Judul : Siti
Sutradara : Eddie Cahyono
Produksi : Four Colours Film
Tahun : 2014
Durasi : 88 menit
Resensor : Nur Fitriyani
Secuil fenomena kehidupan perempuan dalam belenggu diskriminasi. Diskriminasi ialah pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu. Pelayanan yang dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu. Persoalan diskriminasi cenderung mengkriminalisasi perempuan dalam ranah peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Indonesia sudah memiliki komitmen untuk mengangkat isu hak perempuan dalam beberapa peraturannya seperti Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun, dalam implementasinya dinilai belum sesuai dengan semangat kesetaraan gender dan persamaan hak karena dalam beberapa kasus kekerasan seksual ataupun rumah tangga, justru perempuan dianggap sebagai pihak yang bersalah.
Segelintir peraturan hukum di Indonesia yang melegitimasi tindakan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Peraturan tersebut dapat kita lihat dalam pasal 4 Peratuan daerah (Perda) menyatakan bahwa setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di daerah.
Pasal yang sangat membahayakan posisi perempuan, karena harus diakui persoalan prostitusi akan selalu dilekatkan terhadap kaum perempuan. Ketimpangan antara moral dan realitas, antara memilih takdir atau berkehendak bebas. Permasalahan ekonomi seakan tiada hentinya mencekik perempuan terjun dalam jurang prostitusi. Jurang yang membuat Siti tiada pilihan untuk berhenti.
Siti adalah perempuan 24 tahun yang hidup bersama ibu mertua (Darmi), anak (Bagas) dan suami (Bagus). Keluarga yang hidup miskin di pinggiran pantai Parangtritis. Film ini bercerita tentang Siti yang gundah gulana dikelilingi kemiskinan, jeratan hutang dan suami yang lumpuh layu. Dilema antara ikhlas menerima takdir atau keluar melakukan sekehendak hati.
Siti digambarkan sebagai perempuan sejati selayaknya perempuan Jawa. Perempuan yang seharusnya bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan setia. Ia diharapkan dapat menerima segala sesuatu bahkan yang terpahit sekalipun.
Film ini mengambil gambar dengan teknik hitam putih. Teknik semacam ini sudah jamak di dunia sinema, namun jarang digunakan sineas lokal. Saya tidak tahu apa motivasi utama sang Sutradara menggunakan teknik tersebut. Konsekuensinya, penonton akan lebih terfokus pada gerak dan mimik para pemeran. Untungnya seksi perwatakan tampil mumpuni. Akting setiap pemeran tidak terlihat terlalu dibuat-buat. Baik dari gestur, aksen (Jawa-Jogja), maupun ekspresi terlihat dan terdengar renyah, bahkan seringkali menyelipkan unsur komedi yang memancing gelak tawa.
Film ini full menggunakan bahasa Jawa yang kental. Bahasa yang sangat jarang digunakan dunia perfilman. Siti sepertinya tidak dibuat untuk menggurui. Tidak ada adegan meraung-raung dan histeris. Tidak ada adegan berdoa sambil berlinang air mata meminta perubahan nasib. Pesan dan moral dari film yang 95% dialognya menggunakan bahasa Jawa ini tidak ditampilkan secara eksplisit. Pergumulan Siti pada akhirnya adalah pergumulan yang personal dan sunyi, khususnya ketika dia mulai membandingkan suaminya yang disfungsi dengan sosok polisi gagah dan berkumis bernama Gatot.
Diluar hal-hal di atas, Siti tetap dibungkus dengan kemasan audio-visual yang layak tonton. Untuk tata suara, sudah cukup pas dan tidak bocor. Untuk sinematografi, teknik hitam-putih tidak menjadi penghalang untuk menciptakan komposisi gambar yang artistik. Saya senang pada adegan transisi yang mengambil lansekap laut, ombak, pantai, dan matahari terbenam di horizon. Pemilihan alat gesek tradisional rebab sebagai instrumen utama cukup efektif menciptakan kesan getir, mistis, dan menyayat.
Siti sekali lagi adalah sajian sinematik yang efektif dan minimalis berbalut unsur lokalitas yang bukan sekedar tempelan. Karya yang wajar namun tetap berpuitik. Kesederhana-wajaran inilah yang membuat pesan dan tujuan film ini tersampaikan. Eddie Cahyono tidak menggiring penonton ke sebuah ujung, melainkan menuju pantai yang luas bebas tanpa batas. Siti pada akhirnya adalah tentang Siti yang mempertahankan hidup.
Film ini menggambarkan perempuan Jawa sebagaimana kehidupan dengan sistem patriarkis. Menurut Indrawati (2002), masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Perempuan Jawa diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang selalu tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam sistem kekuasaan Keraton.
Istilah wanita itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti wani ditata (berani ditata). Pengertian ini telah mencirikan adanya tuntutan kepasifan pada perempuan Jawa. Minimnya pendidikan tinggi (bukan berarti bodoh, tidak bisa membaca) menjadi pemicu kesengsaraan ditengah perjalan hidup yang tersandung masalah.
Namun dalam film ini sosok Siti digambarkan mampu mengarungi keterbatasannya dengan tetap bertahan. Meskipun pada akhirnya Siti memilih jalan lain untuk melepaskan belenggu keadaan yang menyayat. Memilih pilihan yang sebenarnya tidak patut dipilih. Siti menggambarkan sosok yang teguh dan kuat meskipun sudah rapuh. Film ini mengutarakan kebenaran dalam warna yang sesungguhnya. Kita sebagai penonton akan paham bagaimana terjepitnya menjadi perempuan yang mula-mula terbelenggu budaya dan keadaan. []
penyuka sastra, traveling, berkhayal, penggemar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).