“Zeea aku datang,” sapa Asya dari kejauhan sambil membawa ransel berisi baju.
“Lama banget sih Sya, eh ngomong-ngomong kamu udah siap belum?” ucap Zeea yang duduk di balkon kelas yang sedang memainkan rambut lurusnya yang tergerai.
“Taraaa.. aku udah siapin semuanya di sini,” jawab Asya sambil menunjukkan ranselnya. Mereka sudah berencana akan pergi ke Solo untuk berlibur satu pekan kedepan.
Drttt Drttt..
Getar handphone seketika menghentikan langkah Asya dan Zeea.
“Perhatian! Sekedar mengingatkan kepada Asya Equila dan Fauzeea Meikalina untuk mewakili lomba antar angkatan pada 20 Desember (Bulan depan). No protes dan jangan lupa untuk mempersiapkan diri! Terimakasih.“
Pesan grup dari Pak Yanto guru Seni di sekolah SMA Pelita Bangsa, membuat mereka tertegun ketika membaca pesan tersebut. Mau tidak mau mereka harus mempersiapkan diri agar tidak mengecewakan sekolah. Namun, mereka tetap saja melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Balapan yang berada di Kota Solo. Selama perjalanan Asya memutar otak mencari ide untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Pak Yanto.
“Kenapa Sya?“ tanya Zeea yang dari tadi memperhatikan Asya melamun.
“Eh iya Zee, aku bingung dengan tugas Pak Yanto. Sepertinya aku tidak bisa,” jawab Asya.
“Udah tenang aja kita cari solusinya,“ tukas Zeea.
Satu hal yang terngiang dibenak Asya, hampir seluruh kebudayaan di Indonesia punah digerus oleh perkembangan zaman dan digitalisasi yang dipengaruhi oleh budaya barat. Harus kemanakah ia akan mencari tempat berlatih untuk mempelajari tarian tradisional.
Tepat pukul 7 malam akhirnya mereka sampai di Stasiun Balapan solo. Di kursi panjang Paman Zeea nampak menunggu mereka dari tadi, tanpa basa-basi merekapun pulang kerumah paman Zeea. Rencananya mereka akan menginap beberapa hari di sana.
*****
Pada keesokan harinya Zeea mengajak Asya berkeliling ke daerah setempat menggunakan motor Beat hitam kesayangan Pamannya. Desa Asri merupakan desa yang sampai saat ini masih terjaga kelestarian alamnya. Sawah hijau yang membentang luas bak samudera. Pepohonan indah nan kokoh tertancap disepanjang jalan. Udara sejuk dan embun pagi yang singgah di atas dedaunan menambah keelokannya. Sesampainya di lapangan samping keraton, Asya takjub melihat sekumpulan orang yang sedang berlatih mempersiapkan sebuah acara. Ketika ia melihat seseorang yang cukup familiar sedang berlatih menari di keraton tersebut, satu ide tiba-tiba muncul di benak Zeea.
“Acara apa ini Zee?” tanya Asya penasaran karena baru pertama kali ia melihat acara seperti ini.
“Iya Sya, jadi ini adalah salah satu acara ritual yang masih dijaga oleh masyarakat daerah Solo, yaitu tarian Bedhaya Ketawang setau aku sih gitu,” jawab Zeea sambil turun dari motornya.
Lalu mereka berjalan menuju keraton, sesekali mata mereka melirik sudut-sudut Keraton Hadisari dan tiang penyangga yang masih berdiri kokoh. Walaupun sudah beberapa kali direnovasi tidak sedikitpun merubah tatanan atau bentuk semula dari keraton tersebut. Keunikan ukiran di atas atap mempunyai simbol tertentu, sedang warna keraton senada dengan warna langit yaitu biru muda.
merekapun menemui seseorang yang tadi menarik perhatian dengan tariannya yang lincah. Mbak Meta, merupakan seseorang yang Zeea kenal sejak kecil. Ia merupakan seseorang yang ahli dibidang tari.
“Halo mbak kebetulan sekali kita lagi ada tugas dari sekolahan, diminta mewakili kelas kita dalam lomba tarian tradisional. Kira-kira Mbak Meta mau bantu kita buat latihan nggak?” tukas Zeea yang sebelumnya sudah mendapatkan ide untuk menyelesaikan PR dari Pak Yanto
“Oh boleh sekali. Tapi sebelum kalian belajar gerakannya, kalian harus mengetahui asal-usul tarian ini terlebih dahulu ya,“ jawab Mbak Meta.
Tanpa basa-basi Mbak Meta menjelaskan sejarah tarian ini. Singkatnya, sejarah tarian Bedhaya Ketawang merupakan kisah tentang percintaan Panembahan Senopati kepada Ratu Kencana Hadisari atau kerap di panggil Ratu Pantai selatan. Tarian ini hanya dimainkan sekali dalam setahun, yaitu ketika hari peringatan kenaikan takhta sang Raja. Tarian ini mempunyai keunikan atau ciri khas yaitu hanya dimainkan oleh 9 orang, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Karena angka sembilan merupakan lambang sembilan lubang pada diri manusia. Para penari didandani dengan pakaian seperti halnya pengantin.
Setelah mendapatkan penjelasan singkat mengenai sejarah tarian Bedhaya Ketawang, mereka pun sangat antusias untuk mempelajari gerakan demi gerakan tarian tersebut. Hari itu juga mereka mempelajari gerakan dasar dari tarian Bedhaya Ketawang.
“Auuuuu,“ tukas Asya sembari memegang kakinya. Dengan panik mereka mendekati Asya yang tengah kesakitan. Zeea membawa Asya ke klinik dekat lokasi, dan ternyata kakinya terkilir. Terpaksa Asya tidak ikut berlatih selama beberapa hari. Itu adalah masalah besar, pasalnya waktu mereka terbatas untuk mempelajari gerakan demi gerakan yang akan ditampilkan ketika perlombaan nanti.
Akan tetapi, mereka tidak pernah patah semangat untuk menunjukkan yang terbaik. Sampai pada akhirnya mereka berhasil untuk menguasai beberapa gerakan dari tarian tersebut. Walaupun belum semua gerakan berhasil mereka kuasai, tetapi dirasa itu sudah lebih dari cukup untuk menampilkan tarian daerah di depan para dewan juri.
“Mbak trima kasih ya udah mau ngajarin kita, kita pamit untuk kembali ke Bekasi, doanya ya mbak semoga kita diberi yang terbaik dalam perlombaan nanti. Sampai ketemu lagi mbak, “ ucap Zeea sembari berlalu meninggalkan keraton tersebut bersama Asya. Hari itu merupakan hari terakhir mereka belajar tari dengan Mbak Meta, dan mereka akan kembali ke Bekasi.
Penulis: Nur Alfiani Wahdah
Editor: Nurul