Per­lakukan beri­ta seba­gai ceri­ta, den­gan begi­tu jur­nal­is­tik tidak hanya akan mem­bu­at­mu tahu, tapi menger­ti bahkan hal pal­ing absurd di dunia,” tutur Titah AW, kon­trib­u­tor Vice.

Berangkat dari close state­ment Titah terse­but, saat work­shop men­gu­lik jur­nal­isme sas­trawi di Lugo Kafe, saya menyadari bah­wa jur­nal­is­tik tidak monot­on itu-itu saja. Jika sela­ma ini penge­tahuan jur­nal­is­tik masih berku­tat pada sajian beri­ta straight news, indepth, dan depth­news, maka jur­nal­isme sas­trawi bisa jadi pil­i­han saat men­uangkan hasil reportase.

Goe­nawan Mohamad, men­gakhiri kata pen­gan­tarnya pada buku “Seandainya Saya Wartawan Tem­po”, den­gan kali­mat “Bukan sekedar keter­ampi­lan menulis, tetapi juga jiwa yang bebas.” Bermu­la dari fea­ture yang men­ja­di otak dalam buku itu. Fea­ture mulanya beru­pa tulisan pelengkap beri­ta, kemu­di­an berev­o­lusi men­ja­di bagian uta­ma dari beri­ta itu sendiri. Fea­ture sendiri meru­pakan salah satu teknik penulisan beri­ta den­gan berk­isah yang biasanya digu­nakan untuk menulis lead atau kapala beri­ta. Dari mod­el sajian fea­ture terse­but­lah, isti­lah jur­nal­isme sas­trawi muncul. 

Bicara ten­tang kebe­basan dalam ter­ampil menulis, bukan berar­ti penulis bebas men­uangkan ima­ji­nasinya dalam beri­ta. Melainkan lebih pada war­na beri­ta den­gan sajian lebih menarik diba­ca, meng­gu­gah emosi pem­ba­ca, dan mem­berikan gam­baran utuh. Sehing­ga mem­bu­at pem­ba­ca seo­lah bera­da pada situ­asi saat reportase. 

Mem­ba­has lebih lan­jut men­ge­nai pros­es kelahi­ran jur­nal­isme sastawi, ten­tu tidak lep­as dari syarat-syarat jur­nal­is­tik. Sebab yang diu­ta­makan dalam hal ini adalah fak­ta beri­ta. Syarat jur­nal­is­tik men­cakup pros­es pen­car­i­an dan pengumpu­lan beri­ta, teknik menulis, mela­porkan, menyunt­ing, dan pener­bi­tan berita.

Tak berbe­da jauh den­gan teknik penulisan jenis beri­ta lain, jur­nal­isme sas­tra juga meng­gu­nakan prin­sip 5W+1H. Titah men­je­laskan pengem­ban­gan ele­men 5W+1H berdasar pada plot (what), karak­ter (who), kro­nolo­gi (when), latar (set­ting), motif (why), dan narasi (how). Dita­m­bah so what untuk menekankan kon­teks apa yang nan­ti­nya akan mem­bu­at pem­ba­ca ter­paut pada beri­ta. Lebih kom­pleks lagi saat pemerole­han data lewat wawan­cara. Bukan hanya pem­bicaraan saja yang dicatat atau direkam, tetapi juga meli­batkan keselu­ruhan indera untuk merekam momen-momen menarik sela­ma wawan­cara berlangsung.

Pijakan jur­nal­isme sas­trawi adalah jur­nal­isme den­gan gaya sas­trawi. Namun jur­nal­isme sas­trawi bukan­lah fik­si. Isi lapo­ran yang dis­ajikan tetap berba­sis pada keaku­ratan data. Gaya sas­trawi dit­uliskan dalam penya­jian gabun­gan deskrip­si dan narasi. Deskrip­si dimak­sud­kan kare­na sese­o­rang akan cen­derung mengin­gat gam­baran visu­al dari pada dik­si tulisan. Uta­manya deskrip­si men­ge­nai situ­asi. Agar pen­deskrip­sian lebih opti­mal, per­lu ker­jasama keselu­ruhan indera. Jika deskrip­si den­gan pen­ganda­ian, maka pen­ganda­ian yang dip­il­ih harus efek­tif dan konkret. Deskrip­si tidak per­lu men­dayu-dayu, sebab jur­nal­isme sas­tra bukan sas­tra puitis.

Di sisi lain, dalam penulisan narasi akan lebih baik mengg­gu­nakan kali­mat yang mam­pu meng­hadirkan pem­ba­ca. Hal ini bisa diban­gun den­gan menampikan karak­ter nara­sum­ber yang dikem­bangkan den­gan pemu­ncu­lan kon­flik, sehing­ga penulis dap­at memikat pem­ba­ca melalui emosinya.

Lain dari­pa­da itu, Wolfe dan John­son menuliskan bah­wa genre jur­nal­isme sas­trawi berbe­da dari repor­tase sehari-hari. Penu­tu­ran yang digu­nakan bersangku­tan den­gan ade­gan demi ade­gan (scene by scene con­struc­tion), repor­tase yang menyelu­ruh (immer­sion report­ing), dan peng­gu­naan sudut pan­dang orang keti­ga (third per­son point of view) yang keselu­ruhan­nya dit­uliskan secara detail. Sehing­ga tak khay­al penulisan jur­nal­isme sas­trawi memakan wak­tu yang tidak singkat.

Jur­nal­isme sas­trawi bukan­lah beri­ta berdasarkan sub­jek­tiv­i­tas fik­si penulis, melainkan penulisan beri­ta yang meng­gu­nakan teknik kesusas­traan. Penulisan beri­ta den­gan teknik ini, dap­at dijadikan pil­i­han. Sebab melalui teknik kesas­traan, penulis mam­pu men­ga­jak pem­ba­ca beri­ma­ji­nasi dari fak­ta-fak­ta yang telah diran­cang berdasarkan ade­gan, per­caka­pan, dan penga­matan. Demikian penya­jian beri­ta sekali­gus bersas­tra, keaku­ratan data akan tetap ter­ja­ga, jika penulis tetap mem­ber­daya beri­ta seba­gai “beri­ta”.