Dimensipers.com- 11 Januari 2018 pukul 14:50 WIB, saya dan dua orang kru Dimensi bergegas meninggalkan kantor redaksi. Memandang langit yang menghitam ditambah tiupan angin yang kuat, kami semakin kencang memacu kendaraan, walaupun tujuan kami hanya cukup ditempuh dalam waktu 13 menit atau 5,2 km. Tempat yang kami tuju yakni Lugo Coffe House, salah satu cafeyang berdiri di pinggir kali (Pinka) Ngrowo. Di sana kami bermaksud menghadiri Workshop Creative Writing bertemakan “Cerita Lewat Jurnalisme Sastra” yang digelar oleh Tulungagung Creative Forum (TCF).
Setelah tiba di Lugo Coffee House pada pukul 15:10, kami segera memarkir motor di belakang kafe. Kemudian dengan yakin berjalan ke pintu depan dan memasuki kafe. Tampak kafe masih sepi, deretan meja dan kursi telah dijejer rapi menghadap ke layar proyektor, hanya ada beberapa pelayan dan panitia workshop serta pemateri yang bersiap untuk memulai acara. Kami langsung menuju tempat chek in untuk mengisi presensi. Ternyata presensi masih kosong, kami menjadi tiga peserta pertama yang mengisinya. Sembari menunggu acara dimulai, kami duduk di deretan meja paling belakang sambil berbincang-bincang.
Tepat pukul 15.35 WIB workshop dimulai dengan Anisa Nuril sebagai moderator dan Titah Asmaning Winedar sebagai pemateri tunggal, dilanjutkan perkenalan dari masing-masing peserta. Peserta yang berjumlah 11 orang begitu antusias dalam mengikuti workshop ini. Setelah saling memperkenalkan diri baru saya ketahui bahwa peserta yang hadir mencakup pemuda dari berbagai profesi dan latar belakang berbeda, mulai dari pelajar SMP, mahasiswa, sampai dengan ilustrator.
Workshop diawali dengan perkenalan, baik dari moderator, pemateri, sampai dari masing-masing peserta. Peserta yang berjumlah 11 orang begitu antusias dalam mengikuti workshop ini. Setelah memperkenalkan diri baru saya ketahui bahwa peserta yang hadir adalah pemuda dari berbagai profesi dan latar belakang berbeda. Mulai dari pelajar SMP, mahasiswa, ilustrator, dan profesi lainnya.
Tepat di sebelah kanan saya duduk seorang pelajar salah satu SMP Negeri di Ngunut yang bernama Oktavia Herawati. Gadis yang kerap disapa Rara ini sudah mulai gemar menulis sejak sekolah dasar dan sering pula mengikuti pelatihan atau workshop menulis. “Aku sangat tertarik dengan hal menulis. Aku juga sering mengikuti workshop tentang menulis. Jadi aku suka ikut acara ini,” ujar Rara ketika saya tanya di tengah acara.
Kesukaan Rara dalam menulis lebih condong ke fiksi. Namun, setelah tahu ada jurnalisme yang berbau sastra kini ia menjadi tertarik dengan dunia jurnalistik. “Sebenarnya aku belum menguasai materi ini, ya karena aku masih SMP. Dan sebenarnya aku fokus ke fiksi, tapi setelah tahu tentang materi ini aku jadi tertarik untuk terjun ke dunia jurnalistik,”paparnya sembari diakhiri dengan senyum.
Menyoal jurnalisme sastrawi sendiri belum banyak digunakan jurnalis, sehingga belum banyak pula orang yang mengetahuinya. Ini menjadi salah satu latar belakang diselenggarakannya workshop literasi ini. Selain itu, Anisa Nuril yang merupakan promotor dari acara ini merasa prihatin karena jarang diadakannya event di Tulungagung terumata dalam bidang literasi. “Aku sudah lama gregetan dengan minimnya event yang ada di Tulungaung. Titah ini temenku dan aku tahu pencapaian di dunia jurnalistiknya sudah demikian bagus dan perlu diangkat untuk sharing di Tulungagung,”jelas Anisa ketika saya temui setelah acara.
Anisa berharap dengan adanya acara-acara seperti ini dapat mengedukasi dan memberi masukan baru kepada warga Tulungagung, khususnya pemuda. “Buat teman-teman pemuda atau mahasiswa, kan di Tulungagung udah banyak perguruan tinggi yang bagus. Dan kita ingin mengedukasi mereka, kayak ngasih insertlah buat mereka,” ungkapnya.
Suhu udara yang panas masih dapat saya rasakan meski di luar cuaca mendung dan berangin. Keringat terasa menetes di punggung. Saya menoleh kanan kiri, tampak para peserta khusyuk memperhatikan penjelasan pemateri. Dengan suaranya yang lantang dan bertempo cepat, Titah mulai memaparkan pengertian dari jurnalisme sastrawi yang merupakan gaya penulisan jurnalistik baru dan mulai berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1960-an.
Titah mengutip definisi jurnalisme sastrawi dari Tom Wolfe, bahwa jurnalisme sastrawi yakni laporan berbasis disiplin jurnalisme yang disajikan dengan gaya penulisan sastrawi, akan tetapi bukan reportase yang puitis. Jurnalisme sastrawi juga menerapkan prinsip 9 (+ 1) elemen jurnalisme Bill Kovach.
Titah, perempuan asli Tulungagung yang kini menjadi editor Warning Magz (Yogyakarta) dan kontributor Vice Indonesia ini tidak hanya menjelaskan teknik penulisan jurnalisme sastrawi. Ia juga memberikan banyak tips, mulai dari menentukan cerita atau berita yang akan diangkat, teknik reportase, penggalian data sampai mengolah hasilnya yang kesemuanya dibenturkan langsung dengan pengalaman yang telah ia dapat di dunia jurnalistik. “Jurnalisme sastrawi yang kuandalkan sekarang, setelah datanya dapat ya. Kuanggap datanya sudah aman nih, kita udah dapat data. Ngolahnya gimana? Yang paling sering aku gunakan selama ini adalah dengan menggunakan teknik naratif dan deskriptif,” jelas Titah masih dengan suara lantang dan tempo cepat diiringi gerakan tangan tanda penjelas.
Penjelasan dengan tempo cepat oleh Titah tampaknya tak menjadi hambatan bagi peserta untuk memahami materi yang disampaikan. “Jadi untuk jurnalisme sastrawi itu paling gampang pakek dua jenis tulisan ini (naratif dan deskriptif; red) digabung,” tambah Titah sambil menunjukkan penjelasan kalimat deskriptif di layar proyektor.
Karena pada pamflet workshop ini tertera kata “Creative Writing”, maka terdapat praktik menulis secara langsung. Praktik dilaksanakan dua kali, pertama kami (peserta) disuruh membuat kalimat deskriptif dengan mendiskripsikan sebuah botol berisi air mineral yang telah diberikan panitia kepada kami. Kami diharuskan membuat 20 kalimat dalam waktu 15 menit.
Setelah 15 menit usai, kami mulai membacakan satu persatu tulisan yang telah kami buat. Beberapa dari kami ada yang terkagum atau tertawa ketika peserta lain membacakan karyanya. Sedang Titah mencatat hal yang perlu diperbaiki dari hasil tulisan setiap peserta. Begitu pembacaan selesai, Titah memberikan koreksi kepada tulisan yang telah dibacakan tadi. Sesi pertama ini diakhiri dengan sesi tanya jawab.
Sejauh acara berlangsung suasana tetap kondusif. Materi kembali dilanjutkan, kali ini mengenai kalimat naratif dan pendeskripsian foto. Tak jauh berbeda dengan materi pertama, materi kedua kami juga mendapat tugas mendiskripsikan foto, baik foto yang bernilai jurnalistik maupun foto pribadi yang. Setelah itu, hasilnya dibacakan dan diberi masukan agar lebih baik.
Setelah memberi koreksi dan masukan kepada kami, Titah menutup slide presentasi dengan gambar tokoh satrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Di samping gambar Pram tertulis qoute “Menulis adalah keberanian”. Qoute ini mengundang pertanyaan dari salah seorang peserta. “Mengapa menulis adalah sebuah keberanian?” Pertanyaan tersebut memancing tawa dari Titah. Namun, pada akhirnya Titah menjawab, “Menulis itu pekerjaan sendirian dan gak semua orang berani sendiri untuk melakukan banyak hal,” terangnya.
Setelah berakhirnya sesi tanya jawab dan foto bersama. Berakhir pula workshop sore ini. Satu persatu peserta meninggalkan tempat dengan ilmu baru yang baru saja mereka dapat. Beberapa masih ada yang memilih tinggal untuk berbincang dengan panitia maupun pemateri. Namun, kami memilih untuk beranjak karena waktu telah menunjukkan pukul 19:43 WIB dan kami harus segera pulang.
Anisa berharap dengan adanya acara-acara seperti ini dapat mengedukasi dan memberi masukan baru kepada warga Tulungagung, khususnya pemuda. “Buat teman-teman pemuda atau mahasiswa, kan di Tulungagung udah banyak perguruan tinggi yang bagus. Dan kita ingin mengedukasi mereka, kayak ngasih insertlah buat mereka,”ungkapnya.
Suhu udara yang panas masih dapat saya rasakan meski di luar cuaca mendung dan berangin. Keringat terasa menetes di punggung. Saya menoleh kanan kiri, tampak para peserta khusyuk memperhatikan penjelasan pemateri. Dengan suaranya yang lantang dan bertempo cepat, Titah mulai memaparkan pengertian dari jurnalisme sastrawi yang merupakan gaya penulisan jurnalistik baru dan mulai berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1960-an.
Titah mengutip definisi jurnalisme sastrawi dari Tom Wolfe, bahwa jurnalisme sastrawi yakni laporan berbasis disiplin jurnalisme yang disajikan dengan gaya penulisan sastrawi, akan tetapi bukan reportase yang puitis. Jurnalisme sastrawi juga menerapkan prinsip 9 (+ 1) elemen jurnalisme Bill Kovach.
Titah, perempuan asli Tulungagung yang kini menjadi editor Warning Magz (Yogyakarta) dan kontributor Vice Indonesia ini tidak hanya menjelaskan teknik penulisan jurnalisme sastrawi. Ia juga memberikan banyak tips, mulai dari menentukan cerita atau berita yang akan diangkat, teknik reportase, penggalian data sampai mengolah hasilnya yang kesemuanya dibenturkan langsung dengan pengalaman yang telah ia dapat di dunia jurnalistik. “Jurnalisme sastrawi yang kuandalkan sekarang, setelah datanya dapat ya. Kuanggap datanya sudah aman nih, kita udah dapat data. Ngolahnya gimana? Yang paling sering aku gunakan selama ini adalah dengan menggunakan teknik naratif dan deskriptif,”jelas Titah masih dengan suara lantang dan tempo cepat diiringi gerakan tangan tanda penjelas.
Penjelasan dengan tempo cepat oleh Titah tampaknya tak menjadi hambatan bagi peserta untuk memahami materi yang disampaikan. “Jadi untuk jurnalisme sastrawi itu paling gampang pakek dua jenis tulisan ini (naratif dan deskriptif; red) digabung,” tambah Titah sambil menunjukkan penjelasan kalimat deskriptif di layar proyektor.
Karena pada pamflet workshop ini tertera kata “Creative Writing”, maka terdapat praktik menulis secara langsung. Praktik dilaksanakan dua kali, pertama kami (peserta) disuruh membuat kalimat deskriptif dengan mendiskripsikan sebuah botol berisi air mineral yang telah diberikan panitia kepada kami. Kami diharuskan membuat 20 kalimat dalam waktu 15 menit.
Setelah 15 menit usai, kami mulai membacakan satu persatu tulisan yang telah kami buat. Beberapa dari kami ada yang terkagum atau tertawa ketika peserta lain membacakan karyanya. Sedang Titah mencatat hal yang perlu diperbaiki dari hasil tulisan setiap peserta. Begitu pembacaan selesai, Titah memberikan koreksi kepada tulisan yang telah dibacakan tadi. Sesi pertama ini diakhiri dengan sesi tanya jawab.
Sejauh acara berlangsung suasana tetap kondusif. Materi kembali dilanjutkan, kali ini mengenai kalimat naratif dan pendeskripsian foto. Tak jauh berbeda dengan materi pertama, materi kedua kami juga mendapat tugas mendiskripsikan foto, baik foto yang bernilai jurnalistik maupun foto pribadi yang. Setelah itu, hasilnya dibacakan dan diberi masukan agar lebih baik.
Setelah memberi koreksi dan masukan kepada kami, Titah menutup slide presentasi dengan gambar tokoh satrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Di samping gambar Pram tertulis qoute“Menulis adalah keberanian”. Qouteini mengundang pertanyaan dari salah seorang peserta. “Mengapa menulis adalah sebuah keberanian?” Pertanyaan tersebut memancing tawa dari Titah. Namun, pada akhirnya Titah menjawab, “Menulis itu pekerjaan sendirian dan gak semua orang berani sendiri untuk melakukan banyak hal,” terangnya.
Setelah berakhirnya sesi tanya jawab dan foto bersama. Berakhir pula workshopsore ini. Satu persatu peserta meninggalkan tempat dengan ilmu baru yang baru saja mereka dapat. Beberapa masih ada yang memilih tinggal untuk berbincang dengan panitia maupun pemateri. Namun, kami memilih untuk beranjak karena waktu telah menunjukkan pukul 19:43 WIB dan kami harus segera pulang.