Mentari senja merangkak perlahan di ufuk barat, seolah enggan meninggalkan langit yang berwarna jingga kemerahan. Sinar terakhirnya menyapa wajah keriput Sukardi, yang berdiri di tepi sawah sambil memandang cakrawala. Sawah itu, yang dahulu menjadi saksi bisu pertempuran sengit, kini hanya menyimpan kenangan yang kian memudar bersama waktu. Matanya yang dulu bersinar penuh semangat juang, kini tampak redup, seperti api yang hampir padam.
Sukardi, seorang lelaki tua yang pernah menjadi bagian dari sejarah besar bangsa ini, merasakan beban usianya yang kian menua. Tubuhnya tidak lagi tegap, langkahnya kini tertatih-tatih, membawa beban kenangan yang berat. Dulu, ia berlari membawa panji-panji kemenangan, kini ia berjalan sendirian, menatap masa lalu dengan penuh kepedihan.
“Apa yang telah terjadi dengan bangsa ini?” gumamnya dalam hati. “Apa arti dari semua perjuangan itu, jika akhirnya hanya menyisakan kesedihan dan kehampaan?” Pikiran-pikiran itu terus mengganggu Sukardi, seolah tidak memberinya ruang untuk bernapas. Ia merasa seolah terjebak dalam lingkaran waktu, di mana masa lalu dan masa kini saling bertubrukan, menciptakan rasa sakit yang tidak kunjung reda.
Ketika angin sore berembus, Sukardi teringat saat-saat di mana ia dan teman-temannya berjuang merebut kemerdekaan. Peluru-peluru yang menghujani tubuh mereka, suara letusan senjata yang memekakkan telinga, serta bau mesiu yang memenuhi udara—semuanya terasa begitu nyata dalam ingatannya. Saat itu, mereka tidak memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan, hanya ada satu tujuan: meraih kemerdekaan. Namun kini, Sukardi merasa terasing di tanah yang dulu ia perjuangkan. Nilai-nilai yang dulu mereka junjung tinggi, terasa semakin jauh dari kenyataan yang ia saksikan.
“Apakah ini yang dulu kami perjuangkan?” Sukardi bertanya pada dirinya sendiri dengan suara yang tertahan. Mata tuanya menatap sawah yang terbentang luas di hadapannya, namun ia melihat lebih dari sekadar tanah pertanian. Ia melihat bangsa yang telah berubah, yang seolah melupakan pengorbanan para pahlawannya. “Kemerdekaan ini, yang kami bayar dengan darah dan air mata, kini hanya menjadi hiasan kata di pidato-pidato dan upacara seremonial. Di mana nilai-nilai itu sekarang?” pikirnya dengan getir.
Sukardi mengingat satu per satu wajah teman-temannya yang gugur di medan perang. “Mereka semua sudah tiada,” bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Mereka telah pergi, meninggalkan dunia ini dengan harapan bahwa masa depan akan lebih baik. Namun apa yang kita dapatkan?” Sukardi merasakan kepahitan dalam setiap kata yang ia ucapkan. Hatinya seperti ditusuk duri-duri tajam kenangan, yang semakin menambah luka di dalam dirinya.
Suatu malam, ketika Sukardi terlelap dalam tidurnya yang tak nyenyak, ia merasakan sesuatu yang aneh. Tubuhnya terasa ringan, seolah melayang di udara. Dalam mimpinya, ia melihat dirinya yang muda kembali, berlari di tengah kobaran api perang. Napasnya terasa berat, namun semangat di dadanya membara. Tiba-tiba, ia terbangun dengan keringat dingin membasahi wajahnya. Dalam gelap, ia meraba-raba wajahnya, merasakan kerutan-kerutan yang semakin dalam. Kebingungan menyelimuti benaknya, antara mimpi dan kenyataan terasa begitu kabur.
Keesokan harinya, Sukardi memutuskan untuk mengunjungi museum perjuangan yang terletak di pusat kota. Dengan langkah pelan, ia memasuki ruangan yang dipenuhi foto-foto hitam putih dan benda-benda peninggalan masa lalu. Di salah satu sudut ruangan, ia melihat foto dirinya bersama teman-teman seperjuangan. Wajah-wajah muda penuh tekad itu kini hanya menjadi gambar di dinding, tanpa suara, tanpa kehidupan. Sukardi tersenyum getir. Dulu, mereka adalah pahlawan yang dielu-elukan, kini hanya menjadi bayang-bayang sejarah yang nyaris terlupakan.
Ia mendekat ke foto itu, memperhatikan setiap detail wajah-wajah yang tertangkap lensa. Ia melihat dirinya yang muda, dengan tatapan mata yang penuh tekad dan keberanian. “Waktu telah mengubah segalanya,” pikirnya. Namun, di balik senyum getirnya, Sukardi merasakan getaran di dalam hatinya. Ia merasakan kerinduan yang mendalam, kerinduan akan masa-masa di mana ia merasa hidup, di mana setiap langkahnya memiliki tujuan yang jelas. Namun, di saat yang sama, ia tidak bisa menahan rasa kecewa yang menggerogoti hatinya. “Apakah kita sudah lupa dari mana kita berasal? Apakah kita sudah begitu nyaman hingga melupakan rasa sakit yang pernah kita alami untuk mencapai kemerdekaan ini?”
Saat ia hendak pulang, seorang anak kecil tiba-tiba mendekatinya. Anak itu, dengan mata yang besar dan penuh rasa ingin tahu, menatap Sukardi sambil menunjuk ke arah foto di dinding. “Kakek, apa itu foto kakek?” tanya anak itu polos.
Sukardi menatap anak itu, lalu memandangi foto yang ditunjuknya. Hatinya bergetar melihat ketulusan di mata anak tersebut. Ia pun mulai menceritakan kisah perjuangannya, tentang bagaimana ia dan teman-temannya bertaruh nyawa demi kemerdekaan. Anak itu mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah sedang mendengar dongeng sebelum tidur.
“Kakek, apa yang akan kakek lakukan jika bisa kembali ke masa depan?” tanya anak itu lagi, kali ini dengan nada suara yang penuh harap.
Pertanyaan itu membuat Sukardi terdiam. Ia menatap langit yang mulai gelap di luar jendela, merasakan angin dingin yang menyelinap masuk ke dalam ruangan. “Nak, jika aku bisa kembali ke masa depan,” jawab Sukardi dengan suara yang dalam, “aku akan berjuang lagi. Aku akan mengingatkan orang-orang tentang pentingnya nilai-nilai perjuangan. Aku akan berjuang agar negara ini menjadi negara yang adil dan makmur, di mana setiap orang dapat hidup dengan damai dan sejahtera. Dan, aku akan memastikan bahwa pengorbanan kita tidak sia-sia.”
Anak itu tersenyum, seolah mengerti makna kata-kata Sukardi yang sarat akan kebijaksanaan. Sejak saat itu, Sukardi merasa seolah telah menemukan kembali tujuan hidupnya. Semangat juangnya yang sempat padam kini mulai menyala kembali, meski hanya dalam bentuk yang berbeda. Namun, di balik semangat yang kembali berkobar, Sukardi tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa kecewa itu. Ia tahu bahwa perubahan hanya bisa terjadi jika generasi muda benar-benar memahami dan menghargai sejarah perjuangan bangsa.
Hari-hari berikutnya, Sukardi semakin aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Ia sering diundang untuk memberikan ceramah tentang sejarah perjuangan kemerdekaan di sekolah-sekolah dan komunitas lokal. Dengan suara yang lemah namun penuh keyakinan, ia menceritakan pengalamannya kepada generasi muda, berharap mereka dapat menangkap esensi dari perjuangan yang pernah ia lalui. Dalam setiap ceramahnya, Sukardi selalu menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, karena itulah yang seharusnya menjadi dasar bagi bangsa ini. Namun di dalam hatinya, ia tetap merasakan kegelisahan, khawatir bahwa pesan-pesan yang ia sampaikan tidak akan cukup untuk membangkitkan kesadaran yang telah lama terlupakan.
Namun, meski semangatnya terus berkobar, tubuh Sukardi kian lemah. Suatu malam, saat ia sedang tertidur lelap, sensasi aneh itu kembali hadir. Kali ini, ia merasa dirinya benar-benar kembali ke masa lalu. Ia melihat dirinya muda, berlari di tengah kobaran api perang, namun kali ini ia tidak merasa takut. Wajahnya penuh senyum, seolah siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Semangat yang dulu membara di dadanya kini kembali menyala, menerangi jalan yang gelap.
Ketika ia terbangun keesokan harinya, Sukardi merasa sangat tenang. Ia tahu, waktunya di dunia ini tidak akan lama lagi, namun ia tidak merasa takut. Ia tahu bahwa semangat juangnya akan terus hidup, selama masih ada orang yang mau mendengarkan kisahnya dan meneruskan perjuangan itu. Tetapi, di dalam ketenangan itu, ada secercah kesedihan. Sukardi tahu, bahwa generasi berikutnya memiliki tanggung jawab besar untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, untuk tidak membiarkan pengorbanan para pejuang menjadi sia-sia.
Sukardi tersenyum saat menatap senja yang kembali menyapa di ufuk barat. Warna merah yang membara di langit bukanlah tanda kekalahan, melainkan simbol semangat yang tidak pernah padam. Di bawah langit senja merah menyala, Sukardi merasa damai, menyatu dengan alam yang pernah ia bela dengan seluruh jiwa raganya
Penulis: Ahmad Andika Prasetya (Kontributor)
Redaktur: Zulfa
Editor: Novinda