Ia terdiam. Menatap sayu pada kumpulan trofi yang tersusun cantik dalam lemari kaca di sudut kamar. Berbagai trofi kejuaraan lomba tari tradisional berdiri anggun dan berkilau dalam pantulan cahaya sore, entah mengapa trofi itu kini seakan-akan tengah mengejek dalam diam. Ia menghela napas merutuki dirinya sendiri, rasa penyesalan selalu datang menyelimuti. Kekecewaan dan berandai-andai. Hanya itu yang bisa ia lakukan.
Kakinya terbaring kaku di atas bantal, diperban rapi, namun rasa nyeri dan kekecewaan yang Naya rasakan tidak bisa dibungkus sebaik perban itu. “Andai aku lebih hati-hati, mungkin ini semua tak akan pernah terjadi.”
Musibah itu datang tiba-tiba. Ia tidak menyangka jika kesalahan gerakan putaran saat berlatih akan membuat kakinya kehilangan tumpuhan. Dunianya seakan runtuh. Kakinya tidak akan bisa berfungsi, untuk saat ini dan entah sampai kapan. Sang dokter mewanti-wanti untuk tidak melakukan aktivitas berat, ia juga harus istirahat total selama beberapa bulan. Terkadang sang ibu hanya bisa menatap nanar foto putrinya yang tersenyum lebar dalam balutan trofi dan selempang kejuaraan. Dan kini senyuman itu seakan hilang.
“Naya…tarian itu tidak hanya soal kaki, Nak. Ia akan tetap hidup dalam hati selama kamu masih menyukainya,” tutur Ibu sembari mengantarkan makanan yang tidak pernah disentuh oleh Naya.
“Bu, untuk seseorang yang hidupnya terbentuk dari ritme dan gerak, sulit bagiku untuk menerima,” sahut Naya. “Istirahat total selama berbulan-bulan membuat Naya tertinggal banyak hal, ibu tahu sendiri sebentar lagi akan ada pentas besar.”
Asih membelai surai putrinya. “Istirahat itu bukan berarti tertinggal, hanya saja sedang mengambil jeda untuk menjadi lebih kuat.”
“Tapi, Bu, Naya tidak bisa melewatkan pentas besar itu.”
“Nak, jika Tuhan mengkehendaki nanti akan ada kesempatan bagi Naya. Penari hebat bukan yang tidak pernah jatuh, tapi yang selalu bangkit dari keterpurukan.”
Naya termenung. Dalam diamnya ia menangis. Menumpahkan segala rasa yang sudah tak terbendung lagi. Dengan hati yang tegar, Asih merengkuh tubuh mungil putrinya. “Tidak apa, Naya bisa melewati semua ini, ibu percaya sama Naya.”
Matahari yang mulai menyumbulkan diri di ujung timur seakan menemani Naya yang tengah berjemur di atas kursi rodanya. Entah mengapa ucapan ibunya semalam seakan menjadi api kecil dalam kabut pekat, yang menyala tapi remang-remang. Ia sadar, meskipun kakinya tak bisa menari, tetapi tubuhnya yang lain masih bisa
Semenjak hari itu, Naya mulai bangkit kembali meyentuh dunia yang sempat ia tolak. Kini fisioterapi tidak ia anggap sebagai beban, melainkan langkah awal menuju pemulihan. Ditulisnya catatan harian dan mendokumentasikan setiap kemajuan kecil. Sesekali Naya membuka ulang rekaman tari-tari favoritnya, ia bahkan mulai menari dengan duduk menunjukkan ekspresi wajah, gerakan tangan, dan alunan kepala menjadi kekuatan utama. Asih yang menyaksikan itu tersenyum haru, setidaknya jauh lebih baik seperti ini dari pada selalu terbelengku akan rasa penyesalan dan keterpurukan. Tiba hari di mana Naya bisa menekuk kakinya sedikit tanpa rasa sakit, hatinya menangis bahagia, meski masih banyak proses yang harus dilaluinya.
“Ini hadiah kecil dari ibu, semoga Naya suka,” ujar Asih memberikan kotak yang dibalut warna biru.
Dengan uluran tangan yang riang, Naya menerima dan membuka kotak itu. Alisnya bertaut, “Gelang dengan motif daun semanggi?”
“Iya, Naya tahu makna dari simbol daun semanggi?” mendapatkan gelengan Asih tersenyum seraya menerangkan. “Simbol daun semanggi, terutama yang berdaun empat seperti apa yang ibu berikan pada Naya memiliki makna yang dalam. Selain melambangkan kesehatan, juga melambangkan keberuntungan, harapan, dan cinta. Ibu, selalu mendoakan kesembuhan Naya. Ibu berharap Naya selalu dilimpahi rasa bahagia.” Penuh deraian air mata, Naya memeluk erat tubuh ibunya.
Lambat laun, kondisi Naya berangsur-angsur membaik, sorot matanya kembali hidup tidak layu seperti dahulu, senyumnya mulai kembali menghiasi. Semangat yang sempat redup kini kembali menyala, meski belum sepenuhnya terang. Naya sudah mulai mengikuti latihan ringan, meski belum pulih sepenuhnya. Bukan menjadi penari utama, tidak membuat semangat Naya luntur. Ia percaya jika kesabarannya suatu saat nanti akan berakhir dengan indah.
“Aku mungkin belum bisa menari sepenuhnya, tapi aku masih bisa merasakan ritme itu. Aku, Naya masih bisa memberikan sesuatu dari hati,” ucapnya penuh keyakinan ketika menyerah buku catatan tebal berisikan sketsa gerakan serta analisis tari yang ia lakukan dalam beberapa bulan terakhir.
29 April 2025, langit-langit ibukota yang penuh dengan binar-binar rembulan dan kawannya seakan menghipnotis Naya untuk larut dalam keindahan. Dari balkon kamarnya, ditemani secangkir cokelat panas diraihnya pena.
“Aku belum selesai, dunia ku masih berputar. Jiwa ku masih merasakan ritme itu. Aku hanya menari dengan cara yang berbeda dan tetap indah.”
Penulis: Rina Ayu Lestari
Redaktur: Mustofa Ismail