Puisi bukan­lah sekadar tulisan remeh tan­pa magis dan perasaan. Yang begi­tu spon­tan dalam mem­ba­cakan bait-bait puisi den­gan rasa ego­is dan emosi. Namun, puisi meru­pakan sebuah apre­si­asi dalam men­uangkan semua apa yang dirasakan sese­o­rang dalam peri­s­ti­wa yang telah ter­ja­di oleh sang penyair. Puisi juga meru­pakan ben­tuk sas­tra yang bahasanya terikat dalam sebuah ira­ma, mantra, nada, yang dibu­at dalam kata-kata dan men­jadikan bait demi bait dalam penulisan puisi.

Bertepatan den­gan hari Puisi Sedunia 21 Maret. Lem­ba­ga Pers Maha­siswa (LPM) DIMeN­SI IAIN Tulung­gaung mer­ayakan dan meme­ri­ahkan hari terse­but. Pada tahun 1999 UNESCO mene­tap­kan 21 marc men­ja­di hari Puisi Sedunia.

LPM DIMeN­SI menyi­ap­kan sebuah acara kecil-kecilan untuk menyam­but kelahi­ran Puisi Sedunia, walaupun ada kendala kecil yang ter­ja­di dalam per­ayaan ini. Sebut saja dia sat­pam yang datang mene­gur kami saat musikalisasi puisi berlang­sung. Keja­di­an kecil tidak mematahkan seman­gat dan antu­sias teman-teman untuk meme­ri­ahkan malam den­gan alu­nan puisi yang sakti.

Kami meng­hor­mati para penyair-penyair ter­dahu­lu. Lihat­lah sas­trawan dahu­lu banyak dihi­lang entah kem­ana, kar­na mere­ka mem­per­juangkan kead­i­lan dan kebe­basan den­gan sajak-sajaknya. Maha­siswa IAIN Tulung­gaung teruta­ma kelu­ar­ga DIMeN­SI mer­ayakan hari itu den­gan mem­ba­cakan puisi-puisi oleh tiap crew dan alum­ni. Bait-bait puisi mere­ka lan­tunkan den­gan sajak yang begi­tu indah, den­gan diirin­gi ira­ma akustik menyem­pur­nakan para pem­ba­ca untuk melengkapi isi hati apa yang mere­ka tuangkan dalam bait-bait puisi.

Bait puisi yang dilan­tunkan memi­li­ki alur ceri­ta yang telah dit­ulis den­gan sem­pur­na. Seti­ap bait mere­ka susun den­gan bahasa yang telah ter­ta­ta rapi agar mem­per­ta­jam sang pem­ba­ca dan memu­dahkan untuk menyen­tuh hati para penikmat sajak-sajak puisi. Penataan bahasa dalam mem­bu­at puisi dip­il­ih den­gan cer­mat dan sek­sama, kar­na, seti­ap bait puisi memi­li­ki majas dan arti yang ter­sir­at di dalamnya.

Mere­ka melan­tukan bait-bait puisi penuh den­gan perasaan yang men­dalam. Mere­ka menyadari bah­wasan­nya puisi meru­pakan sebuah dialek­ti­ka dalam ben­tuk tidak lang­sung. Dari dulu puisi adalah sebuah tra­disi yang masih dirawat hing­ga saat ini. Puisi meru­pakan tra­disi lisan yang bersi­fat komu­ni­ti di mana pem­ba­ca dan penikmat puisi sal­ing berdialek­ti­ka dalam menghidup­kan bahasa, bah­wasan­nya puisi juga men­ja­di sebuah rumah bagi mere­ka untuk bert­e­duh. Di dalam sebuah ambigu untuk men­gapre­si­asikan isi hati.

Puisi bisa saja men­ja­di hal mengkri­tik dan puisi juga bisa men­ja­di hal yang menarik, ter­gan­tung suasana dan sebuah keja­di­an yang telah ter­ja­di. Penyair tidak akan per­nah diatas puisi, penyair bertu­gas untuk menghidup­kan sebuah bahasa yang dis­usun sem­pur­na untuk menghidupi semua orang yang menikmati.

Pada hari ini bukan pakem yang mut­lak untuk mer­ayakan dan menikmati puisi. Sebab semua hari lain­nya meru­pakan kebe­basan jiwa untuk puisi. LPM DIMeN­SI selain bergiat dalam kejur­nal­is­tikan dan lit­erasi, namun tidak absen untuk menikmati hal-hal sas­trawi. Semua bisa dinikmati, dirasakan, juga dise­barkan untuk kete­nan­gan dan kegi­ran­gan batin. []