Judul Film : 22 Menit
Jenis Film : Aksi, Drama
Sutradara : Eugene Panji dan Myrna Paramita
Produser : Buttonijo Films
Pemain : Ario Bayu, Ade Firman Hakim, Enche Bagus, Fanny Fadillah, Hana Malaska, Taskya Namya, dkk.
Durasi Film : 71 menit
Tanggal Rilis : 19 Juli 2018
Film yang disutradarai Eugene Panji dan Myrna Paramita ini mengisahkan detik-detik menjelang terjadinya ledakan bom yang pada akhirnya mampu mengubah kehidupan banyak orang untuk selamanya.
Jakarta, sebuah kota yang tak asing lagi bagi telinga. Wilayah metropolitan dengan kepadatan penduduk beserta aktivitasnya yang tidak pernah tidur. Jalanan yang tak pernah lekang oleh lalu lalang kendaraan dan aliran manusia di setiap sisinya. Bangunannya baik yang menjulang maupun menjunam tak pernah dibiarkan hampa. Hingga suatu ketika, di awal tahun 2016 terjadi goncangan besar. Lebih tepatnya tanggal 14 Januari 2016 pukul 10.40 WIB, serenteng ledakan mengguncang persimpangan Sarinah, Jakarta Pusat. Ledakan itu diiringi kontak senjata antara pelaku dengan petugas kepolisian.
Diawali pagi hari yang ramah di ibu kota, di mana setiap individu memulai aktivitasnya dengan semangat. Seperti biasa Ardi yang merupakan anggota polisi unit antiterorisme mengantarkan putrinya ke sekolah sebelum berangkat bertugas. Risiko pekerjaan yang tinggi kadang membuat Ardi merasa bersalah terhadap keluarganya. Namun ia tak dapat mengelak dari tanggung jawabnya terhadap negara.
Kemudian, sosok Shinta digambarkan sebagai wanita karier yang mengedepankan pekerjaannya. Shinta berencana menunda pernikahannya dengan Firman karena kenaikan jabatan. Firman yang merupakan anggota polisi lalu lintas merasa kecewa dengan keputusan Shinta. Sudah beberapa hari tidak ada komunikasi di antara keduanya. Pada hari kejadian, mereka menjalankan aktivitas di tempat kerja masing-masing.
Sudut pandang lain mengisahkan seorang pengangguran bernama Hasan yang pergi ke Jakarta guna menemui Anas, adiknya. Anas merupakan office boy di salah satu kantor sekitar Jalan Thamrin. Ia berencana mengenalkan Hasan dengan seorang teman yang mungkin bisa mengubah nasib kakaknya tersebut. Sekitar setengah jam sebelum kejadian Anas sedang mencari makan siang di jam istirahatnya sembari menunggu Hasan tiba.
Sementara, di sebuah kedai kopi terdapat pelanggan yang bernama Mitha. Mitha sedang menunggu Dessy (temannya) untuk melakukan presentasi. Selain Mitha, dalam kedai tersebut juga terdapat seorang warga negara asing, ibu dan anaknya, serta beberapa pelanggan lain. Dessy yang saat itu melewati Jalan Thamrin justru terkena tilang karena melanggar beberapa peraturan lalu lintas. Meski telah melanggar, Dessy dengan cerewet membantah dan tidak terima jika dirinya harus kena tilang. Firman yang pada waktu itu sedang bertugas merasa jengkel menghadapi Dessy yang cerewet. Hingga akhirnya ia membawa Dessy ke pos polisi terdekat agar ditilang langsung oleh atasannya.
Semua kegiatan di pusat kota berjalan baik-baik saja. Hingga sekitar pukul 10.40 WIB terjadi suatu ledakan di parkiran dekat kedai kopi. Ledakan ini spontan mengejutkan masyarakat sekitar. Jelang beberapa detik kemudian ledakan susulan terjadi di pos polisi yang berada tak jauh dari ledakan pertama. Tak cukup oleh dua ledakan di kedua tempat tersebut. Ledakan ketiga terjadi di dalam kedai kopi.
Warga berhamburan di sekitar tiga lokasi tersebut. Firman dan beberapa anggota kepolisian yang sedang bertugas segera menuju lokasi guna mengamankannya. Namun sayang, di atas sebuah gedung telah bersiap dua orang penembak jitu yang mengincar anggota kepolisian. Mereka mulai melancarkan serangan pada kerumunan massa. Pada saat yang bersamaan dua orang pelaku lain menuju kerumunan dan menembakkan peluru pada salah seorang anggota polisi. Peluru tersebut tepat mengenai sasaran. Nahasnya lagi, Anas yang sedang melewati kerumunan juga terkena peluru tepat di kepalanya.
Ardi yang hendak bertugas menangani kasus perampokan langsung berhenti ketika melewati jalanan tersebut. Secepatnya ia mengirim laporan kepada atasan. Tanpa menunggu pasukan datang, dengan berani Ardi mengejar pelaku yang masih berada di sekitar parkiran. Kontak senjatapun terjadi antara kedua belah pihak.
Jajaran Polri yang sedang melaksanakan rapat di markas tanpa basa-basi langsung menghentikannya dan bergegas menuju tempat kejadian. Pihak kepolisian mampu melumpuhkan 4 teroris yang bersembunyi di gedung hanya dalam waktu 22 menit. Sebab itulah film ini berjudul 22 menit. Digambarkan dalam film pengeboman dan kontak senjata ini menelan 7 korban jiwa. Meliputi 1 anggota kepolisian, 1 warga negara asing, 1 warga sipil, serta 4 orang pelaku.
Pilihan alur maju mundur dalam film mampu menjelaskan secara detail runtutan peristiwa yang terjadi dari berbagai sudut pandang. Adegan ketika ledakan dan baku tembak terasa begitu nyata adanya. Kobaran api pasca pengeboman tampak seperti peristiwa Thamrin yang sesungguhnya. Seolah-olah penonton dibawa ke dalam suasana mengerikan tersebut. Korban yang berlumuran darah dan benda-benda berserakan semakin menambah kesan keasliannya.
Dalam menit-menit terakhir, dinarasikan perubahan hidup beberapa tokoh pasca peristiwa terjadi. Salah satunya tokoh Hasan yang kehilangan adiknya (Anas). Niat ingin mengikuti jejak adiknya yang telah bekerja, justru naas nasib buruk menimpa mereka. Anas yang merupakan tulang punggung keluarga telah pergi untuk selamanya.
Film ini didedikasikan kepada masyarakat agar memerangi terorisme. Teroris tidak hanya membunuh targetnya saja, namun juga pada masyarakat awam yang tak berdosa kepada mereka. Berbagai pihak secara tegas mengecam aksi terorisme. Sebab terorisme tidak dibenarkan dari berbagai sisi kehidupan. Selain melanggar HAM, sudah pasti jika mengatasnamakan agama, tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, apalagi sampai pembunuhan. Semua ajaran agama mengajarkan cinta damai kepada seluruh umat manusia.
Secara garis besar 22 menit menunjukkan upaya kepolisan melawan teroris, bahkan mereka rela mengorbankan nyawa mereka sendiri. Harapan besar turut serta dilekatkan dalam film ini agar masyarakat tidak takut dengan berbagai ancaman teror yang sering melanda tanah air. Teroris bukan untuk ditakuti, sebab jika kita takut mereka akan makin senagn. Kita perlu mengambil sikap sesuai dengan slogan penutup film ini “Kami Tidak Takut”. []