin­gan dan berkuasa di dalamnya.

Dalam Islam, kajian ten­tang alam dan manu­sia telah ter­can­tum dalam Al Quran. Allah telah men­cip­takan dan mem­ben­tangkan alam, gunung, buk­it, lan­git, dan sun­gai untuk keber­lang­sun­gan kehidu­pan di bumi. Mem­per­si­lahkan manu­sia untuk meman­faatkan­nya. Namun, bukan berar­ti manu­sia harus ser­akah hing­ga menim­bulkan kerusakan di mana-mana.

Jan­gan­lah kare­na dal­ih pem­ban­gu­nan ekono­mi dan infra­struk­tur negara akhirnya men­gatas­na­makan rekla­masi yang di-back­ing den­gan eksploitasi alam. Alhasil tetap merugikan semua orang di negara ini. Pada­hal, kita tahu bah­wa alam dan hutan memi­li­ki man­faat yang san­gat besar bagi kehidu­pan, seper­ti menye­di­akan air bersih, oksi­gen, habi­tat flo­ra dan fau­na, bahkan kehidu­pan manusia.

Ter­da­p­at salah satu pem­ba­hasan yang menarik, per­lun­ya saya bubuhkan dalam tulisan ini men­ge­nai penghidu­pan lahan yang mati (hya’ al mawat). Ter­da­p­at salah satu hadits riway­at Abu Dawut, Nasa’i, dan Tir­midzi, barang sia­pa menghidup­kan lahan mati (tidak bertu­an), maka tanah terse­but men­ja­di miliknya.”

Dari hadits terse­but, jika kita menaf­sirkan secara tek­stu­alis, maka lahan yang mati atau tidak bertu­an berhak men­ja­di milik sese­o­rang yang menghidup­kan­nya, yakni orang yang telah mer­awat dan men­go­lah­nya. Den­gan kata lain, masyarakat adat yang telah hidup lebih lama di kawasan hutan, meman­faatkan dan men­daya­gu­nakan segala sum­ber daya alam di dalam­nya untuk kehidu­pan sehari hari, seharus­nya diberikan kewe­nan­gan untuk men­go­lah dan men­da­p­at hak kepemilikan.

Dilan­sir dari laman Menteri Lingkun­gan Hidup dan Kehutanan (menlhk), hutan adat kini telah res­mi men­ja­di milik komu­ni­tas adat. Bahkan Kepala Unit Ker­ja Pres­i­den Bidang Pen­gawasan dan Pen­gen­dalian Pem­ban­gu­nan (UKP4), Kun­toro mene­gaskan bah­wa pihak yang berhak men­gelo­la hutan adalah mere­ka yang telah lama hidup bersama dan bera­da di sek­i­tar hutan, seper­ti masyarakat adat.

Mes­ki demikian, masih ter­da­p­at catatan hitam ten­tang peno­lakan ter­hadap kawasan hutan adat. Orang-orang adat ter­deskrim­i­nasi dan tere­duk­si. Sejum­lah 25 kasus krim­i­nal­isasi dilon­tarkan ter­hadap masyarakat adat den­gan dal­ih pelang­garan ter­hadap Undang-Undang Pence­ga­han dan Pem­ber­an­tasan Perusakan Hutan (UUP3H).

Pada­hal, bagi mere­ka hutan adat adalah segalanya, untuk menopang kehidu­pan masyarakat sehari-hari. Berangkat dari per­spek­tif film doku­menter di atas pun dap­at dis­im­pulkan jika masyarakat adat memi­li­ki suara minori­tas. Mere­ka dipak­sa untuk menan­datan­gani surat per­se­tu­juan pendiri­an perke­bunan saw­it di sek­i­tar kawasan hutan adat. Namun, mere­ka meno­lak kare­na den­gan adanya perke­bunan itu akan semakin merusak alam dan berdampak buruk bagi lingkungan.

Dalam ajaran Islam bahkan telah melarang untuk mem­berikan kemud­haratan dan kerusakan bagi diri sendiri dan orang lain. Usa­ha pemer­in­tah untuk meny­er­ahkan tanah adat kepa­da perusa­haan, proyek restorasi kepa­da perusa­haan besar, sudah jelas mem­berikan kerusakan bagi bangsa dan negara, ser­ta men­gun­tungkan pihak tertentu.

Dari kaidah itu diam­bil kon­klusi bah­wa segala sesu­atu yang memi­li­ki dampak buruk, baik bagi per­son­al, kelom­pok, komu­ni­tas dan bahkan selu­ruh war­ga hen­daknya dit­ing­galkan. Mis­alkan saja pendiri­an perke­bunan saw­it yang dipredik­si meng­hasilkan bahan minyak, hal ini memang mem­berikan masla­hat. Namun kita lihat pros­en­tase dan prediksinya den­gan keruskaan yang akan terjadi?

Alam akan semakin terek­sploitasi, hewan-hewan kehi­lan­gan tem­pat tinggal­nya, tiadanya sum­ber air bersih, tiadanya hutan tadah hujan, polusi udara di mana-mana ser­ta kehidu­pan manu­sia sek­i­tarnya terusik. Kira-kira pros­en­tase kemud­horotan dan keun­tun­gan­nya banyak mana?

Di sit­u­lah per­an pent­ing atas kesadaran diri men­ja­ga alam. Bolehlah sese­o­rang itu men­ja­di orang yang religius, berhubun­gan den­gan Tuhan (hablum minal­lah) den­gan berib­adah secara intens atau memi­li­ki relasi spir­i­tu­al den­gan dzat yang bersi­fat transeden­tal. Kendati demikian, kita harus men­ja­ga hubun­gan baik den­gan alam sek­i­tar. Salam konservasi!

Penulis: Ummi Ulfa­tus Syahriyah
Edi­tor: Ulum