Indone­sia meru­pakan negara yang besar. Negara yang memi­li­ki bangsa yang berasal dari enti­tas yang berbe­da. Ini­lah meru­pakan anu­grah yang men­jadikan Indone­sia memi­li­ki beragam suku, budaya, dan bahasa. Ker­aga­man yang dicip­takan men­jadikan pusat pemiki­ran untuk bagaimana men­gatur pola laku hidup untuk sal­ing berdampin­gan. Meny­atukan perbe­daan dalam perdamaian.

Seper­ti hal­nya yang ter­ja­di di Pulau Lom­bok, Nusa Teng­gara Barat (NTB) meru­pakan salah satu basis aga­ma Bud­ha di Indone­sia. Pulau ini didi­a­mi oleh suku Sasak yang meru­pakan suku asli yang sudah lama mene­tap sejak Ker­a­jaan Majapahit. Bahasa yang digu­nakan meng­gunkaan bahasa Sasak. Di pulau ini meny­im­pan ceri­ta ten­tang tol­er­an­si beraga­ma yang selalu dijun­jung ting­gi. Salah sat­un­ya Dusun Karang­gang, Desa Ben­tek, Pame­nang, Kabu­pat­en Lom­bok Utara (KLU).

Menu­rut Met­tawa­di selaku tokoh aga­ma Bud­ha menu­turkan bah­wa di dusun Karang­gang ini ter­diri dari tiga aga­ma yakni 45% Bud­ha, 45% Islam, dan 10% Hin­du. Ada Aga­ma Kris­ten namun kare­na pen­ganut­nya tidak mene­tap sehing­ga bisa dikatakan per­an­tauan, tidak ter­catat seba­gai aga­ma tetap di dusun itu. Ini­lah rillnya pors­en­tase pen­ganut aga­ma yang dianut oleh  masyarakat. Sehing­ga  Islam dan Bud­ha setara, sedan­gkan Hin­du men­dudu­ki per­ingkat ketiga.

Dalam tatanan kehidu­pan sehari-hari tol­er­an­si san­gat dijun­jung ting­gi oleh masyarakat­nya. Hal ini bisa dil­i­hat dari hubun­gan gotong roy­ong yang ter­ja­di antar war­ga. Seper­ti sese­o­rang yang beraga­ma mus­lim mem­bu­tuhkan tena­ga, aga­ma Bud­ha disi­ni bergo­tong-roy­ong mem­ban­tu begi­tu juga seba­liknya. Kita ketahui aga­ma-aga­ma yang ada memi­li­ki hari raya sendiri mis­al­nya aga­ma Islam ada hari raya Idul Fitri sedan­gkan aga­ma Bud­ha ada hari raya Waisak. Bila hari raya yang beda aga­ma sal­ing men­gun­jun­gi men­gu­cap­kan selamat.

Dalam hal perkaw­inan masyarakat meng­hor­mati mere­ka yang ingin menikah den­gan beda aga­ma. Mis­al­nya war­ga Bud­ha menikah den­gan war­ga Islam, war­ga Islam den­gan war­ga Bud­ha, begi­tu seba­liknya den­gan aga­ma Hin­du juga demikian diang­gap biasa. Prin­sip mere­ka menyoal keyak­i­nan adalah uru­san hak prib­a­di dan kita tidak berhak menganggunya.

Met­tawa­di juga men­erangkan bah­wa di desa Ben­tek ter­da­p­at 5 (lima) kam­pung yaitu kam­pung Kar­len­dang, kam­pung Karang Baru, kam­pung Bedugul, kam­pung Karang Brengkek, dan kam­pung Taman sari. Kam­pung Karang Baru sek­i­tar 96% aga­ma Bud­ha, Kar­len­dang sek­i­tar 98% aga­ma Bud­ha, dan Taman Sari 100% aga­ma Hin­du. Uniknya dari mas­ing-mas­ing kam­pung ini memi­li­ki aga­ma may­ori­tas tersendiri. Seper­ti yang dije­laskan sebelum­nya seti­ap daer­ah memi­li­ki may­ori­tas aga­ma mas­ing-mas­ing. Sehing­ga hal itu men­jadikan masyarakat desa Ben­tek berfikir bagaimana antar umat beraga­ma tetap sal­ing rukun dan sal­ing meng­hor­mati meskipun beda aga­ma. Oleh kare­na itu, ter­ben­tuk­lah Per­sat­u­an Masyarakat Lom­bok Utara.

Majelis ula­ma adat desa berfikir bagaimana masyarakat itu tidak melakukan uca­pan atau tata cara yang tidak berke­nan atau sifat­nya negatif. Sehing­ga ada inisi­atif untuk  mem­ben­tuk sebuah lem­ba­ga Majelis Kerama­han Desa (MKD) kemu­di­an berca­bang men­ja­di Majelis Kerama­han Dusun. Dimana lem­ba­ga ini berang­gotakan per­wak­i­lan dari mas­ing-mas­ing aga­ma. Tujuan­nya adalah seba­gai tem­pat per­wak­i­lan aga­ma menyam­paikan per­masala­han terkait aga­ma dan war­ganya jika ter­ja­di sesu­atu kon­flik untuk dicarikan solusi agar per­masala­han segera terselesaikan.

Seba­gai penun­jang masyarakat antar aga­ma dap­at sal­ing berko­mu­nikasi dan berdia­log den­gan war­ga dis­e­leng­garakan pula dia­log lin­tas aga­ma. Dimana dia­log lin­tas aga­ma ini dia­gen­dakan seti­ap satu tahun sekali. Menariknya dana yang digu­nakan untuk acara dia­log lin­tas aga­ma ini berasal dari anggaran dana desa. Dari situ dap­at kita ambil pela­jaran bah­wa masyarakat dan pemer­in­tah sendiri san­gat peduli dan men­jun­jung ting­gi arti pent­ingnya toleransi.

Awal adanya dia­log lin­tas aga­ma ini yakni mengumpulkan tokoh-tokoh aga­ma, mis­al­nya kalau di Bud­ha ada Romo kalau di aga­ma Islam ada Ustadz. Dilakukan­lah sosial­isasi den­gan tokoh aga­ma itu untuk mengutarakan hal-hal yang sifat­nya negatif dan posi­tif dalam aga­manya secara terangkum. Negatif dan posi­tif disi­ni dalam art­ian apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan agar mere­ka yang beda aga­ma bisa mengiku­ti atu­ran yang ada. Tujuan­nya sal­ing meng­hor­mati dan meng­har­gai bah­wa seti­ap aga­ma memi­li­ki budaya dan adat yang harus dipatuhi. Ini adalah kun­ci keti­ka sese­o­rang ingin tahu ten­tang bagaimana aga­ma tersebut.

Imple­men­tasi wujud­nya MKD ini mis­al­nya banyak tem­pat-tem­pat sakral dimana di sana ter­gabung yang dina­makan makam Bebekik. Sebuah area pemaka­man yang digu­nakan oleh tiga aga­ma yakni Islam, Bud­ha, dan Hin­du. Sehing­ga mas­ing-mas­ing diberikan ten­garai mana Hin­du mana Bud­ha dan mana Islam dalam satu lokasi itu. Selain itu juga ada tem­pat sakral umat Bud­ha, sehing­ga jika ada yang ingin ke sana per­lu sebelum­nya diber­i­tahu dahu­lu cara berpaka­ian dan tutur kata. Tujuan­nya ialah untuk sal­ing meng­hor­mati dan menghin­dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Keti­ka masuk tem­pat ibadah aga­ma lain harus men­ge­nakan paka­ian adat ini dise­but awik-awik atau atu­ran.  Keharu­san ini­lah dise­but Pemali atau sesu­atu yang tidak boleh dilang­gar. Kalau dilang­gar kon­sekuensinya kadang bisa men­da­p­atkan kebu­rukan ditem­pat ibadah terse­but. Per­caya tidak per­caya masyarakat mem­per­cayainya, mis­al­nya men­gala­mi pus­ing kemu­di­an pingsan, artinya ada keku­atan lain di samp­ing kita. Sehing­ga mau tidak mau harus mengiku­ti atu­ran itu salah satu kuncinya. Kare­na banyak yang tidak menu­rut sehing­ga salah satu pemicu suatu daer­ah men­ja­di kacau. Kalau itu bisa kita ter­ap­kan di daer­ah mas­ing-mas­ing kedama­ian, aman, dan nya­man sal­ing meng­har­gai dan meng­hor­mati akan tercipta.

Katakan­lah di dalam Islam ter­da­p­at Majlis Akbar dimana kegiatan ini diman­faatkan untuk berdak­wah sekali­gus meny­isip­kan bagaimana men­ja­ga keruku­nan umat beraga­ma. Sehing­ga di sini mas­ing-mas­ing aga­ma mem­bu­at cara sendiri untuk dap­at menyam­paikan ten­tang meng­hor­mati aga­ma orang lain. Sehing­ga imple­men­tasi untuk mence­gah kon­flik dap­at tere­al­isas­ikan. Hal ini bertu­juan supaya kon­flik tidak terjadi.

Sikap tol­er­an­si yang dijun­jung ting­gi telah ter­tanam sejak ker­a­jaan Majapahit. Ibarat sebuah taman, taman itu indah jika ditana­mi beragam bun­ga. Seper­ti melati, mawar, anggrek, dan mata­hari. Bayangkan jika di taman itu hanya satu bun­ga saja, yang ada sikap kee­go­isan kare­na seo­lah-olah bun­ga itu pal­ing indah. Sama hal­nya den­gan aga­ma. Jika di dalam sebuah desa ter­da­p­at berba­gai macam aga­ma. Seper­ti Islam, Hin­du, Bud­ha, Kris­ten, dan Konghu­cu. San­gat indah hidup ini bisa sal­ing men­ge­nal, sal­ing menger­ti aga­ma mas­ing-mas­ing, cara ibadah­nya, mer­ayakan hari rayanya, dan budayanya. Bayangkan jika hanya satu aga­ma saja, sifat kee­go­isan merasa aga­manya pal­ing mulia dan ting­gi muncul­lah sifat intol­er­an dimana dampaknya tidak hanya merugikan diri sendiri bahkan sanak saudara kita.

Diberba­gai media cetak maupun online, kasus kek­erasan ter­hadap tokoh aga­ma dan perusakan rumah ibadah, seo­lah-olah tia­da habis­nya. Keti­ka dis­e­lidi­ki oleh pene­gak hukum alasan uta­manya adalah aga­ma. Fak­tor aga­ma tak jarang pula menim­bulkan kon­flik yang tak berkesudahana.

Berbe­da keyak­i­nan bukan­lah suatu per­masala­han yang harus dis­e­le­saikan den­gan jalan kek­erasan. Masyarakat Ben­tek mem­buk­tikan den­gan ter­ben­tuknya lem­ba­ga ini men­ja­di wadah para aga­ma untuk bisa menyam­paikan terkait aga­manya. Merangkum terkait aga­ma mas­ing-mas­ing supaya dap­at dis­am­paikan kepa­da masyarakat.

Hal terse­but sejalan den­gan pemiki­ran fil­safat Mepo­long Mer­enten. Ini meru­pakan dasar pemiki­ran yang digu­nakan masyarakat Ben­tek yang telah ditu­runk­an oleh nenek moyang. Tujuan­nya adalah untuk sal­ing meny­atukan. Mepo­long Mer­enten artinya sama-sama saudara.  Secara isti­lah Mepo­long Mer­enten yakni mem­per­satukan. Sehing­ga meny­atukan rasa emo­sion­al kita men­ja­di satu untuk mem­perku­at tol­er­an­si atau gotong roy­ong. Dasar pemiki­ran nenek moyang suku Sasak.

Teguh­nya memegang adat beriringan den­gan men­jalankan ibadah aga­ma seba­gai gam­baran bah­wa ­awik-awik bukan hanya atu­ran biasa melainkan sebuah atu­ran yang memi­li­ki sanksi sosial. Sanksi inil­lah yang selalu dipegang untuk men­ja­ga kehor­matan desa, aga­ma, dan war­ganya. Jika ada per­masala­han mere­ka tidak lang­sung mem­bawanya ke polisi melainkan dis­e­le­saikan secara adat. Dap­at dikatakan sanksi sosial lebih kuat dari pada sanksi hukum.

Selayaknya sikap tol­er­an­si tetap harus dijun­jung ting­gi. Keharu­san menanamkan dalam diri kita bah­wa pada dasarnya manu­sia dicip­takan berbe­da-beda. Kare­na perbe­daan itu­lah men­jadikan kita untuk bersatu dan sal­ing meng­hor­mati. Beta­pa indah­nya jika hidup kita sal­ing men­ja­ga, meng­hor­mati dan hidup rukun. Yang pasti keka­cauan aki­bat per­sil­i­han aga­ma tidak akan per­nah terjadi.

Ania

penyu­ka sas­tra, trav­el­ing, berkhay­al, pengge­mar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).