Per­him­punan Pers Maha­siswa Indone­sia (PPMI) Nasion­al dan Alian­si Jur­nalis Inde­pen­den (AJI) Indone­sia bek­er­ja sama menghe­lat  Half­day Work­shop Cek Fak­ta dan Kea­manan Dig­i­tal. Pelati­han ini dige­lar di Gedung MWC NU Kali­dawir Tulun­ga­gung pada Kamis dan Jumat, 14 dan 15 Okto­ber secara hybrid. Didampin­gi oleh Ari Sas­mi­to dan Ing­gried Dwi Wed­hasary seba­gai pelatih terser­ti­fikasi Google News Initiative.

Muham­mad Fikri Haikal, Ket­ua Pelak­sana, menyam­paikan bah­wa agen­da ini diadakan dua kali den­gan perbe­daan peser­ta di seti­ap perte­muan­nya. Hari per­ta­ma dim­u­lai pukul 13.00–17.00 WIB dan hari ked­ua dim­u­lai pukul 07.00–11.00 WIB. Ked­u­anya melalui zoom meet­ing yang dita­mpilkan via proyek­tor bagi 150-an peser­ta luar jaringan (Lur­ing) dari pel­ba­gai daerah.

Ini meru­pakan agen­da urgen sebab maraknya infor­masi yang sim­pang siur beredar. Ter­lebih lagi di musim covid seper­ti ini,” tutur Haikal.

Pada awal pelati­han, Ari men­je­laskan hoaks atau beri­ta bohong den­gan mengutip Laras Sekarasih, seo­rang dosen Psikolo­gi Media Uni­ver­si­tas Indone­sia, yang men­gatakan bah­wa orang lebih cen­derung per­caya hoaks jika infor­masinya sesuai den­gan opi­ni atau sikap yang dimiliki.

Mis­al, sese­o­rang memang sudah setu­ju ter­hadap kelom­pok ter­ten­tu, pro­duk, atau kebi­jakan ter­ten­tu. Keti­ka ada infor­masi yang dap­at men­gafir­masi opi­ni dan sikap­nya itu, maka ia mudah per­caya,” imbuhnya.

Data dari Asosi­asi Penye­leng­gara Jasa Inter­net Indone­sia (APJII) menye­butkan ter­da­p­at 171.176.716,8 peng­gu­na Inter­net pada 2018 sil­am dan terus meningkat 10,12 % peng­gu­na seti­ap tahun­nya, sebab jum­lah pen­duduk yang turut mel­on­jak 0,63 % per tahun dari 264.161.600 jum­lah pen­duduk di 2018 menu­rut proyek­si Badan Pusat Sta­tis­tik (BPS).

Artinya, ada banyak orang Indone­sia berkeru­mun di inter­net (lebih dari sep­a­ruh pop­u­lasi) dan ter­pa­par oleh beragam infor­masi tan­pa lit­erasi yang memadai. Indone­sia masih bera­da di nomor 70 dari negara-negara, seper­ti Azer­bai­jan dan Belaru­sia yang lebih melek informasi.

Ing­gried lalu mema­parkan ragam mis­in­for­masi dan dis­in­for­masi meliputi satire, kon­ten menye­satkan, kon­ten aspal, kon­ten pabrikasi, kon­ten eng­gak nyam­bung, kon­ten kon­tek­snya salah, dan kon­ten manipulatif.

Kon­ten-kon­ten ini men­cu­at sebab kebi­asaan kita yang sen­ga­ja atau tidak melan­jutkan infor­masi yang kita dap­atkan tan­pa men­co­ba menin­jaun­ya kem­bali,” pungkas Inggried.

Peser­ta, anggota pers maha­siswa, diarahkan untuk mam­pu mengi­den­ti­fikasi keaku­ratan kon­ten-kon­ten, gam­bar-gam­bar dan video-video viral di media sosial. Shib­bi, peser­ta dari Lem­ba­ga Pers Maha­siswa (LPM) Aksara, men­gatakan, “dari pelati­han ini kita bisa tahu kred­i­bil­i­tas situs-situs dan media yang kita akses.”

Salah satu peser­ta dari Peka­lon­gan, Anjas, menam­bahkan bah­wa peng­gu­naan google image untuk ver­i­fikasi gam­bar dan google map, google street view, ser­ta google earth guna ver­i­fikasi lokasi men­ja­di bekal cukup bagi kawan-kawan pers untuk ker­ja-ker­ja analisis.

Penge­cekan keku­atan kata san­di akun mas­ing-mas­ing media sosial peser­ta agar ter­hin­dar dari kasus-kasus pere­tasan akun dan seran­gan buzzer,” ucapnya.

Penulis: Fathoni
Reporter: Dadang
Edi­tor: Ulum